Bab 3 – Kelicikan Caku.
Raja yang memimpin koloni memberikan tanggungjawab yang besar pada Puca. Ia diperintahkan untuk menjaga koloni dari gangguan tangan-tangan anak manusia, terutama saat para capung sedang mencari makan. Kehadiran mereka akan menarik perhatian anak-anak manusia, sehingga Puca harus ‘berpatroli’. Ia tak boleh lengah dalam memperhatikan gerak-gerik anak manusia.
Biasanya, anak-anak manusia akan berusaha menangkap capung-capung menggunakan tangan kosong maupun jaring. Kemudian, dimasukkan ke botol kosong, lalu menutupnya. Akan tetapi, tidak diberi lubang udara. Tak hanya itu, seringkali capung dimainkan layaknya layang-layang.
“Lihat itu, Puca! Bukankah itu Caku?” tanya Cati.
Puca memusatkan penglihatannya ke arah yang ditunjuk oleh Cati. Ia melihat dua anak manusia —laki-laki dan perempuan— sedang duduk di lantai teras rumah mereka. Kedua sayap Caku sedang dipegang oleh anak perempuan. Sementara anak laki-laki yang badannya tampak lebih besar sedang mengikatkan tali pada ekor Caku. Puca dan Cati mempercepat terbangnya. Mereka ingin melihat lebih dekat keadaan Caku.
Aku harus menyelamatkan Caku, pikir Puca.
“Puca, bagaimana ini? Kita tidak mungkin membiarkan Caku dijadikan layang-layang oleh kedua anak manusia itu!” Wajah Cati menegang.
Tanpa berkata apa-apa, Puca melesat menuju bangunan yang bersebelahan dengan rumah kedua anak itu. Ia terbang melewati pohon mangga yang tinggi dan besar. Setelah itu, masuk ke rumah melalui salah satu jendela yang terbuka lebar. Matanya bergerak ke sana kemari memperhatikan setiap ruangan yang ia lalui. Akan tetapi, ia tak kunjung menemukan yang dicarinya.
Puca tak ingin menyerah begitu saja. Ia ingin dapat menyelamatkan Caku. Ia menambah kecepatan terbangnya, lalu ke luar dari rumah tersebut. Mengamati sekilas sekeliling halamannya untuk memastikan bahwa ia tak salah memasuki bangunan. Akan tetapi, tiba-tiba ia terkejut.
“Puca, ada apa?” tanya Cati yang sudah berada di hadapan Puca.
“Eh, Cati. Nanti kamu akan tahu sendiri. Tidak cukup waktu kalau harus kujelaskan. Maaf, ya. Ini di luar rencanaku. Semoga kamu tidak marah padaku,” lirih Puca. Ia merasa bersalah pada temannya itu.
“Tenang saja, Puca. Tidak apa-apa. Aku akan menunggu di salah satu daun pohon mangga itu. Siapa tahu, nanti kamu akan membutuhkan bantuanku.” Cati mengedipkan sebelah matanya.
“Terima kasih, Cati. Aku ke dalam dulu.” Puca pun terbang menuju kain panjang penutup kaca jendela, lalu hinggal di sana.
Cati hanya dapat memperhatikan Puca dan Caku secara bergantian. Ia ingin menolong Cati. Akan tetapi, ia tak tahu harus melakukan apa? Selain itu, Cati pun takut jika tertangkap juga. Tiba-tiba, Cati terdiam. Ia melihat Caku dimainkan seperti layang-layang secara bergantian oleh kedua anak manusia itu.
Sementara Caku, tersenyum melihat Cati dan Puca kebingungan. “Aku yakin, kalian akan masuk ke perangkapku!”
Sedari tadi, Caku telah menyadari kehadiran Puca dan Cati yang ingin menyelamatkannya. Ia pun berpura-pura tak berdaya di tangan kedua anak manusia yang sedang memainkannya itu.
Ternyata, kalian begitu mudah dikelabui, pikir Caku.
Kedua anak manusia itu sangat senang dapat memainkan Caku. Mereka tertawa bersama sambil berlari-larian. Sesekali, mereka menarik tali yang mengikat di ekor Caku agar capung itu bergerak mundur.
“Tolong! Sakit!” Caku pura-pura berteriak.
Tak tahan mendengar teriakan Caku, maka Cati hinggap pada salah satu daun pohon mangga yang lebih rendah. “Sabar, Caku! Mudah-mudahan sebentar lagi Puca dapat menolongmu! Sepertinya, Puca sedang mencari sesuatu untuk menyelamatkanmu!” Cati gelisah melihat keadaan Caku.
Saat Cati melihat ke arah lain, Caku tersenyum penuh kemenangan.
_To be Continued_