Acara Panen Padi yang Gagal

Pagi-pagi sekali, Willy sudah duduk di teras rumah dan memakai sepatu berkebun miliknya. Dengan penuh semangat, dia mengencangkan tali sepatu agar terikat kuat. Hari ini adalah hari Minggu. Sesuai dengan janji ayahnya, hari ini mereka berangkat ke sawah untuk memanen padi.

Willy berjalan mendekati mobil. Ayahnya baru selesai menyusun peralatan untuk memotong jerami yang diletakkan di bak belakang mobil.

Dengan berkacak pinggang, Willy menegur ayahnya. “Yah! Willy dah siap.”

Ayah Willy memandang penampilan putranya dari kepala hingga ke ujung kaki. “Willy, kita enggak bisa pergi ke sawah dengan setelan macam itu,” ucap ayah Willy.

Willy terdiam. Dia memperhatikan lagi celana pendek biru tua, sepatu berkebun, topi cokelat besar, serta kaus lengan pendek berwarna merah yang dia kenakan. “Memangnya kenapa, Yah?”

“Kita mau membereskan jerami. Kamu harus pakai baju lengan panjang,” jelas ayahnya.

“Tapi Willy mau pakai kaus ini. Ini kaus berkebun kesukaan Willy,” bantah Willy. Kaus merah bertuliskan “Happy Farming” itu adalah hadiah ulang tahun dari neneknya.

“Iya. Willy boleh pakai kaus itu. Tapi pakai lagi baju lengan panjang macam yang Ayah pakai ini,” ucap ayah Willy sambil menunjukkan kemeja yang dikenakannya.

“Enggak mau. Panas. Nanti Willy kegerahan,” balas Willy sambil mengerucutkan bibir.

“Tapi, batang padi itu bisa bikin kulitmu gatal!”

“Tenang, Yah. Willy, kan, sudah 9 tahun. Kulit Willy bukan kulit anak bayi lagi,” bantah Willy sambil memamerkan lengannya.

“Oke … baiklah. Sekarang panggil abangmu. Bilang kita sudah mau berangkat,” pinta ayah Willy.

Willy lalu berlari menuju pintu depan sambil berseru, “Baaang! Bang Eriiik. Cepat, lah! Kita udah mau berangkat ini!”

Mendengar panggilan dari Willy, Erik keluar dari rumah dengan terburu-buru. Sambil mengenakan kemejanya, dia berkata, “Maaf, Yah. Tadi Erik nyari baju panjang dulu. Eh, kau, Will. Mana baju panjangmu?”

“Enggak usah. Aku pakai kaus pendek aja. Panas,” jawab Willy santai.

“Tapi, kata Ayah …,” ucap Erik ragu.

“Sudah, ayo naik!” ajak ayah Willy yang sedang menyalakan mesin mobil.

Mereka bertiga lalu berangkat ke sawah.

Di sepanjang perjalanan Willy bernyanyi riang. Dia selalu senang jika diajak ke sawah karena di sana dia bisa bermain dengan bebas. Dia bisa berlarian ke sana- kemari tanpa takut kotor. Dia juga bisa mempelajari banyak hal serta melihat berbagai serangga yang unik.

Ayah Willy mengajarkan cara mengecek tangkai padi yang sudah tua, cara mengoperasikan mesin pemotong padi, serta cara menumpuk jerami yang telah dipanen.

Sama seperti abangnya, Willy mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan ayah mereka. Willy memotong, menarik, dan menyusun jerami-jerami menjadi satu tumpukan.

Tiba-tiba, Willy mulai merasakan sesuatu yang aneh. Lengannya terasa gatal seperti digigit semut. Pandangan Willy pun tak lagi fokus memperhatikan jerami.

Melihat adiknya yang sibuk menggaruk lengan, Erik segera mendekat. “Kau kenapa? Gatal?”

Willy mengangguk dan berkata, “Iya. Mungkin digigit serangga.”

“Aku bilang Ayah, ya?” tanya Erik.

“Enggak usah. Nanti juga hilang sendiri,” balas Willy.

Mendengar ucapan adiknya yang santai, Erik kembali meneruskan kegiatannya. Dia memeluk setumpuk jerami lalu memindahkannya ke dekat mobil mereka.

Ternyata, rasa gatal itu makin bertambah dan tak hanya berada di satu tempat. Kaki serta leher Willy juga mulai terasa tak nyaman.

Willy melempar jerami yang dia pegang. Dia lalu terduduk di tanah, menggaruki seluruh bagian tubuhnya.

Melihat itu, ayah Willy segera mendekat. “Kenapa, Will?”

Willy menangis tersedu-sedu. “Ayaaah! Gataaal!”

Ayah Willy lalu tersenyum. “Makanya tadi Ayah bilang pakai baju panjang.”

“Tapi, Bang Erik pakai baju pendek juga?” bantah Willy.

“Iya, tapi waktu mengangkati jerami tadi, dia, kan, pakai baju panjang. Dia juga pakai celana panjang,” ucap ayah Willy.

Mendengar penjelasan ayahnya, tangis Willy makin membesar. Dia tak menyangka bahwa jerami bisa membuat kulitnya menjadi gatal dan kemerahan.

“Sekarang, kita pulang biar kamu bisa mandi terus diolesin obat sama Ibu,” ajak ayah Willy.

Dengan sekali angkat, Willy digendong oleh ayahnya hingga ke mobil. Acara berkebun siang itu pun berakhir karena drama gatal-gatal.

***

Di hari Minggu selanjutnya, pagi-pagi sekali Willy telah bersiap. Dia memakai setelan baju berlengan panjang, sarung tangan, serta celana panjang dan sepatu.

Dia menunggu ayahnya selesai membereskan peralatan di bak belakang mobil.

“Yah, Willy dah siap!” seru Willy.

“Mau ke mana?” tanya ayah Willy sambil memandang penuh heran.

“Ke sawah, lah! Willy dah pakai baju panjang, sarung tangan sama celana panjang,” jawab Willy bangga.

Bukannya bergegas berangkat, ayah Willy malah tertawa.

“Buat apa ke sawah? Masa panennya udah siap. Ini Ayah mau nyuci mobil.”

Saat mendengar ucapan ayahnya, Willy mendadak lesu. Dia terduduk di tanah. “Yaahh, kirain masih perlu ke sawah!”

Ayah menyemprotkan selang air ke wajah Willy dan berseru, “Sekarang buka baju, bantu Ayah cuci mobil aja.”

Willy terkejut. Dia lalu bangkit dan berlari kegirangan. Kali ini, acara cuci-mencuci mobil tidak boleh gagal karena apa pun.

(*)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar