“Duh, banyak betul, Nggun!” seloroh Ibu takjub mengomentari lingsa alias telur kutu yang menempel pada batang rambut Anggun. Sebatang rambut dihuni dua lingsa. “Sudah pasti ada kutunya, nih!” imbuhnya seraya bergidik.
Ibu mengeluarkan serit dari saku dasternya. Bentuk serit mirip seperti sisir, tapi tidak bertangkai. Jika sisir hanya memiliki sebuah sisi yang bergigi maka serit mempunyai dua sisi dan saling berpunggungan.
Biasanya, orang-orang pakai serit untuk mencari kutu dan lingsa. Jarak antargigi pada serit yang sangat rapat dibandingkan sisir pada umumnya membuat kutu dan lingsa mudah ditarik dari rambut.
Cetik… Cetik… Cetik… Seperti itulah suara lingsa kalau dipencet. Pertanda belum menetas. Memencetnya dengan kuku ibu jari kanan dan ibu jari kiri.
“Lanjut besok lagi… Sudah petang, kutunya nggak kelihatan…” Ibu menyudahi pencarian.
Si kutu nan mungil itu tidak bisa ditangkap mata. Apalagi warna kutu ada kemiripan dengan warna rambut Anggun.
Anggun garuk-garuk kepala. Betapa tidak mengenakkan hidup bersama kutu rambut lengkap dengan telur-telurnya. Saking gatalnya bikin Anggun tidak tahan. Pagi, siang, sore, malam garuk-garuk kepala. Terasa ada yang jalan-jalan di kulit kepala.
Anggun ingin kutu dan lingsa di kepalanya segera hilang sebelum teman-teman sekolahnya menyadarinya.
***
Hari berganti.
Ibu dan Anggun berburu kutu dan lingsa di halaman belakang rumah, ditemani sore yang berangin. Lingsa yang menempel di rambut, ditarik dengan ujung kuku atau pakai serit. Anggun merasakan sensasi gatal dan geli ketika ibu menarik lingsa dari rambutnya. Lingsanya seperti berpegangan erat pada rambut. Kalau tiba-tiba melihat kutu, maka harus segera ditangkap sebelum bertelur.
“Ada telurnya?” tanya Anggun ingin tahu.
“Nggak…” singkat jawab ibu.
Jawaban ibu, meski singkat, membuat Anggun sedikit lega.
Usaha mengusir kutu dan telur-telurnya tidak hanya dengan memburu kutu dan telur-telurnya. Anggun pakai obat penghilang kutu rambut di malam hari. Obat kutu cair itu dioleskan pada rambut lalu ditutup handuk semalaman. Paginya, Anggun keramas seperti biasa.
Cetik… terdengar suara yang akhir-akhir ini dikenal telinga Anggun.
“Yaaahh…” Ciut hati Anggun mendengar suara itu
“Menetas, ya, Bu?” Suara Anggun memecah konsentrasi Ibu.
“Iya, nih… Masih ada yang isi”
“Kalau kutu sama telurnya susah hilang, mau nggak mau harus potong rambut, nih. Kutunya bakal bingung mau menaruh telurnya di mana kalau rambutmu pendek,” terang Ibu.
“Pendeknya seberapa?” Anggun penasaran.
“Segini,” jawab Ibu menyentuh tengkuk Anggun.
“Aih, pendek sekali! Nggak mau!” cetus Anggun.
Anggun menolak keras usul Ibu.
***
“Kalau Anggun rambutnya pendek, nggak bisa pakai hiasan rambut, dong?! Nggak bisa dikuncir, nggak bisa dikepang…” Anggun mengelak.
Anggun membayangkan, ketika rambutnya pendek maka jepit rambut, pita-pita, bando, ikat rambut yang lucu-lucu itu tidak bisa lagi menemaninya ke sekolah. Meskipun hanya untuk sementara waktu, tetap saja susah membiarkan rambutnya tanpa hiasan. Semangat Anggun bertambah kalau sekolah dengan rambut dikuncir dan diberi hiasan.
“Rambutmu lama-lama jadi sarang kutu sama lingsa… Garuk-garuk kepala, nularin teman… Nggak usah khawatir, rambutmu bakalan panjang lagi, kok…” omel Ibu.
Anggun bersikukuh tidak mau potong rambut, apalagi pendeknya setengkuk.
Lambat laun, Anggun galau. Dia mulai berpikir, apa jadinya kalau teman-temannya tahu kalau dia berkutu? Bagaimana kalau ada yang melihat lingsa di rambutnya kalau dia menyibakkan rambut?
Bermalam-malam Anggun menimbang-nimbang. Matanya susah dipejamkan walau mengantuk. Ketika ketiduran, Anggun malah mimpi buruk: rambutnya sudah dipotong amat pendek. Tidak setengkuk tapi lebih pendek lagi seperti potongan rambut laki-laki. Di sekolah, Anggun tidak fokus mengikuti pelajaran, karena kurang tidur!
***
“Jadi ke salon?” Anggun mendekati Ibu yang asyik mengisi Teka-teki Silang sebuah koran hari Minggu.
Ibu berhenti mengisi Teka-teki Silang. “Emangnya rambutnya boleh dipotong?” tanya Ibu.
Anggun mengangguk. “Boleh, tapi jangan sampai kependekan, ya…” tawar Anggun dengan suara lirih.
Tanpa berlama-lama, berangkatlah Ibu dan Anggun ke Salon Mbak Pur. Jalan kaki saja, karena Salon Mbak Pur hanya terpisah dua Rukun Tetangga. Jalan kaki sambil bertegur sapa dengan tetangga.
Sepanjang perjalanan, Anggun lebih banyak diam. Aneka pertanyaan datang silih berganti. Model rambut apa yang cocok? Bagaimana penampilannya dengan rambut pendek? Apakah masih bisa pakai hiasan rambut? Penampilannya bakal aneh? Bilang apa ya, kalau ditanya kenapa potong rambut? Kalau Mbak Pur salah potong rambut bagaimana? Di sisi lain, Anggun ingin bebas dari kutu.
Mbak Pur menyambut Ibu dan Anggun dengan senyum sumringah. Dia bergegas menyiapkan peralatan salonnya. Ada gunting, sisir, penutup badan, jepit rambut juga pengering rambut.
“Keramas dulu, yuk…” ajak Mbak Pur. Jempol kanannya menunjukkan kursi keramas.
Mbak Pur terampil menggunting rambut. Tangannya bergerak lincah. Helai demi helai rambut panjang Anggun berjatuhan. Anggun melirik rambut-rambutnya yang ada di lantai. Dia ingin mengecek kutu dan lingsa yang berhasil dibuang.
“Lihat, cantik, kan, dipotong model shaggy pendek begini… Masih bisa pakai bando atau jepit rambut…” kata Mbak Pur.
Anggun mematut diri di depan cermin. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Diulang lagi sampai puas.
***
Di suatu pagi.
Hari pertama Anggun berangkat ke sekolah dengan rambut baru. Rambut pendek model shaggy. Dua buah jepit rambut dipasangkan pada rambut sisi kanan dan kiri. Anggun deg-degan. Dia ingin segera tahu reaksi teman-teman sekolahnya.
Semalam Anggun sudah pakai obat anti kutu lalu paginya keramas. Ibu bilang, sepintas tidak menemukan kutu di rambut Anggun. Lingsa-lingsanya juga berkurang banyak. Anggun memberanikan diri berangkat sekolah dengan rambut baru. Sepasang jepit rambut menghiasi rambut Anggun. Terngiang pesan Ibu, “Jangan meminjamkan sisir ke orang lain. Topi, bando, jepit rambut, ikat rambut juga tidak boleh dipinjamkan.”
Di sekolah, Anggun jadi pusat perhatian. Teman-teman sekelasnya terperanjat melihat penampilan baru Anggun. Tapi tidak ada seorang pun yang meledek. Tika, si ketua kelas, malah ingin potong rambut seperti Anggun. Reaksi teman-temannya melegakan hati Anggun.
“Ah, kalian nggak tahu, kan, ini semua gara-gara kutu…” batin Anggun di sela gelak tawa bersama teman-teman sekelasnya.
Sementara itu, di rumah, Ibu mencuci bersih handuk bekas dipakai Anggun biar kutu rambut tidak menular anggota keluarga lainnya.[]
Ratri Ade Prima Puspita
Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024