Aku senang sekali. Akhirnya ayah membeli parabola. Sudah seminggu, aku dan Redi, adikku mengeluh, karena tidak bisa menonton siaran televisi. Sebabnya, antena televisi kami jatuh dan rusak saat hujan deras turun disertai angin.
Sebelumnya, kami memakai antena biasa dan harus menggunakan boster. Bambu antena pun harus tinggi sekali, sekitar 25 meter. Itu karena, desa Kemuning, tempat tinggalku jauh dari stasiun pemancar televisi. Makanya banyak orang yang memasang antena parabola.

Selama seminggu itu, uuh..aku bosan sekali. Padahal televisi jadi hiburanku. Apalagi di sini tidak ada mall atau toko buku. Hanya ada pasar desa seminggu sekali. itu saja harus berjalan 500 meter dari rumah dinas Ayah.
“Hore… kita bisa nonton,” teriak Redi saat melihat Ayah datang bersama seorang bapak. Di motornya terikat seperangkat parabola.
“Iya, kita bisa menonton acara anak-anak,” seruku tidak mau kalah.
“Jangan keasyikan nonton, sampai lupa belajar. Nanti Parabolanya Ayah jual lagi,” canda Ayah.
“Siap komandan,” jawabku dan Redi hampir bersamaan sambil kami memberi hormat pada Ayah. Ayah tertawa geli melihat kelakuan kami.
Sebulan sudah berlalu. Saat sedang menonton, tiba-tiba gambar di televisi bergoyang-goyang. Saat Ayah pulang dari puskesmas, aku segera melapor.
“Kalian tidak mengutak-atik reciver parabolanya, kan?” tatap Ayah penuh selidik pada aku dan Redi.
“Tidak kok, Yah! Kalau menyalakan parabola, kita minta bantuan Ibu,” aku membela diri.
“Baiklah, besok Ayah akan memeriksa parabolanya! Sekarang Ayah mau istirahat dulu.”
Besoknya, Aku membantu Ayah mengangkat tangga lalu menyandarkan ke tembok. Ketika Ayah bersiap-siap naik ke genting, tiba-tiba datang Bu Salamah, tetangga kami datang.
“Pak Harlan, tolong sekali. Ada saudara saya yang sakit. Rumahnya di ujung desa,” kata Bu Salamah gugup.
“Baik, Bu salamah. Saya segera bersiap,” kata Ayah.
Ayah bergegas masuk ke rumah. Tidak lama, Ayah sudah siap dengan peralatan medisnya. Bersama Bu Salamahh, Ayah naik motor menuju rumah saudara Bu Salamah yang sakit. Begitulah Ayahku. Walau hari minggu, Ayah harus pergi mengobati orang sakit. Ayahku adalah seorang dokter yang bertugas di desa ini.
“Ya… lalu bagaimana dengan parabola kita?” tanya Redi kecewa.
“Sudah, kita tunggu Ayah saja,” hibutku.
“Ayah biasanya lama perginya kan. Keburu hari minggu lewat. Padahal banyak acara bagus.”
Aku diam saja, karena tidak tahu harus berbuat apa. Ibu pasti tidak bisa membantu. “Ayo, bantu kakak mengembalikan tangga!”
“Kalian sedang apa?” tanya Iksan yang kebetulan melintas depan rumahku.
Aku segera menceritakan pada Iksan.
“Ehm.. aku tahu sebabnya,” Iksan tersenyum.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Kamu mau, aku yang melihat ke atas. Parabolaku juga dulu begitu.”
Aku terdiam sejenak. Aku tidak yakin Iksan bisa. “Boleh deh, tapi kamu tidak akan merusak parabolaku kan. Ayahku bisa marah besar.”
“Tenang saja. Tidak ada yang diutak-atik kok. Hanya dibersihkan saja.”
Iklsan lalu naik ke genting. Aku membantu memegang tangganya. Iksan lalu membuka tutup LNB parabola. LBN itu alat untuk menangkap siaran di parabola. Tiba-tiba keluar dua ekor burung kecil dari penutup LNB.
“Tuh, kan, benar apa kataku,” seru Iksan girang. “Ada sarang burung di sini.”
“Coba lihat, Kak!” Redi ikut penasaran.
Iksan lalu mengambil sarang burung itu. Lalu pelan-pelan ia turun. Aku dan Redi segera melongok sarang di tangan Iksan. Benar, ada lima butir telur. Ukurannya sejempolku dan warnanya putih
“Ini telur burung apa, San? Tanyaku.
“Ini telur burung gelatik jawa. Itu yang suaranya nyaring cit cit cuit cit cit cuit,” Iksan menjelaskan. “Biasanya, 18 hari akan menetas setelah dierami. Uniknya, jantannya ikut mengerami telurnya juga. Nah, itu pasti induknya,” tunjuk Iksan pada dua burung kecil yang hinggap di pohon palem Ibu.
Aku dan Redi memperhatikan burung gelatik jawa. Burungnya sangat unik, karena banyak warna di tubuhnya. Kepalanya berwarna hitam, pipinya berwarna putih, sedangkan badannya berbulu warna abu-abu dan cokelat. Paruh dan kakinya berwarna merah jambu.
“Kita buang saja, menganggu parabola kita,” kata Redi.
“Ehm, jangan, dong! Kasihan. Pasti induknya sedih,” kataku.
“Iya,mungkin seminggu lagi menetas. lagipula sarangnya tidak menganggu lagi kok. Nanti aku bersihkan dan sarangnya ditaruh diatas LBN saja. Jadi aman.”
“Ya, sudah taruh lagi, San!” pintaku.
“Oke…” Iksan tersenyum lalu kembali naik ke genting.
Dengan cekatan Iksan membersihkan LBN, lalu memasang kembali tutupnya. Iksan lalu turun.
“Yuk, kita setel televisinya!” ajakku.
Aku, Redi dan Iksan menuju ruang televisi. Tentu saja, aku meminta bantuan Ibu menyalakan parabola. Benar, gambarnya sudah tidak bergoyang-goyang lagi.
Sorenya saat ayah pulang, kami langsung cerita pada ayah.
“Aku tidak pernah melihat burung gelatik,” ucapku
“Besok kalian bangun pagi. Pasti terdengar kicauan mereka,” ucap Ayah
Besoknya, aku sengaja bangun pagi. Pelan-pelan aku intip ke parabola. Benar, aku mendengar burung berkicau.
“Suaranya burungnya bagus ya, Kak!” kata Redi.
“Iya, sebentar lagi pasti akan bertambah 5 lagi. Untung kita tidak membuangnya. Kita ikut melestarikan burung gelatik jawa,” kataku.
Redi nyengir hingga gigi ompongnya terlihat.
Seru sekali baca cerita ini.