Pada suatu malam, Amara terbangun dari tidurnya karena mendengar papa dan mama bertengkar. Amara menguap sebentar, turun dari tempat tidur, dan berjalan perlahan sambil mengucek mata. Saat membuka pintu kamar, Amara melihat papa berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah mama yang saat itu juga berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah papa.
Amara kemudian berjalan ke arah dapur, mengambil sebotol air dingin dari kulkas, dan meminumnya. Setelah itu, Amara kembali ke dalam kamar, menutup pintu rapat-rapat, dan kembali tertidur. Suara pertengkaran papa dan mama masih terdengar jelas bahkan saat Amara sedang berada di alam mimpi.
Keesokan paginya, papa dan mama masih bertengkar saat Amara sedang menyiapkan sarapan.
Amara menuang susu putih ke dalam mangkuk berisi sereal dan melahapnya sambil sesekali melihat papa yang saat itu masih berteriak ke arah mama yang saat itu juga masih berteriak ke arah papa. Setelah itu, Amara melihat ke luar jendela. Langit pagi tampak begitu cerah.
Selesai sarapan, Amara meraih tas sekolah, menghampiri papa dan mama, mencium punggung tangan mereka, lalu pergi ke luar rumah dan berjalan kaki menuju sekolah. Suara pertengkaran papa dan mama masih terdengar jelas bahkan saat Amara sedang belajar di dalam kelas.
Bel pulang sekolah berbunyi. Amara berjalan keluar kelas dan suara pertengkaran papa dan mama masih terdengar jelas di telinganya. Amara mempercepat langkahnya menuju rumah.
Sesampainya di rumah, Amara melihat papa dan mama masih bertengkar seperti hari kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Bedanya, kali ini papa dan mama sudah berubah menjadi api. Keduanya saling membakar dan terbakar. Amara segera pergi ke kamar mandi, susah payah membawa seember air, dan menyiramkannya ke tubuh api papa dan mama. Sayangnya, tubuh api papa dan mama masih terus menyala.
Amara kembali ke kamar mandi, susah payah membawa seember air, dan kembali menyiramkannya ke tubuh api papa dan mama. Berulang kali. Berkali-kali. Namun, sama seperti tadi, tubuh api papa dan mama terus menyala. Membakar. Terbakar.
Amara letih dan bersimpuh di hadapan tubuh api papa dan mama. Amara menangis sambil meringkuk. Sepasang matanya meneteskan air mata, ya, air mata yang kemudian berubah menjadi seekor kupu-kupu cantik yang sepasang sayapnya mengepak dengan begitu anggun.
Kupu-kupu cantik itu kemudian terbang mengelilingi tubuh api papa dan mama. Kepakan sayapnya yang anggun itu lambat laun memadamkan api tersebut.
Setelah itu, masih dalam keadaan meringkuk, Amara merasa ada yang memeluknya.[*]
Tulisan mas Noor H Dee ini bagus dan menarik sekali, kalau sebuah lukisan ini bisa dibilang abstrak. Menggambarkan suasana psikologis di keluarga inti. Target pembaca umur brp?
Apakah mereka cukup faham dg makna dibalik cerita ini?