ALAT MUSIK PEMERSATU ALAM

Sudah sebulan ini Janu berlatih seni musik patrol. Ia begitu senang memainkan alat musik kentongan. Hari ini Janu akan mengikuti lomba musik Patrol yang diadakan oleh pemerintah kabupaten Banyuwangi.

Sejak tadi ia sudah menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya nanti ke dalam tas. Namun, ia tidak menemukan pemukul kentongan. Padahal semalam Janu meletakkan kentongan di dalam kamarnya.

Sambil memegang kentongan, ia mencari pemukulnya. Di bawah kasur, di samping meja belajar, hingga di atas lemari, tapi tak juga ditemukan.

Janu bertanya pada ayah dan ibu tapi tak ada yang tahu. Bahkan, ia bertanya pada Mbok Nah yang biasa bantu-bantu di rumah. Namun Mbok Nah juga tidak tahu. Mungkinkah Jati, adiknya yang mengambil?

Tak lama Jati, adik Janu datang sambil berlari dari luar rumah.

“Mas Janu…” panggilnya dengan terengah-engah.

“Kenapa?”

“Maaf  Mas. Tadi aku main gatrik di dekat sungai. Bawa bambu kentongan punya Mas. Terus bambunya jatuh di sungai.” Jati bercerita sambil menunduk.

Janu menghela napas panjang. Sedih. Ia tahu pasti Jati ingin menangis. Kebiasaannya memang suka mengambil sesuatu tanpa berkata pada pemiliknya. Sebenarnya Janu ingin marah, tapi ia tidak tega melihat adiknya menangis. Paling tidak Jati tidak mengambil pemukul kentongan yang jatuh di sungai.

“Lain kali jangan main di sungai. Sudah berapa kali Mas ingatkan.”

Jati yang masih menunduk pun mengangguk. Tiba-tiba ia berlari ke halaman rumah dan kembali membawa sebuah tongkat kayu pendek.

“Pakai ini Mas,” katanya menawarkan.

“Hm … Kalau pakai kayu suaranya terlalu keras. Pemukulnya harus pakai bambu juga,” terang Janu.

“Oh begitu.”

Namun Janu tetap mencobanya. Benar bunyinya terdengar lebih keras.

Sekarang bagaimana ia mendapatkan pemukul kentongan dalam waktu singkat. Sudah hampir sore. Lomba akan dimulai pukul 15.00.

Sebaiknya Janu menemui Cak Toni di lapangan. Cak adalah panggilan untuk orang yang lebih tua. Cak Toni adalah ketua komunitas patrol.

Saat Janu dan Jati datang sudah ramai. Banyak peserta lomba yang sudah hadir.

Lomba patrol terdiri dari beberapa kelompok. Masing-masing kelompok minimal terdiri dari 15 orang.

Alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional yang semuanya terbuat dari bambu. Ada kentongan, angklung Banyuwangi, dan seruling. Suara alat musik yang berpadu itu bisa menyatukan pendengar dengan alam semesta.

Kesenian ini juga diiringi oleh satu atau dua orang penyanyi yang menyanyikan lagu atau gending banyuwangen. Gending dinyanyikan dengan cengkok serta logat khas Banyuwangi.

“Itu Cak Toni, Mas!” kata Jati sambil menunjuk dua orang yang sedang berbincang di pinggir lapangan.

Mereka langsung mendatangi Cak Toni. Mereka duduk di samping lapangan sambil memperhatikan persiapan panitia.

“Ada apa, Janu?” tanyanya.

Janu menceritakan masalahnya. Cak Toni menyarankan untuk pergi ke rumah Mbah Joyo. Mbah Joyo adalah seorang budayawan dan pengrajin kentongan dari bambu. Cak Toni langsung meninggalkan mereka setelah dipanggil oleh seorang laki-laki.

Tepat saat itu terdengar panggilan dari pengeras suara.

“Diharapkan untuk masing-masing perwakilan peserta lomba untuk mengambil nomor undian.”

Masih cukup tidak ya waktunya? Rumah Mbah Joyo jauh. Pikir Janu.

Hasan datang sebagai perwakilan kelompok mereka. Ia memberi tahu bahwa mereka akan tampil nomor delapan. Ia sudah memakai pakaian tradisional.

“Belum siap, Janu?” tanya Hasan.

“Belum,” katanya sambil menggelengkan kepala. Jati yang berada di sampingnya tampak sedih.

“Kenapa?”

Janu kemudian menceritakan masalahnya pada Hasan.

“Masih ada waktu Janu, kalau kamu pergi ke rumah Mbah Joyo sekarang,” kata Hasan. “

“Ayo, Mas!” ajak Jati. Janu bangkit dari duduknya diikuti oleh Jati.

Mereka berjalan cepat menuju ke rumah Mbah Joyo. Setelah sepuluh menit berjalan, sampailah di rumah Mbah Joyo.

Jati sudah tidak sabar. Ia langsung mengetuk pintu rumahnya.

“Assalamualaikum,” mereka memberi salam.

“Waalaikumsalam. Siapa, ya? terdengar jawaban dari dalam.

“Janu, Mbah.”

Pintu rumah terbuka. Mbah Joyo tersenyum hingga giginya yang ompong terlihat.

“Masuk, masuk. Sama siapa Janu?” tanya Mbah Joyo sembari mempersilakan duduk.

“Ini Jati Mbah. Adik Janu.”

Janu sudah tak sabar. Ia langsung menceritakan masalahnya.

“Mbah buatkan saja. Mbah punya banyak bambu di belakang.” Mbah Joyo berdiri dan masuk ke belakang rumah.

Sebentar kemudian Mbah Joyo kembali sambil membawa minuman. Janu membantu meletakkan minuman di atas meja.

Mbah Joyo kemudian masuk lagi lalu keluar dengan membawa sebuah bambu panjang.

“Kemarikan kentonganmu, akan Mbah sesuaikan dengan lubangnya. Sambil menunggu, silakan diminum.”

“Terima kasih, Mbah,” ucap Jati yang langsung minum. Sepertinya ia kehausan karena mengikuti Janu ke sana kemari.

“Mbah sudah lama jadi pengrajin kentongan bambu?” tanya Janu.

Mbah Joyo terkekeh. “Sejak masih muda. Dulu Mbah suka main patrol waktu bulan Ramadhan. Keliling kampung membangunkan orang sahur. Terus berlanjut membuat kentongan bambu. Cuma ini yang bisa Mbah lakukan untuk melestarikan seni musik daerah.”

Tak lama pemukul kentongan sudah jadi.

“Wah … Terima kasih, Mbah. Berapa biayanya,” tanya Janu.

“Gratis. Mbah masih punya banyak bambu.”

Setelah mengucapkan terima kasih, mereka pun berpamitan.

Janu dan Jati berjalan cepat menuju lapangan. Saat tiba di lapangan, ternyata peserta yang tampil sudah nomor enam.

Masih ada waktu untuk salat asar dan ganti baju. Janu langsung menarik tangan Jati mengajaknya salat asar di musholla dekat lapangan. Kemudian Janu mengganti baju dengan pakaian tradisional.

Setelah selesai Janu langsung menuju ke belakang panggung. Sedangkan Jati sudah berlari dan bergabung bersama penonton.

Saat Janu tiba di belakang panggung, kelompok Janu sedang bersiap-siap menunggu giliran tampil.

Sampai tibalah kelompok Janu tampil.

Tek! Tek! Tek!

Klung! Klung! Klung!

Perpaduan musik, aksi panggung, dan setiap nadanya terdengar merdu.

Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar