“Alhamdulilah … akhirnya aku bisa mendapatkan tiga ekor anak burung kutilang ini. Aku akan merawatnya dengan baik sampai besar supaya ketiganya bidsa berkicau dengan merdu,” kata Aldi setelah berhasil mengambil tiga anak burung kutilang dari sangkarnya yang ada di salah satu dahan pohon manga di tepi sawah.
Aldi tersenyum puas walaupun untuk mendapatkan ketiga anak burung kutilang itu ia sampai digigiti semut rangrang saat memanjat tadi. Tak mengapa sakit sedikit yang penting keinginannya untuk memelihara burung bisa terwujud.
Denga langkah riang lantas ia pun segera melangkah pulang. Ia tak peduli andai nanti dimarahi ibunya karena baju seragam yang dikenakannya menjadi kotor akibat memanjat pohon manga tadi. Kebahagiaannya mendapatkan tiga ekor anak burung, membuatnya teramat bahagia.
Sampai di rumah, tanpa melepaskan tas punggung yang masih nangkring di pundaknya, Aldi bergegas ke gudang. Ia mengambil sangkar burung yang sudah lama tak dipakai lagi. Sejak burung perkutut peliharaannya lepas tiga bulan yang lalu, Aldi belum pernah merasa sebahagia saat ini.
Sejenak sangkar itu dibersihkannya dari debu dan jelaga. Di pojok sangkar diberinya alas dari kaos yang sudah tak dipakai. Lantas diletakkannya ketiga anak burung itu di atas lipatan kaos itu.
Saat dipindahkan ke dalam sangkar, ketiga anak burung itu mencicit sambil membuka lebar-lebar mulutnya. Ardi tahu itu tandanya anak-anak burung itu sedang lapar. Lalu ia pun mengambil sebuah pisang dari meja dapur. Dengan telaten Aldi menyuapi ketiga anak burung itu.
“Loh, Aldi kau sudah pulang rupanya?” tanya kakaknya yang sedang mengambil segelas air putih.
“Iya, Kak.”
“Lalu kenapa kau belum ganti pakaian dan makan siang juga? Sedang apa kau di situ?”
“Ini Kak, lagi nyuapi anak burung kutilang.”
“Anak burung kutilang?” Sang kakak mengulangi perkataan adiknya.
“Iya Kak, aku baru saja mengambilnya dari sarang yang ada di pohon manga dekat sawah,” sahut Aldi bersemangat.
“Kau yakin mau pelihara ketiga anak burung itu?”
Aldi mengangguk mantap.
“Awas ya kalau sampai terlantar dan mati. Kasihan dan kau berdosa nanti.”
“Tenang Kak, aku kan penyayang binatang. Jadi ketiga anak burung kutilang ini pasti akan aku rawat dengan sebaik-baiknya.” Aldi menyahut sambil tersenyum membanggakan dirinya.
Sang kakak tersenyum sambil menganggukkan kepala.
***
Satu hari, dua hari, hingga satu Minggu kemudian Aldi masih bisa menjaga dan merawat ketiga anak burung kutilang itu dengan baik. Tentu saja kakaknya merasa senang dengan adiknya yang bertanggung jawab.
Sampai suatu hari tiba-tiba di kelas Aldi diadakan tambahan pelajaran. Aldi yang biasanya pulang jam 12.30, mundur sampai jam 15.00. Akibatnya ia terlambat memberi makan dan minum untuk ketiga anak burung kutilang peliharaannya.
“Aldi, aku ingin melihat ketiga anak burung kutilang yang kau pelihara? Boleh kan?” tanya Danar teman sebangku Aldi saat mereka pulang sekolah sore itu.
“Tentu saja boleh. Kau pasti akan senang melihatnya. Mereka gemuk-gemuk dan tubuhnya mulai berbulu. Menggemaskan, deh,” sahut Aldi dengan senyum bahagia.
“Iyakah?” Danar penasaran jadinya.
“Iya. Ayo deh kita bergegas agar cepat sampai di rumahku!” Aldi menarik tangan Danar dengan penuh semangat.
Mereka berlari-lari kecil menyusuri jalan desa yang sudah beraspal. Sepanjang jalan Aldi menceritakan keberhasilannya merawat ketiga anak burung kutilang itu. Tak lupa ia ceritakan pula keasyikannya saat menyuapkan pisang ke anak-anak burung itu.
“Wah, kedengarannya mengasyikkan sekali. Nanti boleh ya aku ikut memberi makan anak-anak burung itu?” Danar semakin penasaran.
“Tentu saja boleh,” sahut Aldi sembari mengajak temannya untuk mempercepat langkah.
Aldi tahu pasti sekarang ketiga anak burung kutilang sudah kehausan dan kelaparan.
***
Seketika Aldi tertunduk lesu ketika mendapati salah satu dari ketiga anak burung kutilang itu nampak meringkuk lemas di sudut sangkar. Burung kecil itu terkulai tanpa bersuara lagi. Bahkan mata bulatnya yang biasanya berbinar, kini terpejam dengan rapat.
“Ya Allah, burungku? Kenapa bisa jadi seperti ini?” Aldi memekik lirih.
Dengan hati-hati ia keluarkan anak burung yang terlihat kesakitan itu. Ia pun segera memberinya minum serta menyuapinya buah pisang. Aldi jadi sangat sedih saat melihat anak burung itu seperti enggan menelan sesuatu.
Dengan penuh kasih, Aldi meletakkan anak burung yang lagi sakit itu ke sebuah wadah plastik diberi alas kain. Tak lupa ia selimuti tubuh burung kutilang kecil itu dengan selembar saputangan tebal.
“Danar, tolong kau beri makan dan minum kedua anak burung dalam sangkar itu, ya. Aku rawat dulu anak burung yang lagi sakit ini,” ujar Aldi tanpa semangat lagi.
Danar mengangguk. Tanpa menyahut dia lakukan perintah Aldi.
***
Jam 16.00 saat kakaknya Aldi pulang sekolah, dia sangat terheran-heran melihat adiknya berwajah murung. Bergegas ia hampiri Aldi yang sedang duduk murung. Di hadapannya terdapat gundakan tanah kecil yang baru digali.
“Aldi, ada apa kau duduk murung di sini, heh?”
“Itu Kak, salah satu anak burung kutilangku mati. Ini baru saja aku kuburkan,” sahut Aldi dengan mata berkaca-kaca.
“Nah, kakak bilang juga apa. Anak-anak burung itu akan lebih terawat dan sehat apabila kau biarkan hidup bersamanya induknya.”
“Tapi Kak, aku kan sayang pada anak-anak burung itu.”
“Iya, kakak tahu. Namun cara menyayangi binatang yang kau lakukan itu salah, Aldi.”
“Salah bagaimana, Kak?”
“Menyayangi binatang itu tidak harus dengan menangkap dan memeliharanya. Apalagi sampai memisahkan anak-anak burung dari induknya. Itu akan sangat membahayakan keselamatan anak-anak burung itu. Karena itu, jika kau memang menyayangi anak-anak burung itu, lebih baik biarkan mereka hidup bebas di alam. Kita cukup mendengarkan kicau merdunya saat mereka bertengger di dahan-dahan pohon sekitar rumah kita,” nasehat kakaknya bijak.
“Kalau begitu apa yang harus aku lakukan Kak dengan dua anak burung yang masih hidup itu?”
“Sekarang juga kita kembalikan dua anak burung itu ke sarangnya agar dapat dirawat dan dibesarkan oleh induknya. Di mana tempat sarang burung itu berada?”
“Di pohon manga di pinggir sawah Kakek.”
“Kalau begitu ayo kakak bantu kau mengembalikannya ke sana.”
Aldi mengangguk dan bergegas mengambil dua anak burung kutilang yang masih tersisa.
Saat sudah berhasil diletakkan kembali ke sarangnya, tak berselang lama dua ekor kutilang dewasa sudah datang menghampirinya. Induk kutilang itu segera saja memberi makan kedua anaknya yang sedari tadi mencicit karena haus dan lapar.
Aldi dan kakaknya masih berdiri tak jauh dari pohon mangga itu. Aldi merasa bahagia saat kedua anak burung kutilang itu sudah tak mencicit lagi. Pasti kedua anak burung itu juga sedang bahagia karena telah bertemu lagi dengan induknya.