BANTUAN SEORANG TEMAN
Akh! Adib terkejut! Ia merasa tak sing lagi dengan suara yang baru saja di dengarnya. Sayang tempat mereka berada agak gelap jadi Adib tak dapat melihat dengan jelas. Yang pasti dia ternyata bukan orang dewasa tapi seorang anak seusia dirinya.
“Sama-sama. Kita sama-sama salah,” ujar Adib.
Anak itu hanya mengangguk saja. Sementara tubuhnya masih saja membungkuk dan menunduk untuk membersihkan pakaiannya dari noda tanah. Dan begitu anak tersebut berdiri dengan tegak, serta merta matanya terbelalak lebar. Melihat radio kecil yang menggantung di leher penabraknya, spontan ia ingat.
“Kau Adib, ya?”
“Iya. Kau siapa?”
“Ini aku Ega, Dib. Temannya Panjul yang kemarin layang-layangnya kamu kalahkan.”
“Ega? Jadi kamu sudah pulang? Tapi kamu kok sendirian? Mana Panjul dan Jilan? Soalnya tadi sore aku melihat kalian menuju ke bukit di tepi hutan. Tapi ketika aku ke sana, kalian sudah gak ada. Yang aku lihat hanya keranjang rumput di bawah pohon saja,” cecar Adib setelah ingat semuanya.
Ega terdiam. Bukannya menjawab Ega malah menghela napas berat dan dalam.
“Waktu pulang tadi aku juga sempat ditanyai oleh orang tua Jilan karena sampai hampir Magrib kalian belum pulang,” lanjut Adib.
Lemah Ega menyahut.
“Iya Dib, sampai sekarang aku belum berani pulang.”
“Loh, kenapa?”
“Aku takut dan cemas, Dib.”
“Takut dan cemas?” gumam Adib.
Ega menganggukkan kepala dengan gerakan pelan.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Memang ada apa? Coba ceritakanlah, siapa tahu ada yang bisa aku lakukan untukmu?”
Lalu Ega pun menceritakan semua yang dialaminya sedari tadi siang hingga sekarang. Tak lupa ia ceritakan juga tentang Jilan yang sekarang tertangkap dan disekap oleh komplotan pencuri ternak. Juga tentang Panjul yang rela tetap bertahan kembali dalam gua karena ingin menyelamatkan Jilan. Ega menceritakan semua itu dengan penuh rasa kesedihan dan kecemasan. Terlebih lagi saat ia cerita soal tidak adanya warga yang percaya dengan apa yang sedang dialaminya.
Terakhir Ega menceritakan tentang keinginannya untuk melaporkan hal ini ke kantor polisi. Ia juga bercerita soal keputusannya untuk lewat desa Genjong yang sudah ia pikirkan dengan berbagai pertimbangan. Hingga akhirnya mereka dipertemukan dalam suatu kecelakaan yang tak disengaja tentunya.
Adib mendengarkan semua itu dengan seksama. Sesekali Adib nampak mengangguk-angguk tanda setuju akan sikap yang dilakukan oleh Ega, Panjul, dan Jilan.
“Oo seperti itu. Jadi auman yang sering didengar warga itu bohongan dan hanya untuk menakut-nakuti warga agar dengan gampang ternak warga dicolong oleh mereka,” kata Adib dengan perasaan takjub.
“Iya Dib, karena itulah aku nekad mau ke kantor polisi untuk mengakhiri kejahatan mereka sekaligus menyelamatkan Panjul dan Jilan,” sahut Ega.
“Wah, sepertinya hari ini kalian telah mengalami suatu petualangan yang seru di Sirah Kencong. Baiklah kalau begitu bolehkah saya berperan di dalamnya?” Adib bertanya dengan tatapan tajam.
“Maksudmu, Dib?”
“Sekarang juga dengan sepedaku ini, aku akan mengantarmu ke kantor polisi, bagaimana?” tanya Adib penuh harap. Dari suaranya Adib tampak begitu antusias.
“Tapi Dib, bukankah sekarang kau hendak berangkat mengaji?”
“Semula memang, iya. Tapi untuk berbuat suatu kebaikan, bolos mengaji satu kali kan gak apa-apa ya?” jawab Adib sambil cengengesan.
“Oke kalau begitu,” sambut Ega merasa senang.
“Terima kasih Ega. Sekarang ayo kamu ikut dulu ke surau. Aku harus minta ijin dulu pada Nenekku,” ajak Adib sambil mulai mendirikan sepedanya yang sedari tadi dibiarkan tergeletak di dekat pagar pekarangan.
Ega mengangguk sambil tersenyum. Tanpa berkata-kata lagi mereka segera berboncengan menuju ke surau di pinggir desa. Karena setiap petang neneknya Adib memang membantu guru mengaji mengajari anak-anak belajar membaca Al Qur’an.
***
Nenek Srilah menatap Adib dengan heran. Sebab tak biasanya cucu semata wayangnya ini terlambat sampai di surau. Apalagi kedatangan Adib tidak lagi sendiri. Tapi dengan membawa serta seorang teman. Nenek Srilah tahu benar jika anak yang diajak Adib itu bukanlah anak warga desa Genjong.
Terlebih saat nenek itu tahu, begitu datang Adib bukannya langsung berwudlu, tapi justru berdiri saja di teras surau. Sambil cengar-cengir ia memanggil neneknya dengan lambaian tangan.
“Nek, ijinkan cucumu ini untuk tidak mengaji sekali ini saja. Sebab saya akan melakukan suatu kebaikan yang lebih besar,” kata Adib saat sang nenek sudah menghampirinya.
“Perbuatan macam apa yang hendak kau lakukan, Dib?” tanya neneknya ragu.
“Saya hendak mengantar temanku ini untuk suatu urusan yang sangat penting, Nek.”
“Iya, tapi urusan apa, Dib?”
“Nanti saja Nek, aku ceritakan. Sekarang ijinkan aku berangkat nanti keburu malam,” elak Adib bukan sekedar alasan.
Sang Nenek hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Pipinya yang sudah keriput nampak berguncang-guncang akibat gelengannya.
“Dib, sebaiknya katakana dengan jujur saja pada nenekmu,” saran Ega sambil menatap wajah Adib dengan tajam.
“Nah, bener apa kata temanmu itu. Jujur saja, ada apa?”
Sejenak Adib memandang Ega, baru kemudian mulai berkata.
“Begini Nek, saya mau mengantar Ega ini ke kantor polisi buat melaporkan komplotan pencuri ternak yang bersembunyi di dalam gua di balik bukit. Komplotan pencuri ternak itu sekarang sedang menyekap dua temannya Ega yaitu Panjul dan Jilan. Jadi sekarang saya mau membantu buat menyelamatkan mereka itu, Nek. Jadi boleh kan saya berangkat ke kota kecamatan?”
“Kalian mau ke kota kecamatan boncengan sepeda?”
Adib dan Ega mengangguk serentak.
“I-iya, Nek.” Adib menyahut penuh keyakinan.
“Be-betul, Nek,” sahut Ega sopan.
Nenek Sriamah kembali terdiam. Ia tak bermaksud meragukan kelihaian cucunya mengayuh sepeda, tapi ini kan sudah malam. Jarak yang akan ditempuh juga lumayan jauh. Tak heran jika timbul kekhawatiran di hati nenek itu. Apalagi Adib adalah cucunya semata wayang. Tentu nenek itu tak mau cucu tersayangnya terlibat suatu kejadian yang tak diinginkan.
“Bagaimana Nek, boleh kan?” Adib mengulang pertanyaannya yang belum sempat dijawab oleh neneknya.
Seolah sengaja mempermainkan perasaan cucunya, si nenek tidak langsung menjawab. Perempuan beruban itu justru nampak sedang berpikir berat.
“Bagaimana, Nek?” Adib kembali mendesak.
“Eee … bagaimana, ya?” Sang nenek berlagak pilon.
“Ayo dong Nek, boleh yaa?”
Setelah berdiam diri beberapa saat, barulah nenek Srilah menganggukkan kepala dengan senyuman.
“Ya sudah, berangkatlah kalian. Tapi hati-hati, ya.” Adib berusaha merayu neneknya.
“Terima kasih, Nek. Assalammualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Setelah menyalami nenek Srilah, mereka segera berangkat dengan penuh semangat. Sepanjang jalan Adib selalu minta di depan. Sehingga Ega hanya duduk di boncengan. Sesekali Ega tersenyum senang. Karena niatnya untuk mencari bala bantuan segera terwujud atas bantuan seorang teman.
Teman yang semula dianggap lawan.
Bersambung …