AKHIR PENGGEREBEKAN
“Kalau saja tidak tersangkut oleh tali sialan ini, aku sudah pasti lolos dari penggerebekan kalian!” kata Bos pencuri sangat geram.
Berungkali Bos komplotan pencuri itu mendengus kesal sambil berusaha meronta agar tali yang menjerat kakinya bisa terlepas. Namun, usahanya sia-sia. Semakin ia banyak bergerak, simpul tali yang menjerat sebelah kakinya justru semakin kuat terikat.
“Kalau kau memang bisa lari, berlarilah! Tapi timah panas dari pistolku ini pasti tak akan mengijinkan kau meloloskan diri,” sahut seorang polisi sambil menimang-nimang pistolnya.
Bos komplotan pencuri langsung keder dibuatnya. Tidak ada jalan lain, ia pun menyerah tanpa perlawanan lagi.
“Ampun, Pak Polisi! Ampun! Jangan tembak saya! Ampun!” ratap Bos komplotan pencuri itu saat dua polisi menghampiri dan langsung menodongkan pistol pada dirinya yang tergantung dan terus bergoyang-goyang akibat gerakan tubuhnya.
“Turunkan tersangka dan langsung borgol dia!” perintah sang polisi.
Bersama seorang warga, seorang polisi segera menyusuri ke mana arah pusat tali itu berada. Dan kiranya tali itu terikat pada sebongkah batu besar yang dipergunakan sebagai pemberat. Sang polisi tersenyum mengagumi kepintaran orang yang telah memasang jebakan tali itu.
“Sebaiknya jangan turunkan dulu, Pak. Biarkan dia tersiksa dalam gantungan itu,” kata seorang warga.
“Waktu kita terbatas, Pak. Tidak ada waktu untuk main-main. Kasihan anak-anak yang belum kita ketemukan.” Pak Polisi memberi penjelasan.
“Ayo cepat turunkan dan borgol dia!” Bapak Polisi yang tadi mengulang perintahnya yang belum terlaksana.
Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya, sang polisi segera mencabut sebilah belati yang sedari tadi menggantung di ikat pinggangnya. Bret! Dalam sekali gerakan tali itupun putus seketika.
Bruukk!
Tubuh Bos komplotan pencuri itupun terjatuh di lantai gua. Untung ia bisa menghindar agar bukan kepalanya yang mendarat duluan. Tapi bahunya yang ia korbankan.
“Cepat borgol dan kumpulkan dengan komplotannya!” perintah Pak Polisi.
Dalam posisi masih tengkurap di lantai gua, polisi serta merta menarik tangan orang jahat itu ke belakang pinggangnya. Sebuah borgol langsung dipasangkan dengan ketat. Setelah itu warga membawanya keluar gua.
“Tiga buronan sudah tertangkap. Berarti masih ada dua orang lagi yang masih bersembunyi di dalam gua ini,” kata polisi yang baru saja memborgol tawanannya.
“Karena gua ini sekarang terbagi jadi dua lorong, sebaiknya sekarang kita berpencar saja,” saran polisi yang satunya.
“Tidak perlu! Yang satu orang lagi sudah kami amankan!” sahut seorang polisi yang baru datang dari lorong gua sebelah kanan.
“Kalau begitu tinggal satu orang lagi.”
“Tidak Pak Polisi, kita juga belum menemukan Panjul dan Jilan,” sahut Pak Anto.
“Oiya, itu benar. Berarti kemungkinannya satu orang yang belum tertangkap itu pasti menyekap kedua anak itu di lorong sebelah kiri.”
“Kalau begitu, ayo segera kita periksa!”
Serentak semua orang bergegas melanjutkan langkah menyusuri lorong gua sebelah kiri.
Sambil berjalan menyusuri lorong, mereka menyulut setiap obor yang mereka temukan tertancap di dinding gua. Lorong gua pun menjadi terang benderang. Sehingga mudah bagi semuanya untuk menghindari batu-batu terjal dan licin yang mencuat di lantai gua,
Setiap kali menemukan batu besar, selalu mereka teliti dengan seksama. Siapa tahu ada orang yang bersembunyi di baliknya. Namun, hingga perjalanan mencapai bagian tengah lorong sisi kiri, masih juga mereka belum menemukan siapa-siapa.
Hal itu berarti penggerebekan belum selesai. Mereka masih harus melanjutkan aksi. Keselamatan Panjul dan Ega menjadi prioritas mereka. Sebab kedua anak Pijiombo yang pemberani itulah saksi kunci dari kasus kriminal yang sedang ditangani ini.
***
Sementara di tempatnya berada, Jilan masih tampak duduk di punggung penjahat bernama Kris yang sudah terikat dalam poisi tengkurap. Sementara Panjul berusaha mengumpulkan dan mengikat kembali hewan-hewan ternak yang tadi sempat ia lepaskan semua untuk mengacaukan komplotan penjahat.
“Jilan, jangan sampai kau lengah, ya! Terus duduki saja punggung penjahat itu agar tidak bisa ke mana-mana lagi!” perintah Panjul sambil terus bekerja.
“Iya, Njul. Kau teruslah mengikat kambing-kambing itu.”
“Beres, ini juga tinggal dua ekor saja kok. Semoga saja warga dan polisi segera sampai ke tempat ini.”
“Iya, semoga saja.”
Panjul mengangguk penuh harap. Selesai mengikat kambing terakhir yang ada di hadapannya, Panjul perlahan menghampiri Jilan. Tanpa merasa kasihan sedikit pun, ia menghempaskan tubuh gendutnya ke punggung Kris yang hanya mampu mengaduh.
“Jilan, sorot senter ini sudah mulai meredup. Mungkin batereinya sudah mau habis. Kalau sampai senternya mati dan mereka belum menemukan kita, habislah kau dan aku di dalam gua ini.” Panjul mengeluh sambil mengutak-atik senter di tangannya.
“Aduh, Njul … kau jangan menakut-nakuti aku dong,” gerutu Jilan mulai was-was.
“Aku gak sedang menakut-nakuti kamu, Lan. Tapi itulah kenyataannya.”
Duuh, serta merta Jilan membayangkan kejadian buruk yang bisa saja menimpa mereka. Sungguh, tak dapat ia bayangkan andai ia dan Panjul belum bisa keluar dari dalam gua ini sampai keadaan gelap. Tentu ketakutan akan segera menyiksa mereka.
Tapi tentu saja bukan takut karena kemunculan hantu atau harimau seperti kata penduduk desa yang sering ia dengar. Toh, ia sudah melihat sendiri kalau berita soal kemunculan harimau itu hanya sekadar rekayasa para komplotan pencuri. Yang lebih ia takutkan adalah jika muncul ular dalam kegelapan. Ia paling jijik dan takut dengan binatang melata itu.
Sewaktu kecil, kira-kira umur 4 tahun Jilan pernah mengalami kejadian buruk tentang ular. Ia pernah digigit ular yang pernah masuk ke rumahnya. Gigitan ular itu sempat membuatnya demam tinggi selama empat hari. Untunglah, atas bantuan Pak Kepala Desa, ia bisa segera bisa mendapatkan pertolongan dari dokter. Sehingga ia selamat dan bisa hidup sehat sampai sekarang ini. Kalau saja tidak … entah apa yang akan terjadi pada dirinya.
“Kalau begitu cepatlah berusaha lebih keras lagi!” seru Jilan semakin was-was.
“Ini sedari tadi aku juga sudah berusaha, Jil.” Panjul juga mulai cemas.
Sambil tetap waspada mengawasi keadaan sekitarnya, Jilan terus memperhatikan Panjul yang sedang bekerja keras untuk memberikan kode isyarat cahaya ke kedua ujung lorong gua secara bergantian.
Dengan kode isyarat cahaya itu mereka berharap bantuan segera datang untuk mereka berdua. Sementara Panjul terus berusaha mengirim isyarat cahaya, bibir Jilan tak henti-henti membaca doa. Ia memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga berkenan untuk menyelamatkan mereka.
Jilan tak mau hidupnya berakhir di dalam gua ini. Ia masih ingin bertemu dengan kedua orang tua serta teman-temannya. Ia masih ingin bersekolah dan mengejar cita-citanya yang menjadi menjadi seorang guru.
Jilan dan Panjul ingin penggerebekan komplotan pencuri ini berakhir sesuai rencana mereka.
Bersambung …