ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 27)

ANAK-ANAK HEBAT

 

 

Malam itu juga Ega, Jilan, dan Panjul beserta orang tua mereka ikut ke kentor polisi guna mengurusi ternak mereka yang dijadikan barang bukti. Dengan meminjam kendaraan milik pabrik teh Sirah Kencong, mereka diangkut dengan sebuah truk. Sepanjang jalan mereka tak henti-hentinya bersyukur atas terbongkarnya komplotan pencuri ternak yang selama ini menyaru sebagai harimau untuk menakut-nakuti warga.

Sementara itu Panjul, Ega, dan Jilan yang duduk semobil dengan Komandan Polisi tampak selalu tersenyum gembira setiap kali sang Komandan Polisi menyanjung mereka sebagai anak-anak hebat.

“Kalian bertiga benar-benar anak yang hebat. Selain telah membantu warga menemukan kembali ternaknya, secara tidak langsung kalian juga telah membantu tugas polisi untuk menangkap komplotan pencuri. Tanpa laporan dari kalian mungkin kami belum berhasil menangkap komplotan pencuri ternak yang sudah lama jadi target operasi kami itu. Untuk itu kami pasti akan memberikan penghargaan untuk anak-anak hebat seperti kalian,” ujar Komandan Polisi penuh kebanggaan.

Jilan, Panjul, dan Ega tersenyum berbarengan. Seperti sebuah tim sepakbola yang baru menciptakan gol kemenangannya, mereka bertiga menyatukan sorak.

“Wah, itu baru mantap, Pak!” kata Panjul mengacungkan jempolnya.

“Terima kasih sebelumnya, Pak,” sahut Jilan dan Ega serentak.

Komandan polisi tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak ketiga anak itu secara bergantian.

“Kami juga berterima kasih pada kalian. Kalian memang pantas mendapatkan penghargaan. Tapi omong-omong di mana teman kalian yang ikut melapor tadi? Kok dari tadi tidak kelihatan?” tanya Komandan Polisi seraya menatap ketiga anak itu.

“Oo Adib …!” seru mereka serentak.

“Ya, Adib,” sahut komandan polisi.

“Adib tadi langsung pulang ke rumahnya Pak. Kasihan neneknya kalau ditinggal sendirian sampai larut malam,” sahut Ega.

“Memang di mana rumahnya? Apa tidak di Pijiombo juga?”

“Rumahnya Genjong, Pak,” sahut Panjul.

“Iya Pak, tapi setiap hari Adib mainnya di Pijiombo karena itu meskipun kami berbeda sekolahan tapi kami berteman,” sela Ega pula.

“Oo begitu,” gumam Komandan Polisi manggut-manggut.

Sejenak mereka terdiam. Kini yang terdengar hanya deru mobil dan suara binatang malam yang bersembunyi di balik jejeran pohon-pohon karet yang tampak tegak menghitam. Sesekali tampak binatang malam yang terbang melintas jalan dari rimbun semak di lereng-lereng terjal di sebelah kanan-kiri jalan.

Kini ketiga bocah itu sama-sama tenggelam dalam lamunannya masing-masing. Mereka membayangkan hadiah apa yang nantinya bakal diterima. Ya meskipun sebenarnya mereka melakukan semua ini dengan ikhlas.

Panjul membayangkan akan mendapat sebuah sepeda balap seperti yang selama ini diinginkannya. Sepeda yang setiap Minggu akan ia buat berkeliling desa Pijiombo untuk menikmati udara segar sekalian berkunjung ke rumah teman-temannya. Dengan bangga ia kelak akan selalu menceritakan keseruan pengalaman mala mini. Pengalaman menangkap komplotan pencuri ternak memang sungguh membanggakan hati.

Ega membayangkan akan mendapat hadiah sepatu sepak bola. Sepatu yang akan ia pakai untuk berlatih dengan serius agar kelak jika besar nanti dirinya bisa menjadi pemain bola terkenal seperti Cristiano Ronaldo. Selama ini ia berlatih dan bermain bola memakai sepatu seadanya saja.

Sedang Jilan, ingin mendapatkan hadiah sebuah boneka Berbie yang cantik. Ia ingin memeluk dan menggendong boneka itu ketika bermain dengan teman-temannya. Selama ini yang ia miliki hanyalah boneka-boneka berbentuk binatang atau tokoh kartun. Jujur, sebenarnya ia sudah bosan dengan semua itu. Tetapi mau bagaimana lagi. Untuk membeli boneka Berbie yang cukup mahal itu, orang tuanya belum punya uang. Selain itu, toko yang menjual hanya ada di kota Kabupaten yang jaraknya dengan desa Pijiombo sekitar dua jam perjalanan.

Akh! Tanpa diduga anak-anak Pijiombo itu mendesah bersama-sama. Sejenak mereka saling pandang. Untuk kemudian tersenyum berbarengan.

“Hayo ngaku, kalian sedang membayangkan apa barusan?” Jilan bertanya seraya menatap Panjul dan Ega secara bergantian.

“Kau sendiri lagi membayangkan apa?” Ega malah balik bertanya sambil cengengesan.

“Ya, jawab dulu pertanyaanku lah,” sahut Jilan ngeles.

“Kau Njul, membayangkan apa tadi?” Ega menatap Panjul yang hanya senyum-senyum saja sedari tadi.

“Aku membayangkan akan mendapat hadiah sepeda yang akan aku gunakan untuk mengunjungi semua teman di Pijiombo.” Panjul menjawab bangga.

“Wah, bagus itu. Untuk menjalin silaturahmi agar tercipta kerukunan. Kalau kau ega?” sahut Jilan memberi acungan jempol pada Panjul.

“Aku membayangkan akan mendapat hadiah sepatu sepak bola. Akan aku pakai untuk berlatih dengan tekun agar bisa menjadi pemain bola yang professional,” jawab Ega penuh semangat.

“Kalian berdua memang hebat. Selalu punya keinginan besar. Beda jauh dengan aku.” Jilan menyahut dengan muka cemberut.

“Memang apa yang kau bayangkan tadi?” Panjul menatap Jilan yang sekarang sedang menatap langit bertabur bintang.

“Berbie.” Singkat Jilan menjawab.

“Boneka?” seru Panjul dan Ega serentak.

Jilan mengangguk lemah.

“Kalian jangan tertawakan aku, ya. Aku kan perempuan, jadi gak ada keinginan yang muluk-muluk. Seperti kebanyakan perempuan di Pijiombo, setelah tamat SMP langsung kerja di perkebunan. Begitu juga aku.” Jilan berkata dengan wajah nelangsa.

“Kau gak boleh lemah seperti itu, Lan. Kau harus sekolah setinggi-tingginya. Ingat apa yang pernah dikatakan Bu Devi, kan? Sekarang ada emansipasi wanita di mana lelaki dan perempuan punya hak yang sama.” Ega memberikan dorongan semangat.

“Benar kata Ega itu. Kau harus jadi perempuan hebat yang berbeda dari kebanyakan perempuan Pijiombo. Tunjukkan pada semua orang bahwa perempuan juga berhak sukses,” dukung Panjul juga.

“InshaAllah, amin. Terima kasih atas dukungan kalian.” Jilan kembali memendang ke langit. Entah apa yang ia pikirkan saat menatap gemerlap bintang-bintang itu.

“Nah, begitu dong. Anak-anak Pijiombo itu harus bersemangat supaya kelak jadi orang hebat.” Ega mengacungkan dua jempolnya.

Plok plok plok plok! Seorang polisi yang sedari tadi diam saja, tiba-tiba bertepuk tangan setelah mendengar percakapan anak-anak Pijiombo yang hebat itu.

“Kalian bertiga pasti bisa jadi orang hebat asal belajar dengan giat,” kata Pak Polisi itu.

“Siap laksanakan, Pak!” Serentak ketiga bocah itu menghormat khidmat.

Dua mobil polisi yang berada di depan nampak merayap pelan. Begitu pula truk yang mengangkut ternak. Jalan yang berbatu dan berkelok-kelok membuat laju kendaraan seolah terseok. Gelap yang menyelimuti area perkebunan kopi, karet, cengkeh, serta cemara yang terhampar di sepanjang perjalanan terasa begitu mencekam bagi para pengguna jalan.

Auoow!

Sesekali sapi melenguh panjang membelah gelapnya malam. Ayahnyan Jilan sebagai pemilik sapi segera berusaha menenangkan. Sementara bapaknya Panjul dan Ega memegang tali kambingnya masing-masing yang kadang juga mengembek.

Saat iringan ketiga mobil itu tiba di jalan sisi timur pabrik kopi Sengon, Panjul, Ega, dan Jilan sudah nampak terkantuk-kantuk dalam duduknya. Hanya para polisi yang masih terjaga dengan sikap waspada.

                                                   

 

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar