ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 28)

BERITA MENGGEMBIRAKAN

 

 

Esok harinya.

SD Negeri Pijiombo gempar. Bel masuk sudah berbunyi 15 menit yang lalu tetapi masih ada 3 orang muridnya yang nampak belum datang. Tentu saja mereka adalah Panjul, Jilan, dan Ega.

Inilah kelebihan sekolah yang memiliki jumlah murid kurang dari lima puluh. Guru menjadi mudah menghafal nama-nama muridnya. Sehingga jika ada salah satu murid yang tidak masuk, dengan cepat bapak dan ibu guru mengetahuinya.

Maklum, SD Negeri Pijiombo merupakan sekolah terpencil yang lokasinya berada di tengah-tengah perkebunan. Desa Pijiombo hanya dihuni oleh 25 Kepala Keluarga. Maka tak heran jika jumlah siswa di sekolah ini tak pernah lebih dari 40 anak.

Berulang kali sekolahan ini nyaris terkena program regrouping. Namun, karena lokasinya yang jauh dan dengan akses jalan yang terjal dan berliku, maka sekolah ini dipertahankan. Kasihan anak-anak Pijiombo yang punya semangat tinggi itu bila harus terhenti haknya untuk mengenyam pendidikan secara layak.

Guru-guru yang ditugaskan di SD Negeri Pijiombo ini merupakan sebuah perjuangan dan pengabdian yang luar biasa. Butuh tenaga ekstra dan semangat berlipat ganda untuk menyebarkan ilmu di tempat terpencil seperti itu.

Bu Devi sebagai guru kelas V nampak gelisah. Berjalan mondar-mandir di tepi lapangan yang sekaligus berbatasan langsung dengan tembok kelas VI. Kedekatan hubungan emosional antara guru dan murid yang menciptakan keakraban layaknya keluarga, melahirkan rasa empati yang luar biasa. Hal luar biasa yang tidak akan ditemui di sekolah-sekolah yang berlokasi di kota.

Pak Waluyo yang melihat hal itu dari dalam ruang kelas VI, segera menghampiri Bu Devi.

“Apa Jilan dan Ega belum kelihatan juga, Bu?” tanya Pak Waluyo.

“Iya Pak, mereka belum datang,” jawab Bu Devi tanpa mengalihkan pandangan dari tepian jalan.

“Sama Bu, Panjul juga belum,” sahut Pak Waluyo.

“Saya kawatir ada apa-apa sama mereka, Pak. Sebab tidak biasanya mereka tidak masuk tanpa ijin seperti ini.” Wajah Bu Devi penuh kecemasan.

“Semoga saja mereka baik-baik saja, Bu.” Pak Waluyo berusaha menenangkan.

“Iya Pak, semoga.”

Sesaat mereka sama-sama diam. Hanya mata mereka yang kini menatap lurus ke deretan rumah petak para penghuni desa Pijiombo yang jumlahnya tak seberapa banyak. Lalu mata mereka beralih ke Loji, bangunan tua peninggalan jaman Belanda yang tepat berada di timur sekolahan. Konon para warga percaya bahwa bangunan itu angker dan banyak dihuni oleh makhluk halus.

“Pak Waluyo, rumah Jilan, Ega, dan Panjul kan saling berdekatan,” kata Bu Devi setelah beberapa saat terdiam.

“Iya benar. Ada apa, Bu?”

“Jadi bagaimana kalau kita datangi saja rumahnya. Kita tanyakan pada orang tua mereka ada apa kok anak-anak sampai tidak masuk sekolah secara bersama-sama.”

“Wah ide bagus itu, Bu. Baiklah saya ambil sepeda dulu, ya?” sambut Pak Waluyo dengan mata berbinar cerah.

Bu Devi mengangguk sambil tersenyum. Tanpa berkata-kata lagi Pak Waluyo bergegas mengambil sepedanya yang terparkir di halaman kantor Kepala Sekolah. Lalu di tuntunnya sepeda ontel itu menghampiri Bu Devi kembali.

“Mari Bu,” ajak Pak Waluyo begitu sudah nangkring di sadel sepedanya.

Sekali lagi Bu Devi tersenyum. Kemudian dengan gerakan anggun dia mulai mendaratkan pantatnya di boncengan Pak Waluyo.

“Mari Pak,” kata Bu Devi setelah bisa duduk dengan posisi yang nyaman.

Pak Waluyo hanya mengangguk sambil tersenyum. Lantas dengan gerakan pelan Pak Waluyo mulai mengayuh pedal sepedanya meninggalkan tepi lapangan. Namun, baru dapat sekitar empat kayuhan saja, tiba-tiba salah seorang murid kelas VI yang bernama Komah keluar dari kelas dan langsung memanggil gurunya.

“Pak Waluyo, tunggu Pak!”

Seketika Pak Waluyo menarik rem sepedanya. Berhenti sebelum sampai di tengah lapangan yang berumput tebal. Pak Waluyo menjagang sepeda dengan kedua kakinya yang menjejak tanah. Komah berlari menghampiri gurunya.

“Ada apa, Komah?” tanya Pak Waluyo begitu Komah sudah sampai di hadapannya.

“Apa Pak Waluyo dan Bu Devi mau ke rumah Panjul, Ega, dan Jilan?” balik tanya Komah dengan wajah polosnya. 

“Iya benar, kenapa Kom?” Kali ini Bu Devi yang ganti bertanya.

“Begini Pak, Bu, tadi malam di sini terjadi penggerebekan komplotan pencuri ternak yang selama ini bersembunyi di dalam gua yang ada di salah satu bukit perkebunan Sirah Kencong. Banyak polisi datang ke mari. Semua warga juga ikut menangkap komplotan pencuri ternak itu,” cerita Komah dengan semangat.

“Terus apa hubungannya hal itu dengan tidak masuknya Panjul, Jilan, dan Ega?” tanya Bu Devi.

“Mereka bertigalah yang pertama menemukan sarang komplotan pencuri itu, Bu. Jilan sempat disekap oleh orang-orang jahat itu. Panjul yang berusaha menyelamatkan Jilan. Sedang Ega yang melapor ke kantor polisi dengan dibantu oleh Adib teman mereka yang bersekolah di SD Sengon.”

“Lantas sekarang mereka bertiga berada di mana?” Kali ini Pak Waluyo yang bertanya.

“Kata orang-orang mereka bertiga tadi malam ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan sebagai saksi, Pak.”

“Mereka bertiga memang anak-anak yang hebat!” puji Pak Waluyo yang disambut anggukan dan senyum oleh Bu Devi.

“Benar Pak, orang sekampung juga bilang begitu,” sahut Komah ikut bangga.

“Ya sudah, sekarang kamu kembali saja ke kelas. Tolong teman-temanmu diberi tahu agar mengerjakan LKS halaman 85. Saya dan Bu Devi akan menemui orang tua Panjul, Jilan, dan Ega dulu, ya,” perintah Pak Waluyo.

Sebagai siswa yang patuh pada gurunya, Komah hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu ia kembali ke kelas dengan langkah riang.

Begitu dilihatnya Komah sudah masuk ke ruang kelas VI, Pak Waluyo segera melanjutkan mengayuh sepeda setelah Bu Devi duduk kembali di boncengannya. Hilang sudah kekhawatiran yang tadi memenuhi hati kedua guru itu.

Kini yang ada dalam hati mereka tinggal rasa bangga karena memiliki murid anak-anak yang hebat. Berita menggembirakan yang baru saja disampaikan Komah membuat Pak Waluyo dan Bu Devi merasa lega.

“Kalau begitu kita patut memberi ucapan selamat untuk anak-anak Pijiombo yang hebat itu, Bu,” kata Pak Waluyo saat sepeda baru keluar dari lapangan.

“Benar itu, Pak. Kita patut bangga dengan keberanian mereka,” sahut Bu Devi dengan senyum termanisnya. Padahal ibu guru berwajah cantik itu sadar kalau Pak Waluyo yang memboncengnya tidak mungkin dapat melihat senyum di bibirnya.

“Apa yang telah dilakukan Panjul, Ega, dan Jilan dapat dijadikan contoh bagi anak-anak lainnya. Ini bisa dijadikan bahan projeck untuk Profil Pelajar Pancasila.”

“Benar, Pak. Ini mengandung nilai karakter yang patut dikembangkan untumk semua anak didik kita.”

“Ya.” Pak Waluyo menoleh ke belakang dengan senyum tulusnya.

Berita menggembirakan dari Komah membuat kedua pendidik itu kian bersemangat.

 

 

 

Bersambung …

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar