ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 34)

MURID BARU

Dua hari kemudian!

Anak-anak SD Negeri Pijiombo  sedang melakukan apel pagi ketika tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah maju ke hadapan mereka guna menyampaikan beberapa pesan untuk kemajuan anak didiknya. Setelah memberikan beberapa wejangan yang sangat bermanfaat Bapak Kepala melanjutkannya dengan sebuah kabar yang tak pernah diduga oleh para muridnya.

“Nah, anak-anak sebelum kalian masuk ke kelas masing-masing ada satu pengumuman penting untuk kalian. Yaitu bahwa hari ini kalian akan mendapatkan seorang teman baru yang pindah bersekolah di sini. Untuk itu kalian tenang saja dulu, biar bapak panggil murid baru itu untuk memperkenalkan diri pada kalian semua.”

Sampai di sini Bapak Kepala Sekolah berbalik arah ke ruang kerjanya. Dengan lambaian tangan Pak Wiyono memanggil seseorang agar menghampirinya.

Sesaat suasana menjadi sedikit gaduh. Anak-anak yang rasa keingintahuannya begitu besar segera pula berebut untuk melihat lebih dulu siapa kira-kira yang bakal datang. Dengan pandangan penuh rasa penasaran, semua mata terarah ke seorang bocah yang sedang melangkah pasti menuju ke lapangan.

“Adib …!” seru Panjul, Jilan, dan Ega berbarengan .

Mata mereka langsung berbinar cerah. Mereka sungguh tak menyangka jika Adib telah benar-benar melaksanakan keinginannya untuk pindah sekolah. Sungguh semua di luar perkiraan mereka.

“Rupanya Adib selalu serius dengan kata-katanya, ya?” kata Jilan sambil menatap Adib yang masih melangkah semakin dekat.

“Ya, itulah yang aku suka dari bocah bongsor itu,” sahut Ega.

“Aku masih serasa tak percaya dengan semua ini,” ujar Panjul pula.

Namun, semuanya memang bukan mimpi. Saat bocah bongsor itu sudah sampai di hadapan Bapak Kepala Sekolah, mereka saksikan yang berdiri di hadapan mereka memang benar-benar seorang Adib.

“Nah Adib, silakan kau perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu semua,” perintah Pak Wiyono dengan senyum ramah.

Adib mengangguk, maju selangkah dan tersenyum malu-malu.

“Assalammualaikum warohmatullohi wabarokatuh ….” Salam Adib dengan suara yang terdengar sedikit gemetar.

Serempak semua menjawab kompak.

“Wa’alaikumsalaaan ….”

“Yang terhormat Bapak Kepala Sekolah dan Bapak-Ibu Guru, serta semua teman-teman yang aku sayangi. Sebenarnya saya yakin bahwa sebagian besar dari kalian sudah pada mengenal saya. Nama saya Adib, rumah saya Genjong. Semula saya siswa kelas V di SD Sengon, dan mulai hari ini saya pindah ke sekolah sini. Jadi mulai hari ini, kalian semua adalah teman-temanku juga. Sekian terima kasih,” kata Adib yang langsung disambut tepuk tangan oleh semua siswa.

Plok plok plok plok …!

Adib sedikit membungkukkan badan untuk memberi hormat. Kemudian ia berjalan ke barisan anak-anak kelas V. Panjul, Jilan dan Ega langsung menyambutnya dengan riang. Mereka menyalami Adib dengan hangat dan penuh persahabatan.

***

“Selamat bergabung di SD Negeri Pijiombo ini ya Dib. Semoga kau betah berada di tengah-tengah kami,” kata Panjul pada saat jam istirahat. Mereka sedang makan cemilan yang dibeli dari kantin. Mereka mengobral di bawah pohon srikaya yang ada di belakang ruang kelas VI. Jilan dan Ega sudah ada pula di antara mereka. Keduanya menikmati es lilin.

“Terima kasih, Njul. Tentu saja aku akan betah berada di antara anak-anak hebat seperti kalian,” sahut Adib dengan senyuman.

“Betul itu. Lagi pula kau kan sudah menjadi bagian dari Pahlawan Kecil bagi warga, Dib.” Ega ikut nimbrung obrolan mereka.

“Iya, semua itu kan berkat kalian.” Adib merendah.

“Oya, ngomong-ngomong bagaimana ceritanya kok nenekmu bisa langsung menyetujui permintaan pindahmu ini?” Kali ini Jilan yang bertanya.

Sejenak Adib terdiam. Ia memanatap jauh ke arah selatan. Deretan bangunan yang ada di kota kecamatan terlihat seperti titik-titik putih yang berderet. Satu-satunya yang terlihat agak jelas hanyalah kubah masjid raya Wlingi yang nampak mengkilat tertimpa sinar matahari.

“Aku juga gak tahu pasti alasan nenek menyetujui permintaan kepindahanku ini. Yang jelas saat meminta ijin pada nenek, aku hanya bilang kalau perjalanan ke sini lebih dekat daripada ke Sengon. Dan lagi hampir semua anak-anak Pijiombo sudah aku kenal dengan baik,” sahut Adib beberapa saat kemudian.

“Mungkin karena nenekmu sudah melihat sendiri kalau kau sudah menjadi Pahlawan Kecil bagi warga Pijiombo ini.” Panjul menimpali.

“Bisa jadi.” Adib menyahut seraya manggut-manggut.

“Terus apa rencanamu ke depan setelah pindah ke sini?” Ega bertanya dengan lagak seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi.

“Ya sebagai murid baru di sini, aku gak berani berencana yang muluk-muluk dulu. Sesuai janjiku pada nenek, setelah pindah ke sekolah ini aku akan belajar lebih giat lagi.”

“Nah, itu yang terpenting. Harus belajar lebih rajin,” sahut Jilan seraya mengacungkan kedua jempolnya.

“Setuju! Kita memang tidak boleh terlena dengan penghargaan masyarakat yang telah menganggap kita Pahlawan Kecil. Tugas utama kita tetap belajar.” Kata-kata Panjul disambut dengan mengangkat kepalan tangan oleh ketiga temannya.

“Wah, kelihatannya seru banget. Sedang membicarakan hal apa kalian?” tanya Bu Devi yang tahu-tahu sudah datang menghampiri.

“Itu Bu, tentang tugas utama kita adalah belajar.” Jilan menjawab dengan sopan.

“Bagus itu. Memang sebagai generasi penerus untuk mengisi kemerdekaan tugas utama kalian adalah belajar dengan tekun. Dengan giat belajar maka apa yang kalian cita-citakan bakal kesampaian.” Bu Devi memberi motivasi.

“Amiiin. Iya Bu, saya ingin jadi dokter kalau besar nanti.” Lagi-lagi Jilan yang mendahului menjawab.

“Kalau saya ingin jadi tentara, Bu.” Panjul tak mau kalah.

“Saya ingin jadi polisi.” Ega membusungkan dadanya.

“Kalau kau, Adib, ingin jadi apa kalau besar nanti?” Bu Devi memndang Adib sambil tersenyum.

“Saya ingin jadi guru, Bu.”

“Bagus. Kalian semua memang anak-anak hebat. Anak hebat harus punya cita-cita setinggi langit. Karena dengan cita-cita itu akan menumbuhkan semangat untuk belajar lebih giat dan lebih giat lagi.”

“Siap. Bu!” sahut mereka serempak seraya memberi hormat.

“Baiklah, ibu mau ke kantor dulu, ya. Kalian teruskan mengobrolnya. Selalu bersikap baiklah pada murid baru ini supaya dia betah menjadi teman kalian.”

“Siap, Bu!” Ega, Panjul, dan Jilan menjawab kompak.

Bu Devi tersenyum kemudian melangkah ke ruang guru. Ia merasa bangga pada murid-muridnya. Termasuk murid baru yang bernama Adib itu. Sepertinya murid baru itu pandai bergaul. Anaknya cukup supel. Sehingga mudah membaur dengan teman-teman barunya.

Sedari pertama melihat Adib secara dekat yaitu saat acara syukuran warga yang menobatkan Panjul, Ega, Jilan, serta Adib menjadi Pahlawan Kecil bagi warga Pijiombo dan Genjong, Bu Devi sudah terkesan dengan Adib. Hanya saja bu guru berwajah cantik itu tak pernah menyangka kalau Adib ternyata beringinan pindah sekolah ke SD Negeri Pijiombo.

Besar harapan Bu Devi semoga kehadiran murid baru itu akan membawa dampak positif.

Bersambung ….

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar