ANAK ANAK PIJIOMBO (Part 5)

MENGUJI KESABARAN

 

 

Di bawah sebatang pohon berdaun rindang, Panjul, Jilan, dan Ega sedang berbaring di atas hamparan rumput hijau di kaki bukit. Mata mereka sama-sama tertuju ke langit. Menatap gumpalan awan putih yang berarak pelan. Dua buah layang-layang terbang tinggi dalam jarak yang berjauhan.

“Tumben ya sudah sesiang ini kok baru dua layang-layang yang mengudara?” tanya Ega seraya menatap kedua layang-layang yang meliuk-liuk mengikuti gerakan angin.

“Iya mungkin orang-orang masih pada istirahat atau lagi cari rumput dulu,” jawab Panjul.

“Kita tunggu saja paling sebentar lagi juga banyak,” sahut Jilan.

“Iya kau benar Jilan,” dukung Ega.

Jilan tersenyum. Setelah menoleh pada Ega sebentar, kini pandangan Jilan kembali tertuju ke langit. Di antara gumpalan awan putih yang terus berarak pelan, sesekali seekor burung terbang rendah melintas di atas mereka sambil mengeluarkan suaranya yang khas.

Memang sih di daerah Pijiombo dan sekitarnya ini masih banyak terdapat berbagai jenis burung yang hidup dengan bebas. Selain karena warganya yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kelestarian alam, pihak perkebunan Pijiombo dan Sirah Kencong juga memasang rambu-rambu larangan berburu hewan. Semua semata-mata demi menjaga keseimbangan alam. Sehingga burung pipit, kutilang, jalak, pentet, serta ayam hutan dengan mudah dijumpai sedang berkeliaran di sekitar area perkebunan.

“Ega, Jilan, kalian lihat deh, itu layang-layangnya sudah mulai banyak!” seru Panjul riang. Matanya berbinar cerah menyaksikan layang-layang beraneka warna menghiasi cakrawala.

“Nah, aku bilang juga apa,” sahut Jilan berbangga.

“Tapi Panjul dari semua layang-layang yang ada, layang-layang mana yang paling kau inginkan?” tanya Ega selanjutnya.

“Yang itu, Ega!” jawab Panjul menunjuk layang-layang berwarna merah dan bergaris kuning di kedua sisinya. Layang-layang itu nampak bergerak lincah memilih lawan yang hendak disambitnya.

“O yang itu,” gumam Ega.

“Iya, kalau yang mengendalikan hebat aku yakin layang-layang itu bisa jadi jagoan.”

“Waduh kalau jadi jagoan berarti gak akan putus-putus dong. Terus gimana kau bisa memilikinya?” Ega bertanya sambil menatap heran pada Panjul.

“Ya aku doakan saja supaya cepat putus. Jadi menjadi jagoannya biar pas sama saya,” kata Panjul dengan senyum lebar.

“Ah, dasar kau!” goda Ega.

“Kalian jangan ngobrol saja, perhatikan tuh sudah ada yang mulai adu sambit!” sela Jilan.

Tanpa menyahut Panjul dan Ega segera memusatkan pandangan ke langit. Benar saja! Sudah ada dua pasang layang-layang yang mulai adu sambit. Kini kedua pasang layang-layang itu sama-sama saling mengulur benang untuk memutuskan benang lawan.

Setelah hampir sepuluh menit saling tarik ulur, akhirnya dua layang-layang putus dan melayang jauh terbawa angin.

“Sepertinya layang-layang Adib menang lagi tuh!” ucap Jilan.

“Iya sepertinya Adib makin jago memainkan layang-layang,” sahut Ega.

“Tapi dia pasti akan kalah denganku nanti!” seru Panjul dengan nada tinggi. Ia tak suka jika ada temannya yang memuji Adib.

Suasana kembali hening. Hanya desau angin yang bergesekan dengan pucuk-pucuk daun yang kini terdengar. Mereka bertiga kembali memusatkan perhatian ke langit. Dan ketika layang-layang yang diminati Panjul terlihat mulai berusaha menyambit benang lawan, serta merta Panjul bangkit dari rebahannya.

“Teman-teman ini saatnya kita bersiap-siap!” seru Panjul tanpa mengalihkan pandangan dari layang-layang yang diincarnya.

“Tapi layang-layangnya kan belum putus Panjul,” bantah Ega masih enggan bangkit.

“Justru karena belum putus, kita harus siap-siap supaya saat putus nanti tidak keduluan dikejar sama orang lain!” tandas Panjul bersemangat.

Sesaat Ega menggeliat sambil menguap panjang. Sementara Jilan sudah lebih dulu bangun dan kini sudah berdiri di samping Panjul. Sebatang kayu sepanjang satu meter lebih dengan salah satu ujungnya berbentuk ketapel sudah pula mereka persiapkan. Sehingga begitu Ega mulai berdiri, Panjul langsung menyodorkan salah satu kayu yang dipegangnya. Kayu itulah sebagai senjata andalan untuk mengejar layang-layang putus.

Tiba-tiba saja hati Panjul ikut berdebar-debar saat menyaksikan kedua layang-layang yang mulai tarik ulur dengan serunya. Namun besarnya keinginan untuk segera dapat memiliki layang-layang yang jadi incarannya itu, membuat Panjul terus berharap semoga layang-layang tersebut segera putus dan jadi miliknya. Supaya ia bisa segera membalas kekalahannya sama Adib.

Ya Tuhan!

Sepertinya benang kedua layang-layang itu sama uletnya. Meski sudah sekian lama saling tarik ulur tapi sampai sekarang belum ada yang kalah. Sang pengendali kedua layang-layang itu sebanding dalam teknik adu sambit. Jika sudah demikian tinggal faktor angin yang bakal menentukan. Layang-layang mana yang paling stabil mendapatkan tekanan angin maka dialah yang pasti jadi juaranya.

Kini ketinggian kedua layang-layang itu sudah jauh melampaui layang-layang yang ada di sekitarnya. Tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda layang-layang mana yang hendak kalah. Dari tempat mereka bertiga berada, benang layang-layang itu sampai terlihat dengan jelas membentuk lengkungan panjang. Melintas dan membelah angkasa sambil terus bergerak-gerak lantaran ditarik dan diulur oleh pengendalinya. Keadaan itu membuat dada Panjul semakin berdebar-debar dengan kencangnya.

“Yaa kok layang-layang itu yang putus …,” gerutu Panjul sambil menghentakkan kakinya ke rerumputan.

Kekecewaan yang memenuhi hati Panjul membuat Jilan dan Ega tersenyum kecil.

“Sepertinya kamu harus lebih bersabar lagi, Panjul,” saran Ega.

Panjul hanya melengos saja. Ia yang semula sudah bangkit, kembali merebahkan diri di atas rerumputan. Ia menyadari kebenaran kata-kata yang baru saja disampaikan oleh kedua temannya. Untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan, maka ia harus memiliki kesabaran lebih.

Hmm, ia jadi teringat sejarah perang gerilya yang dilakukan Jendral Sudirman dan para prajuritnya dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Tanpa senajata yang memadai, bermodal kesabaran dan keuletan toh pasukan yang dipimpin Jendral Sudirman banyak mendapat kemenangan.

Hal itu yang sekarang sedang terjadi pada diri Panjul. Ia ingin memenangkan adu sabit layang-layang melawan Adib yang berduit dan bisa selalu membeli layang-layang sesuai keinginannya. Maka kalau ingin menang, ia juga harus sabar menunggu sampai ada layang-layang putus yang sesuai dengan keinginannya.

Sejenak Panjul menoleh kepada kedua temannya secara bergantian. Ia mencoba menata hatinya agar lebih sabar menunggu. Hanya kesabaran itu yang akan bisa memenuhi keinginan.

Panjul kembali menatap langit. Awan putih berarak searah tiupan angin. Beberapa layang-layang aneka warna nampak melambung tinggi. Meliuk-liuk tajam dipermainkan oleh pengendalinya. Panjul mengamati setuiap layang-layang yang bergerak lincah di angkasa. Dalam hatinya ia memilah-milah layang-layang yang hendak ia kejar apabila putus nantinya.

Demikian pula Ega dan Jilan. Kedua bocah itu juga mengarahkan pandangan ke langit dengan serius. Sebagai teman sepermainan, mereka berdua telah sepakat untuk membantu mewujudkan impian Panjul. Sebab walau bagaimanapun juga, kebahagiaan Panjul akan menjadi kebahagiaan mereka juga. Sehingga mereka harus ikut menguji kesabaran diri juga.

 

 

Bersambung …

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar