Angga dan Wayang Sadha

Angga duduk di teras dengan wajah muram. Sesekali ia mengamati telepon seluler di tangannya. Dari seberang jalan pun ia sedang diamati oleh seorang anak seusianya.
“Hei, kenapa? Dari tadi lihat hape terus?”
Anak itu pun menghampiri Angga.
“Kamu siapa?” tanya Angga balik bertanya.
“Namaku Dika. Rumahku yang di pojok itu,” jawabnya sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
“Ooh,” Angga mengangguk.
“Ada apa dengan hapemu? Rusak?”
“Aku bosan. Dari tadi tidak ada sinyal di sini, padahal aku ingin main game online. Ayahku berbincang dengan kawannya lama sekali di dalam,” jelas Angga.
“Memang ndak ada sinyal di sini. Kalau mau, ayo main denganku.”
“Main apa?”
“ikut aku ke kebun seberang itu.”
“Sebentar, aku pamit Ayah dulu,” ujar Angga.
Setelah mendapat persetujuan dari ayahnya, Angga pun mengikuti Dika ke kebun singkong dekat situ.
Dika memetik setangkai daun singkong yang sudah tua. Dengan cekatan ia membuat wayang dari tangkai tersebut.
“Jreeng! Sudah jadi!” seru Dika.
“Waah, hebat! Ajarin, dong,“ pinta Angga.
Keduanya pun asyik membuat beberapa wayang dari tangkai daun singkong.
“Ini lebih keren daripada game online. Lebih menantang,” kata Angga yang mulai mahir melipat tangkai daun.
“Ada lagi yang lebih menantang. Ayo, ke rumahku.”
Angga mengikuti Dika yang mengajaknya ke halaman samping sebuah rumah. Tampak seorang bapak tua dengan banyak lidi berserakan di kiri kanannya.
“Ini Kakekku. Tukang bikin wayang dari lidi. Bahasa Jawanya itu, ng …  wayang sodho. Namanya seperti yang di papan itu,” tukas Dika menunjuk tulisan “Wayang Sadha”.
“Wayang dari lidi? Apa tidak patah kalau dibengkokkan dan dilipat-lipat?”
“Ooh, ya endak, lah! Pakai lidi yang masih muda. Lebih lentur. Lidi yang sudah tua, yaa dijadikan sapu lidi saja,” jawab Dika.
Angga pun mengikuti Dika duduk di kursi bambu. Keduanya pun kembali asyik mengikuti petunjuk kakek Dika berkreasi membuat wayang dari lidi.
Tanpa terasa, hari semakin sore. Ayah menghampiri Angga dan mengajaknya pulang.
“Kok, Ayah bisa tahu kalau aku di rumah Dika?”
“Kawan Ayah tadi yang memberi tahu.”
“Besok ke sini lagi ya, Yah? Aku ingin membuat wayang yang banyaak untuk teman-temanku di sekolah.”
Ayah tersenyum dan mengangguk.
“Sstt … aku juga ingin belajar jadi dalang wayang seperti Kakek Dika, Yah.”
“Lho, katanya mau jadi gamers sejati?”
“Hmm, nggak jadi, deh. Ternyata Indonesia itu kaya budaya. Sayang sekali kalau nggak dirawat dan dilestarikan.”
Dika pun tersenyum mendengar kata-kata Angga. Keduanya tak sabar menunggu besok untuk bertemu lagi.
Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar