Asih kakak perempuan

 

Aku melihat seorang anak kecil berpakaian putih, tengah berjalan menyusuri jalan setapak menuju keindahan bunga-bunga sampai dia bertemu seorang petani jagung.
“Permisi, bolehkah aku bertanya jalan pulang?”
“Kamu datang dari mana, dik ?”
“Aku tak tahu, tiba-tiba sampai di sini.”
“Kalau begitu duduk dulu, saya ambilkan minum sembari saya perkenalkan anak laki-laki saya seumuran denganmu.”
“Baik, pak petani.”

Anak itu duduk dengan polosnya dan begitu anggun menurut perkataan dari bapak petani.
Kemudian sang anak melihat serangga kecil yaitu, ulat daun berwarna hijau.
“Ulat, “anak itu melihat saja sembari memperlihatkan ulat daun itu nempel di pohon-pohon kecil seperti pohon buah di depan pekarangan petani itu.
“Buahnya belum berbuah,” tanyanya.
“Belum, dik.”
“Itu pohonnya di penuhi ulat daun Pak apakah tidak mati nanti.”
“Nggak papa dik itung-itung bersedekah kepada sesama makhluk karena, Bapak tidak bisa memberikan apa-apa. Toh, pohon itu juga akan berbuah kalau memang sudah waktunya berbuah, lagian ulat daun tersebut juga tidak berbahaya bagi manusia.
“Dulu saya takut ulat Pak,” balasnya.
“Kenapa dik, kok takut ulat,” tanyanya mengarah pada si kecil cantik.
“Iya, saya takut ulat dahulu di masa sekolah saya pernah trauma gegara teman laki-laki saya. Saya juga tidak tahu berawal dari mana saya bisa takut ulat namun sekarang tidak.”
“Kalau gitu silakan bermain dengan anak saya, sementara  saya cari tahu jalan pulang untukmu dan meminta bantuan di penduduk desa sekitar.”

Anak itu pun menurut dan dia menjadi teman barunya dari anak sang petani.
Anak laki-laki tersebut merajuk tak mau didekati oleh si kecil putih. Dia seperti ketakutan dan sepertinya si kecil juga paham bahwa laki-laki tersebut jarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan sekitarnya.
“Aahh….!” seru suaranya.
Kemudian kedua kakinya dengan gaun putihnya itu mencoba untuk mendatangi teman barunya itu saat dia melihat teman barunya ketakutan di dekati oleh ulat daun.
Uluran tangannya dihempaskan oleh anak laki-laki tersebut kemudian, entah bagaimana ceritanya sang wanita pun ikut takut didekati oleh ulat daun tersebut. Padahal si kecil cantik itu paham bahwa dia sudah tidak takut lagi. Ternyata semua itu hanya sebuah mimpi.

Malam itu mataku tiba-tiba terbuka melihat ruangan sekeliling ku.
“Kamarku. Mimpi lagi.”
Kemudian aku berjalan namun aku bingung kenapa pencahayaannya begitu remang.
“Rumahku yang tampak beda.”
Setelah itu tempat kaca di depan dapurnya mataku melihat sekelibat cahaya-cahaya kecil.
“Apa?”
Aku melihat makhluk kecil itu seperti tersipu malu. Di balik alat-alat make up tangan ku mencoba menyentuh tubuh mungilnya.
“Waahh…”
Aku melihat diriku sendiri terpukau melihat pemandangan tepat di hadapan ku sendiri sedangkan, aku tahu makhluk seperti ini belum pernah ditemuinya dan hanya pernah aku  lihat di film Tinkerbell saja.
Aku lagi-lagi bermimpi di dalam mimpi dan kini terbangun di dunia fantasi lagi.
“Apa kakak percaya tentang ruang angkasa?”
“Percaya, kan ada om, om yang pergi ke sana.”

“Om?”

“Iya.”

“Astronot maksud adik?”
“Iya…kakak kalau besar mau jadi apa?” tanya adik ku.
“Jadi dokter.”
“Kalo gitu aku pasiennya.”
“Biar apa,dik?”
“Biar ketemu kakak terus…”
Suara kecil nan indah dari makhluk sepolos itu padaku.
“Kamu percaya jika mereka memperhatikan kita,” tanyaku.
“Siapa?” tanya adik ku.
Aku menujuk ke langit malam.
“Bulan?” tanya adik ku.
“Ya… bulan dan bintang-bintang. Astronot juga ada di ruang angkasa yang gelap. Satu bintang tepat di samping bulan adalah tanda kerinduan dari seseorang yang telah tiada yang turut menyaksikan kita.”

“Dimana?” tanya adik ku.

“Di tempat yang nun jauh di sana.”
“Waahh … prok, prok, prok!” Tepukan tangan adik ku.
“Jadi, jangan benci malam ya…” kata ku.
“Baik….” jawab adik ku.
****
Kakak perempuan itu mempersiapkan air di dalam gelas dan di letakan tepat di bawah cahaya malam. Kala itu tepat di bulan purnama penuh. Di tunggunya air dari dewi bulan dengan segala keajaibannya sampai pagi datang. Ia memanjatkan do’a-do’a kepada Maharaja Semesta tepat di bawah sinar bulan purnama.

  • Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba cipta cerpen anak PaberLand 2024.
Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar