“Kita liburan ke pantai saja?” rajukku pada ayah.
Ayah menggeleng. “Sudah lama kakek dan nenek menunggu kedatanganmu. Terakhir kali kita ke sana saat Faris masih berumur tiga tahun. Pasti mereka sudah kangen.”
Padahal aku juga ingin liburan ke tempat wisata. Seperti teman-temanku yang lain. Pergi ke kebun binatang, pantai, nonton film di bioskop, jalan-jalan ke mall, atau berenang. Aku jadi iri dengan mereka.
Kalau seperti ini, lebih baik masuk sekolah saja. Tidak usah ada libur. Apa asyiknya liburan di desa. Apalagi tanpa hp. Tidak bisa bermain game dan nonton YouTube. Hufft, membosankan.
“Susah sinyal,” begitu kata ayah.
Itu hanya alasan ayah saja agar aku tidak bermain hp terus selama liburan. Meskipun aku merajuk berulang kali, ayah tetap mengantarku ke Kulon Progo. Di desa itulah kakek dan nenek tinggal.
Mobil ayah memasuki desa. Udara desa yang sejuk membuat perasaanku yang tadinya suntuk menjadi nyaman. Sepanjang jalan pepohonan hijau terlihat begitu rindang. Ada pohon kelapa di setiap pekarangan rumah.
Kata ayah, pohon kelapa diambil niranya untuk dijadikan gula aren. Kakek jago menyadap nira dan nenek pintar membuat gula aren.
“Faris, ayo turun,” ayah membuyarkan lamunanku.
Tak terasa kami sudah tiba di rumah kakek dan nenek. Ayah menurunkan koperku dari bagasi mobil. Aku tidak bersemangat. Sampai ayah menutup bagasi, aku masih berada di dalam mobil.
“Faris,”
Panggilan kedua ayah membuatku mau tidak mau turun dari mobil.
“Kenapa cucu nenek cemberut? Baru sampai muka sudah kusut,” sapa nenek yang sudah menunggu kedatangan kami.
“Kasih saja gula aren, Bu. Faris pasti langsung senang. Awas! Gula arennya nanti habis dimakan Faris,” canda ayah sambil membawa koperku ke dalam rumah.
Perkataan ayah ada benarnya. Aku memang suka mengulum gula aren. Nenek tersenyum mendengarnya.
Nenek sudah menyiapkan makanan untuk menyambut kami. Singkong rebus yang disiram dengan cairan gula aren sudah tersaji di meja makan. Aku enggan untuk makan. Lalu terdengar suara langkah kaki dari pintu dapur.
“Tenang saja. Liburan kali ini pasti Faris betah,” ucap kakek dengan yakin.
Bagiku ucapan kakek hanya hiburan sesaat. Kenyataannya, sudah dua hari di sini, tidak ada yang berubah. Tanpa hp yang bisa buat main game benar-benar membuatku bosan.
Pagi hari berikutnya, setelah shalat Shubuh, kakek mengajakku ke kebun pohon kelapa milik tetangga.
“Faris, bantu bawakan bumbung ini. Pakai sepeda yang ada di samping rumah,” suruh kakek sambil menyerahkan empat buah bumbung kepadaku.
Tanpa membantah, aku bantu membawakannya. Kakek memberitahuku kalau bumbung terbuat dari bambu. Biasanya untuk menampung tetesan air nira.
Aku menunggu kakek sambil memperhatikan dari jarak jauh. Kakek melarangku berada di dekat pohon kelapa saat sedang menyadap nira. Bosan juga menunggu kakek selesai. Akhirnya, aku melihat kakek sudah turun sambil membawa bumbung seperti yang kubawa tadi.
“Kenapa bumbungnya dibawa pulang lagi, Kek?” tanyaku penasaran.
Kakek tertawa. “Ini bumbung yang berbeda, Ris. Bumbung yang Faris bawa tadi sudah kakek pasang di atas. Sedangkan bumbung ini yang kakek pasang kemarin pagi. Lihatlah dalamnya, sudah berisi penuh air nira.”
Oh, ternyata aku salah sangka. Butuh waktu yang lama hingga bumbung berisi penuh air nira. Kakek biasa memasang bumbung setiap pagi. Kata kakek, kalau menyadap nira di pagi hari, hasilnya lebih banyak daripada menyadapnya pada sore hari.
“Jadi gula aren yang suka Faris makan itu berasal dari air nira ini ya, Kek?” tanyaku penasaran.
“Betul,” jawab kakek.
“Ini masih cair. Gula aren keras,” aku sedikit bingung.
Kakek lagi-lagi tertawa. “Air nira harus dimasak dulu untuk jadi gula aren. Ayo, kita pulang. Jangan sampai terlewat bantu nenek membuat gula aren.”
Wajahku menjadi berseri-seri mendengarnya. Sesampainya di rumah, nenek sudah berada di dapur. Dua buah tungku berbahan bakar kayu bakar sudah menyala dan di atasnya ada wajan berukuran besar.
Aku dan kakek meletakkan bumbung-bumbung berisi air nira di pinggir dinding. Dapur ini sangat luas bahkan lebih luas dari kamar tidurku. Dapur tradisional dengan lantai tanah. Memasaknya pun masih menggunakan kayu bakar, bukan kompor seperti yang biasa ibu gunakan di rumah.
“Nenek, Faris boleh ikut membuat gula aren?” tanyaku.
Nenek yang sedang mengambil bumbung berisi air nira pun tersenyum. “Boleh saja. Tapi Faris harus sabar karena butuh waktu yang lama.”
“Berapa jam, Nek?” tanyaku semakin penasaran.
“Empat sampai lima jam,” jawab nenek singkat sambil menuangkan air nira ke wajan.
Aku kaget mendengar jawaban nenek. Ternyata membuat gula aren butuh waktu yang lama. Kalau aku main game selama empat jam sudah bisa naik level beberapa kali.
“Faris bantu nenek mengaduk sampai mengental, biar bawahnya tidak gosong,” kata nenek menjelaskan.
“Siap, Nek!” jawabku sambil memberikan salam hormat.
Beberapa waktu kemudian, nenek menyuruhku untuk istirahat. Udara dapur yang panas membuatku haus. Aku masuk ke ruang tengah. Ada segelas es teh. Nenek juga sudah menyiapkan nasi dan telur dadar untuk sarapanku. Selesai sarapan, aku langsung mandi. Badanku menjadi lebih segar.
“Faris, bantu nenek mengaduk,” panggil kakek setelah hampir empat jam berlalu.
Untung saja aku tidak ketiduran. Selama menunggu, aku hanya menonton acara tv.
Air nira sudah berubah warna menjadi kecokelatan dan mengental. Tangan nenek terlihat kuat mengaduk. Kakek juga sedang mengaduk di wajan sebelahnya.
“Siap dicetak, Nek?” tanyaku sambil mencoba mengaduk dengan adukan kayu.
“Iya,” jawab nenek sambil menyiapkan cetakan dari batok kelapa.
Nenek mengajariku cara mencetak gula aren. Air gula yang mengental dituang ke dalam batok kelapa. Aku jadi tahu alasannya gula aren bentuknya seperti mangkok. Ternyata cetakannya terbuat dari batok kelapa.
Aku iseng mencelupkan jari telunjukku ke wajan. Mengambil sedikit cairan gula yang mengental. Kalau belum mengeras, rasanya seperti makan dodol, tapi ini lebih manis.
“Tunggu sampai mengeras. Faris bisa bawa gula aren buat oleh-oleh ibu,” kata nenek sambil merapikan batok kelapa yang sudah berisi gula aren.
“Terima kasih, Nek. Ibu pasti senang dapat gula aren buatan Faris,” ucapku.
“Besok ada Pasar Sore. Faris mau ikut nenek berjualan?” ajak nenek.
Aku mengangguk. “Faris mau ikut jualan gula aren. Pasti seru!”
Kakek dan nenek tertawa melihat tingkahku. Aku jadi tidak sabar menunggu besok sore. Kalau liburannya seru seperti ini, aku betah tinggal lebih lama di rumah kakek dan nenek.
“Sepertinya sudah tidak ada yang merajuk minta pulang,” ucap kakek menggodaku.
Aku tersenyum malu mendengar ucapan kakek.
“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024.”