AYAH, AKU RINDU

 

Oleh: Ali Usman

Dalam perjalanan pulang salat asar dari Masjid Aqsha, ayah menggandeng tanganku. Genggaman penuh cinta dan sayang ayah memancarkan bahagia yang dalam di hatiku. Cinta ayah membalut kesedihan yang melanda. Pagi, siang dan malamku selalu bersama ayah. Tak sedetik pun ayah meninggalkanku. Di mana ada ayah di sana ada aku. Sungguh beruntung sekali nasibku. Indahnya punya ayah. Ayah adalah matahariku. Ayah adalah rembulanku. Ayah adalah bintangku. Ayah adalah anugerah terindah Allah untukku.

“Di! Ba aa rancaknyo kini? Awak ka sawah dulu ato langsung pulang Nak? Rencananya ayah mau ke sawah dulu mengecek banda! Lancar nggak air masuk ke sawah kita. Baru setelah itu, kita pulang. Bagaimana Di?” ayah menghentikan langkah kami. Aku hanya diam membisu. Ayah membalas diamku dengan senyum simpulnya.

“Ayo Di! Jawab dong pertanyaan ayah.”

“Boleh Yah, Adi juga mau lihat sawah kita. Kapan lagi Yah, kita mencangkul bersama. Adi belum mahir Yah?”

“Jan cameh Di, bisuak pandai Adi tu. Mungkin kalah lo ayah dek Adi. Yo ndak”? Ayah menggenggam erat tanganku. Energi cinta itu mengalir deras di darahku. Keyakinan tertancap dalam bahwa suatu saat nanti aku lebih hebat dari ayah dalam mencangkul. Tidak saja mahir jadi petani, bahkan akan menjadi pengusaha sukses.

Ayah memegang tanganku dengan erat menuju sepeda ontel ayah. Ayah memboncengiku di sepeda ontelnya. Aku duduk di belakang ayah. Sepeda melaju kencang di jalan yang berbatu dari Masjid Aqsha menuju sawah rawang yang ayah garap dengan amak.

“Pegang yang kuat ya Nak! Jalan kita banyak lubang dan batu-batu. Peluk pinggang ayah ya.” Suara ayah tegas memerintahkanku untuk memeluk erat pinggang ayah agar aku tidak jatuh.

“Ya Yah. Adi pegang kuat kok.”

“Pintar anak ayah. Baru terasa dipegang dan peluk erat pinggang ayah. Nah, kalau begini Ayah bisa kayuh lebih cepat menuju sawah rawang kita. Lihat ke arah bukit itu Di! Udah mulai mendung kan? Awalnya tebal banget. Moga kita nggak terjebak hujan nanti di sawah Nak.”

“Siap Yah. Kayuh yang kencang ya Yah. Tapi, hati-hati ya Yah!”

“Ya Nak! Bismillah

Dari kejauhan, kurang lebih 300 meter. Ada truk besar membawa pasir. Sepertinya mobil truk itu mau menuangkan pasir di pinggir jalan dekat banda sawah rawang.

“Hati-hati Yah!” Teriakku. Ayah mengangguk sambil terus mengayuh kencang sepeda ontelnya.

“Ya Nak! Insya Allah aman Nak. Ayah dah terbiasa kok bawa sepeda ontel dalam kayuhan yang kecang di jalan berbatuan dan lubang ini.”

“Ayah….!” Awas… Ada lubang!” Teriakku.

Sepeda ontel ayah agak oleng. Aku terkejut. Badanku terhuyung ke kiri dan ke kanan sambil memeluk erat ayah. Badan ayah terbawa oleng karena peganganku yang hampir terlepas.

“Allahuakbar! Adi!”

“Ayah! Adi takuuuuut!”

Pegangan ayah terlepas dari sepeda ontelnya yang terpuruk dalam lubang jalan yang dalam. Ayah dan aku melayang diudara seraya sambil berpandangan.

“Braak!”

“Aghh!”

Badan ayah terhempas ke badan mobil truk. Aku terhempas di atas pasir yang ditumpahkan ke pinggir jalan oleh sopir truk.

Aku seraya bangun sambil terhuyung dan menahan sakit menuju ayah yang ambruk dan penuh darah di bawah bak truk mobil yang berdiri karena sedang menuangkan pasir ke pinggir jalan.

“Ayah…!!!”

“Ayah…!!!”

“Adi…! Takut…!”

Suaraku tertahan. Hujan mulai turun. Aku mendengar suara supir truk pasir yang berteriak. Semua gelap. Hening.

Hujan mengguyur tanah sawah rawang. Hujan turut bersedih atas musibah kecelakaan tunggal itu. Malam pun membungkus petang yang naas itu.

“Ayah…! Ayah dimana?”

Aku terbangun di atas tempat tidur di ruang IGD Puskesmas Anak Air.

“Amak, muka dan tangan Adi sakit.” Aku menangis kesakitan karena wajahku banyak goresan dan tangan kananku terkilir dan ada bagian yang luka.

“Ya sayang, anak Amak kuat. Ndak ba a. Itu ubek gadang

 

***

Makna Bahasa Minang:

  1. Ba aa rancaknyo kini? Awak ka sawah dulu ato langsung pulang Nak?

Bagaimana baiknya sekarang? Kita ke sawah dulu atau langsung pulang Nak?

  1. Banda

Bandar/saluran air sawah

  1. “Jan cameh Di, bisuak pandai Adi tu. Mungkin kalah lo ayah dek Adi. Yo ndak”?

Jangan cemas Di, besok bisa Adi. Mungkin lebik baik Adi pada ayah, yak kan?

  1. Itu ubek gadang

Itu tandanya sudah besar

 

Sumber gambar : Dunia Santri

Bagikan artikel ini:

Satu pemikiran pada “AYAH, AKU RINDU”

Tinggalkan komentar