(Sebuah Cerbung Misteri yang hadir setiap hari Jumat, pukul 20.00 WIB)
Bik Min berlari tergopoh-gopoh membuka pintu gerbang ketika melihat mobil sedan warna biru yang sudah amat dikenalnya berhenti di depan gerbang.
“Eh, Neng Fani,” sapanya pada gadis kecil yang buru-buru turun sebelum mobil masuk parkiran.
“Fani mau liburan di sini, Bik,” kata Fani tanpa diminta.
Bik Min tersenyum bungah, “Sama siapa?” tanyanya kemudian.
“Sendiri.”
“Sendiri?” Bik Min merasa kaget. Bukankah, selama ini Fani penakut?
“Fani ingin belajar kendel, Bik,” jelasnya cepat, membaca pikiran Bik Min.
“O ….”
Bik Min menutup gerbang setelah mobil masuk garasi, sementara Bik Min membantu Mang Didin –supir keluarga Fani, yang mengantar Fani mengeluarkan koper, tas kecil serta beberapa buku bacaan. Fani melesat ke belakang. Dia rindu pada laut biru di belakang villa Mama itu.
Fani merentangkan tangannya menghirup udara dalam-dalam. Ufh! Segar. Lalu sepatunya dilepas dan membiarkan air laut menjilati jemari kakinya. Dingin. Fani tersenyum.
Sejak tadi matanya tidak lepas memandangi pesisir pantai yang kian marak oleh villa-villa baru. Semakin indah, bisik hatinya. Kini tidak seseram dulu, walaupun pohon nyiur semakin banyak.
Mungkin Fani akan lebih lama lagi memandangi pemandangan di depannya, andai Bik Min tidak mengusiknya. “Makan siang dulu, Neng,” ujarnya.
“Duh, Bik Min. Saya kira siapa,” kata Fani cukup kaget.
“Anu Neng, makan siang dulu,” ulangnya.
“Fani sudah kenyang kok, Bik.”
“Ah, si Neng,” Bik Min mengibaskan tangannya. “Bibi nggak percaya, dari rumah ke sini kan cukup jauh. Lagi pula nanti Nyonta marah kalau Neng tidak makan.”
“Iya, deh,” Fani mengiyakan. Dia tidak mau bikin repot Bik Min.
***
“Wah! Goreng udang sama lalapan!” teriak Fani ketika tiba di dapur dan membuka tudung makanan di meja makan. Tanpa basi-basi dia langsung mengambil piring, nasi, goreng udang, dan lalapan lalu langsung menyantapnya.
Bik Min dan Mang Diman –suami Bik Min yang juga menjaga villa Mama itu, menemani Fani makan. Mereka terlihat makan sangat lahap. Sesekali Fani tersenyum mendengar cerita Bik Min atau Mang Diman. Sesekali Bik Min dan Mang Diman yang mendengarkan cerita Bik Min atau Mang Diman.
Fani mendadak diam ketika Mang Diman tanya alasan mendadak liburan di villa karena tidak biasanya. Bahkan, wajahnya mendadak keruh. Selera makannya pun mendadak hilang.
“Ada apa, Neng?” tanya Mang Diman merasa bersalah.
Fani tetap terdiam. Detik berikutnya dia berlari masuk kamar. Membenamkan wajahnya di batal dan menangis.
Sebelum suami istri itu mengejar Fani, mereka terlebih dahulu saling menyalahkan.
“Sudah, sekarang lihat Neng Fani!” geram Mang Diman.
Mereka berdua pun masuk kamar Fani.
“Neng, maafkan Mamang. Mamang tidak bermaksud apa-apa,” Mang Diman duduk di tepi pembaringan.
“Iya Neng, Mamang hanya tanya saja. Kalau Neng tidak menjawab ya, tidak apa-apa,” tambah Bik Min seraya mengelus rambut sebahu Fani.
Fani menghentikan senggukannya, lalu memalingkan wajah dan pelan-pelan cerita kalau dia baru saja dikeluarkan dari sanggar tari yang diikutinya sejak kelas satu SD itu. Menurut pelatih, Fani sudah tidak bisa berkembang lagi, tubuhnya terlalu kaku dan macam-macam alasan yang sebetulnya masih bisa diperbaiki.
“Kan usia Fani masih sebelas tahun, kata Mama masih bisa berkembang,” katanya mengakhiri cerita.
Bik Min dan Mang Diman merasa prihatin mendengarnya. Mereka berusaha menghibur dan membuat Fani gembira dengan cerita-cerita lucu atau cerita heroik yang pernah mereka baca.
“Kalau Neng Fani yakin masih bisa, mending masuk sanggar lainnya saja,” Nasihat Bik Min.
“Fani terlanjur suka, Bik. Lagian sanggar yang lain jelek-jelek.”
Saking asyiknya bercerita, Bik Min sampai lupa kalau dia belum membereskan meja makan.
Tepat pukul setengah lima, Fani mandi sore dan shalat Asar. Malam hari, sebelum tidur dia duduk di beranda belakang menikmati hamparan laut, ditemani segelas susu coklat hangat dan sepiring pisang goreng buatan Bik Min yang selalu bikin kangen.
Tiba-tiba Fani menghentikan kunyahannya ketika samar-samar melihat bayangan gadis kecil seusianya berdiri tegak di pinggir laut. Dia terus memperhatikannya karena sepertinya dia akan melakukan sesuatu.
Benar saja! Gadis kecil itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi lantas meloncat-loncat bagai kijang, lantas berputar beberapa kali, lantas … Fani memekik. Gadis kecil itu menari balet. Amat bagus, pujinya kagum dalam hati. Siapa dia?
Fani benar-benar kagum akan tarian gadis kecil di pinggir laut kemarin malam. Sayang dia tidak sempat melihatnya sampai selesai karena saat tarian akan berakhir tiba-tiba bulat tertutup awan dan gadis itu hilang entah ke mana.
Malam ini dia berharap gadis kecil datang lagi dan menarikan kembali tariannya.
“Neng, tidak tidur?” tanya Bik Min yang tanpa disadari Fani telah berada di sampingnya.
Fani menoleh sembari tersenyum, “Fani belum ngantuk. Bibi tidur dulu aja,” katanya kemudian.
“Tapi jangan melebihi jam sembilan, ya?” pesan Bik Min sebelum meninggalkannya.
“Memangnya kenapa?”
“Soalnya angin malam tidak bagus buat anak sekecil Neng Fani. Kan begitu pesan Nyonya,” jawab Bik Min.
Fani senyum kecil, “O, kirain apa,” katanya pelan.
Sepeninggal Bik Min, senyum Fani semakin lebar. Bayangan penari itu sedikit membuka harapannya yang kemarin sempat hilang. Dia akan cari tahu, siapa penari itu.
(bersambung bagian #2)