Bekantan yang Cemburu

Persahabatan itu seperti mengunyah batang tebu. Setelah manisnya hilang, ampas dibuang. Itulah yang sedang dirasakan Bekantan kecil. Sejak pagi hingga siang, wajahnya cemberut. Meski ia sudah menyerap air tebu yang manis, raut mukanya tetap saja masam.

“Kelinci lagi, Kelinci lagi,” katanya kesal. Dari atas pohon, Bekantan melihat Kelinci masuk ke rumah Beruang. Gara-gara Melinci itu, Beruang menolak bermain dengannya.

Langit cerah sekali. Bukankah akan sangat seru jika bermain di luar? Jalan-jalan, bermain, mengobrol sampai perut terasa lapar, lalu mencari buah-buahan. Akan tetapi ….

Bekantan semakin sedih. Ia memutuskan untuk pergi sendiri. Kalau perlu, Bekantan mencari teman baru dan bermain sepuasnya.

Hingga posisi matahari tepat di atas kepalanya, Bekantan belum menemukan teman. Ia sempat bertemu Kancil. Namun, Kancil menolak. Bekantan juga bertemu Tenggiling yang sedang menggali. Tenggiling juga menolak karena ingin tidur siang.

“Beruang jahat!” Bekantan sedih. Kali ini ia duduk sendiri di atas batang pohon sembari menangis. Tanpa ia sadari, teriakannya itu didengar oleh burung Enggang.

“Kasihan, Bekantan. Tidak ada yang mau bermain dengannya,” kata Enggang, lalu terbang ke bawah mendekati Bekantan.

“Halo, Enggang. Apa kamu mau bermain denganku?” tanya Bekantan.

“Jadi, kamu ingin bermain?” tanya Enggang.

“Aku sedih. Beruang telah melupakanku,” adu Bekantan.

Enggang tidak percaya. Rasanya, belum lama ia melihat Beruang sedang mengumpulkan buah-buahan.

Bekantan berkata sedih, “Sekarang Beruang lebih suka bermain dengan Kelinci.”

Enggang ingat, tadi ia memang melihat Kelinci bersama Beruang. Enggang merasa ada yang aneh. Di sana tidak hanya Kelinci, tetapi ada Kancil dan Tenggiling.

“Bekantan, ayo bermain!” ajak Enggang. Ia mempunyai ide. Ia lalu meminta Bekantan memegang kakinya. “Kita akan bermain di udara,” kata Enggang.

Awalnya Bekantan ragu. Namun, ketika Enggang mengepakkan sayap dan melayang, Ia berpikir ini bakal menyenangkan. Melihat seluruh hutan Kalimantan dari atas. Pasti indah.

“Pegangan yang erat.” seru Enggang. Ia membawa Bekantan terbang berputar. Bekantan tampak senang, matanya tidak berkedip. Beberapa kali ia bergumam kagum.

Setelah beberapa kali terbang mengitari hutan di udara, Enggang lalu menukik kembali ke hutan. Tanpa Bekantan sadari, Enggang membawanya ke rumah Beruang.

“Mengapa mendarat di sini?” tanya Bekantan, kecewa.

“Apa kamu tidak ingin berbaikan dengan Beruang?” Enggang balik bertanya. “Bukannya, aku tidak ingin bermain denganmu. Tapi, Beruang adalah teman baikmu. Bekantan, apa kamu lupa saat Beruang mengobatimu karena tersengat lebah?”

“Itu memang kewajibannya. Aku tersengat lebah karena menolongnya mengumpulkan madu,” ujar Bekantan dengan wajah bersungut.

“Baiklah, bagaimana dengan Beruang menolongmu saat hampir tenggelam?” Enggang ingat kejadian itu. Ia melihat sendiri Beruang mengangkat batang kayu besar untuk menolong Bekantan.

Bekantan terdiam.

“Ayo, aku temani kamu ke rumah Beruang. Kita tanya, apakah dia benar-benar tidak ingin bermain denganmu lagi?” ajak Enggang.

Enggang mendorong Bekantan yang tidak bergerak dari belakang. Mereka telah berdiri di depan pintu rumah Beruang.

Bekantan masih diam. Mau tidak mau, Enggang mengetuk pintu rumah Beruang.

Satu … dua … tiga ….

Pintu terbuka.

“Kejutaaaan! Selamat ulang tahun, Bekantan!” Kelinci, Kancil, dan Tenggiling berteriak serentak.

Bekantan terharu di depan pintu. Apalagi saat Beruang memeluknya. Ia tidak sanggup untuk tidak menangis.

“Aku mencarimu. Kamu ke mana saja?” tanya Beruang cemas.

“Aku pergi jalan-jalan. Aku pikir kamu tidak ingin bermain denganku lagi,” jawab Bekantan. Bekantan pun meminta maaf karena berprasangka buruk kepada Beruang.

“Itu karena kamu cemburu,” celutuk Enggang.

Bekantan menunduk malu. Beruang lalu mengajak Bekantan masuk ke rumahnya. Di atas meja, buah-buahan tampak tersusun cantik membentuk piramida. “Ini hadiah untukmu. Kelinci membantuku membuatnya,” kata Beruang.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar