Berkunjung ke Kampung Pasir

Berkunjung ke Kampung Pasir
Elfia Farah

“Uuuwhhh …,” keluh Ega sembari beberapa kali menggeliat.

Perjalanan dari Jakarta ke Sumenep, di ujung timur Pulau Madura, sungguh melelahkan. Kalau bukan karena penasaran dengan Kampung Pasir, Ega tidak akan mau pergi sejauh ini.

“Sabar, sebentar lagi sampai, kok,” hibur Om Indra sambil tetap fokus memegang setir.

Benar saja, tak lama mereka sampai di Pantai Lombang. Pantai dengan pasir putih yang terhampar luas. Siang itu suasana pantai sangat ramai. Perahu-perahu berlabuh di tepi pantai. Rupanya para nelayan bersiap melaut. Om Indra lalu menemui Pak Sudin, yang sedang berdiri di tengah para nelayan itu. Di bawah terik matahari, Ega melihat pepohonan Cemara Udang yang rimbun. Dengan segera ia berteduh. Tanpa menunggu lama, Ega sudah terkantuk-kantuk.

“Ba’na Ega, kan?” terdengar seseorang menyapa. Kantuk Ega seketika lenyap.

Ega berkenalan dengan Oji, anak Pak Sudin, juragan ikan yang tinggal di Desa Legung. Desa Legung adalah kampung nelayan dekat Pantai Lombang. Oji mengajak Ega ke rumahnya.

Rumah Oji cukup besar dan bagus. Seluruh lantai rumahnya berkeramik. Halamannya pun luas. Tapi ada sesuatu yang membuat Ega tercengang. Hampir seluruh halaman dipenuhi hamparan pasir. Di depan teras terdapat semacam kolam pasir yang dibatasi dengan beton dari bentangan pasir di sekitarnya. Seorang nenek sedang berebahan di kolam pasir itu. Tanpa alas apapun, kecuali bantal di kepalanya. Di dekatnya seorang anak kecil berguling-guling.

“Mereka sedang apa?” tanya Ega.

“Nenek ako menjaga adik ako bermain, malah ditinggal tidur,” sahut Oji tertawa lebar.

“Tidur di atas pasir?” Ega terperanjat.

Oji mengangguk lalu menarik tangan Ega ke dalam rumah. Oji menunjukkan kamarnya. Tidak ada dipan atau ranjang dengan kasur seperti di kamar Ega. Ega hanya melihat kolam pasir sebagaimana di luar rumah. Tetapi kolam pasir di dalam kamar jauh lebih tinggi, sekitar setengah meter, seperti ketinggian dipan Ega.

“Wah …, benar-benar aneh, ya, ” Ega kembali menunjukkan keheranannya.

“Itulah kenapa kampung ako disebut orang dengan Kampung Pasir,” jelas Oji.

Bahkan di kamar pun ada pasir, batin Ega. Antara kaget dan geli, Ega menutup mulutnya menahan tawa.

“Kenapa kalian tidak tidur di kasur biasa?”

“Panas. Di pasir rasanya lebih sejuk,” Oji memberikan alasan. Ega setuju. Ia juga merasakannya saat tiba di pantai tadi.

“Apa kalian sama sekali tidak punya dipan dan kasur?”

Oji terkekeh. “Ada …, tapi hanya untuk hiasan saja.”

“Hiasan …?” Lagi-lagi Ega terkejut. Oji kembali tertawa.

“Iya. Paling juga untuk tidur kalau ada tamu, seperti ba’na saat ini.”

Mereka menuju kamar tamu. Ega melihat dipan lengkap dengan kasur, bantal dan guling, serta kolam pasir, tentu saja. Ia meletakkan ranselnya di lantai keramik yang bersih.

Sambil minum air kelapa muda, mereka melanjutkan percakapan tentang Kampung Pasir. Pasir-pasir itu diambil dari Pantai Lombang.

“Kan, kotor tuh pasirnya,” Ega teringat saat melihatnya di pantai.

“Tentu tidak asal ambil,” terang Oji.

“Kami menggali pasir di bawah pohon Cemara Udang sedalam satu meter. Warnanya sangat bersih. Lalu dijemur dulu. Setelah kering, diayak untuk memisahkan kerikil atau kotoran. Barulah mendapatkan pasir yang lembut.”

“Tidak lengket?” tanya Ega.

Oji menggeleng. Wajah Ega menunjukkan rasa tak percaya. Oji mengajak Ega ke luar rumah dan menarik tangan Ega masuk ke kolam pasir.

Pertama kali menceburkan badannya, Ega merasa risih. Pasir itu sangat lembut dan menempel di kulitnya. Ega segera mengibas-ngibaskan tangannya. Oji tertawa.

Mereka kemudian berkeliling kampung dan melihat rumah-rumah tetangga Oji. Ternyata di depan setiap rumah selalu ada kolam pasir. Ada seorang anak sedang makan bakso di atas pasir. Ega bertanya dalam hati, apakah debunya tidak masuk ke kuah bakso? Bagaimana kalau kuah itu tumpah? Belum sempat terucap, Oji mengajak pulang karena hari sudah sore.

Di atas meja tersaji nasi dan ikan pindang serta sambal petis khas Madura. Ega makan dengan lahap.

“Lapar atau doyan, Ega?” canda Om Indra.

“Dua-duanya, Om,” sahut Ega tersipu. Semua tertawa mendengarnya.

@@@

Setelah salat Isya di musholla, Ega dan Oji kembali ke rumah. Tak disangkanya kolam pasir di halaman penuh orang. Ibu, nenek, kakak dan adik Oji riuh bercengkerama di kolam pasir. Mereka membenamkan kaki ke dalam pasir. Nenek Oji mengusap-usapkan pasir ke lengannya.

“Bukankah malah masuk angin kalau malam hari nenekmu tidur di luar, Ji?”

“Sebaliknya, Nak Ega. Kami sehat wal afiat dengan tidur di pasir. Kakek sampai setua ini alhamdulillah tidak pernah sakit. Bahkan pasir di sini menghilangkan pegal-pegal setelah seharian bekerja. Saat udara panas, pasir terasa dingin. Kalau udara dingin, pasir terasa hangat,” timpal Kakek Oji yang berjalan di belakang.

“Sejak kapan Kakek tidur di pasir?” tanya Ega.

“Sejak Kakek masih bayi. Kami sudah lama sekali melakukan tradisi ini secara turun temurun.”

“Ayo, ikutan!” ajak Oji.

Ega segera menjatuhkan badan ke kasur pasir. Oji mengulurkan bantal. Ega mencoba menghilangkan rasa risihnya.

Setelah bercanda dan mengobrol banyak hal, satu per satu dari mereka mulai tertidur. Adik Oji yang berumur empat tahun sudah terlelap di antara Oji dan Ega. Mata Ega mulai terpejam, saat tiba-tiba ia merasa kakinya basah.

“Oji, adikmu ngompol!” teriak Ega.

Oji segera bangun. Pasir di seputar adik Oji basah. Oji memindahkan adiknya ke teras. Ibu Oji mengurusnya. Oji dengan cepat mengambil sekop dan ember. Lalu mengeruk pasir yang basah. Kemudian membuangnya jauh di pojok halaman. Setelah membasuh kakinya, Ega kembali tidur.

Di tengah malam, Ega terbangun mendengar suara gaduh. Badannya pun basah. Ternyata hujan. Semua orang pindah ke kolam pasir di dalam kamar. Ega menghambur ke kamar tamu, tidur di dipan dengan Om Indra.

Setelah bangun di pagi hari, Ega melihat pasir dalam keadaan basah. Oji akan menjemurnya saat matahari telah terik. Tiba-tiba Ega melihat sesuatu.

“Oji, ada kucing pup di pasir!” teriak Ega panik.

“Oh, si Belang. Ba’na marah, ya, Ega makan ikan pindangmu? Hahaha …,” kelakar Oji. Ia segera mengeruk kotoran itu.

“Kalau tidak ada yang lihat kucing pup di pasir, bagaimana?” tanya Ega diiringi tawa.

“Pasti ketahuan, Ga! Warna dan bentuk pasir kotor dan bersih itu beda, kami pasti mengenali. Setelah makan kita ke pantai, yok! Akan ako tunjukkan cara mengolah pasir hingga layak dipakai alas tidur.”

“Siap, Bos!”

Mereka beradu tepuk. Dan Ega baru sadar, pegal-pegal di badannya karena seharian duduk di mobil tak terasa sama sekali.
@@@

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar