“Ini tidak mungkin!” seru Reza yang berdiri di pagar besi pembatas jembatan yang ada di atas sungai.
“Apa yang tidak mungkin?” tanya Harun yang berdiri di sampingnya.
“Sungai ini…,” sahut Reza pendek.
“Kenapa dengan sungai ini?” lanjut Harun dengan heran, “sudah ayo lompat, mereka sudah menunggu kita!”
Harun menunjuk ke tiga orang anak laki-laki lainnya yang sudah lebih dulu menceburkan diri ke sungai.
“Ayo, lompat, Za!” teriak Arhan dari sungai.
“Buka bajumu, jangan berlama-lama di situ!” sambung Komang.
“Kamu kan yang mengajak ke sini, masa tidak mau ikut berenang!” sahut Ilham ikut mengajak Reza untuk turun ke sungai.
Reza melihat Arhan, Komang, dan Ilham di tengah sungai yang dalamnya sebatas bahu. Dia juga memperhatikan air sungai yang berwarna coklat itu dan mengalir lambat. Tidak terlihat ada sampah di permukaan sungai.
“Sejak kapan sungai ini jadi bersih?”
“Hadeuh… kamu kenapa sih, Za?” balas Harun, “kamu seperti orang asing di kampung sendiri? Aneh ya kamu!”
“Tolong kamu jawab pertanyaanku,”
“Baik, kita mesti lomba renang dulu,” ucap Harun, “kalau kamu menang, aku akan jawab pertanyaanmu.”
“Baiklah.”
Harun tersenyum. Reza membuka bajunya, lalu melewati pembatas pagar dan melompat ke sungai. Tak lama, Harun mengikutinya. Arhan, Komang, dan Ilham berseru senang menyambut mereka.
‘Nah, begitu kan asyik!” seru Komang.
“Jadi, kita lomba renang?” sambung Arhan.
“Biar aku dan Harun yang berlomba duluan,” ucap Reza.
“Wah, ada apa nih? Kalian mau adu tanding, ya?” cetus Ilham.
“Bukan,” sahut Reza, “tadi, Harun sudah janji mau menjawab pertanyaanku setelah kami berlomba renang.”
“Masa?” tanya Arhan.
“Iya,” seru Harun.
“Batas renangnya sampai mana?” tanya Arhan.
“Sampai pohon Sukun saja!” jawab Ilham.
“Kalian jangan di sini,” ucap Komang, “cepat kalian ke dekat pohon Sukun, nanti lihat siapa yang menang.”
“Oh, iya!” Arhan terkekeh.
Kemudian, Arhan dan Ilham naik ke tepi sungai dan bergegas menuju pohon Sukun, lalu berdiri di dekatnya. Komang melihat Reza dan Harun.
“Kalian berdua siap-siap, ya….” kata Komang, “satu… dua… tiga!”
Reza dan Harun segera meluncur di sungai, mereka saling cepat mengayuh tangan dan menggerakkan kakinya. Arhan dan Ilham saling berseru memberi semangat.
“Terus, Za, yang cepat!” teriak Arhan.
“Balap, Run, kamu pasti menang!” sambung Ilham.
Reza berusaha sekuat tenaga untuk mendahului Harun. Tapi, kecepatan Harun mengayuh lengannya melebihi Reza sehingga dia bisa lebih dulu melewati pohon Sukun.
“Harun menang!” teriak Ilham.
Harun tertawa menyalami Reza. “Lain kali kamu pasti menang!”
Reza tersenyum masam.
“Kita pulang, yuk,” ajak Harun sambil naik ke tepi.
“Kok pulang?” tanya Reza heran.
“Sudah Asar, dengar tuh suara azan!” sahut Ilham, “sebentar lagi kita mengaji!”
Reza menoleh, terdengar suara azan Asar berkumandang.
“Ayo cepat naik, nanti kamu dicari ibumu!” lanjut Arhan.
Benar saja, selesai Arhan berkata itu, terdengar suara ibunya Reza memanggil.
“Reza…! Reza….!”
…..
“Ngggg….”
“Reza!”
Tangan Ibu Reza menepuk pipi Reza. Reza mengejapkan matanya, dia melihat wajah ibunya ada di dekatnya. Lalu, dia duduk di kasur, memandangi ke sekeliling ruang kamar.
“Ibu…? Kok aku di sini? Mana Teman-temanku?”
“Kamu mimpi apa?” tanya ibunya tersenyum, “teman-temanmu, ya, di rumahnya.”
Reza diam mengingat-ingat mimpinya.
“Sebentar, Bu….”
Reza melompat dari kasur dan berlari ke luar kamar. Kemudian, dia terus berlari keluar rumah, sampai ke tepi sungai. Dia melihat air sungai itu keruh, banyak sampah di permukaan sungai, dan airnya tidak mengalir.
Dia pulang dengan lemas, menemui ibunya yang sedang membereskan pakaian yang sudah selesai disetrika. Ibunya menatap heran.
“Kamu kenapa sih?”
“Aku tadi mimpi, berenang dengan teman-teman di sungai.”
Ibunya tersenyum.
“Aku tidak bohong, Bu,” kata Reza, “ sungai itu airnya jernih, tidak ada sampah!”
“Tapi, kenyataannya tidak seperti itu, kan?”
Reza duduk lemas di kursi dekat ibunya.
“Iya, Bu,” ucapnya pelan, “Sungai kita penuh sampah dan bau!”
“Impian memang tidak seindah kenyataan,” ucap Ibu.
“Duuuh, kalau begitu aku tidak bisa mewujudkan impianku mengalahkan Harun berenang!“ keluh Reza.
“Impian bisa juga jadi kenyataan kok,” kata Ibu, “asal punya niat kuat untuk mewujudkannya.”
Reza diam, lalu melihat ibunya dengan semangat.
“Aku tahu cara mewujudkannya!” serunya, “aku akan minta bantuan Pak RT untuk mengajak warga kita kerja bakti membersihkan sungai!”
“Nah itu!”
“Aku pergi dulu, Bu,” Reza mau bergegas.
“Kamu mau kemana?”
“Ke rumah Pak RT!”
“Tunggu saja di sini, ayahmu kan semalam baru dilantik jadi ketua RT yang baru!”
“Oh, iya, iya, aku lupa!” ucap Reza meringis.
***