Bingkai Persahabatan

“Kita ke tempat lain saja yuk Aqila.” Ajak Asfa ketika mereka baru saja tiba di kantin sekolah.

”Loh kenapa? Bukannya tadi kamu mengatakan lapar dan ingin pergi ke kantin?” tanya Aqila heran.

”Sudah tidak berselera lagi.” Ucap Asfa sambil berbalik arah meninggalkan kantin.

”Eeehh, tunggu Asfa!”Cegah Aqila tapi sama sekali tah dihiraukan Asfa.

Ingin sekali, Aqila mengikuti langkah sahabatnya itu. Tapi segelas Teh Poci begitu menggoda tenggorokannya yang mulai kering. Sehingga ia pun memutuskan untuk membeli dua gelas Teh Poci terlebih dahulu sebelum mengikuti Asfa.

”Aqila.” Sapa sebuah suara saat Aqila sedang mengantri membeli minuman.

”Eeeeh, A…Ariin.” Ucap Aqila terkaget saat melihat siapa orang yang menyapanya. Perlahan ia mulai tahu kenapa tadi tiba-tiba Asfa memutuskan untuk tidak pergi ke kantin. Sekarang ia pun jadi bingung, apa yang harus dilakukannya. Kalau Asfa tahu bahwa dirinya bersama Arin, pasti Asfa juga ikut marah kepadanya.

”Asfa masih marah dengaku ya Aqila?” tanya Arin.

”Ee…eee, sepertinya begitu.” Jawab Aqila mulai salah tingkah.

”Apakah kamu juga ikut marah denganku?”

”Ee…eee, tidak. Kamu kan tidak melakukan kesalahan kepadaku, jadi mengapa aku harus marah?”

”Jujur Aqila, sebenarnya aku rindu kita bertiga bisa sama-sama akrab seperti dulu. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku sadar, aku telah berbuat kesalahan kepada Asfa. Kemarin aku yang memaksanya untuk meminjamkan buku cerita yang baru dibelinya sebelum ia membaca. Dan aku berjanji akan merawat dan segera mengembalikannya. Tapi aku mengingkari janji itu. Aku terlambat mengembalikannya dengan keadaan buku yang sudah tidak baik lagi. Aku ceroboh menaruhnya Aqila, sehingga adikku yang paling kecil mencoret-coret serta menyobek beberapa halaman dari buku itu. Aku ingin mengganti buku itu, tapi aku belum memiliki uang yang cukup untuk membelinya. Mau meminta kepada ibuku tidak mungkin, karena sekarang Ayahku sedang sakit, dan membutuhkan biaya untuk membeli obat.” Cerita Arin dengan bola mata yang mulai berkaca-kaca.

”Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi kamu tahu sendiri kan Asfa bagaimana. Kalau sudah terlanjur marah, kadang memang begitu sulit untuk kembali tersenyum. Tapi sebenarnya dia begitu baik kok, aku yakin sebenarnya ia juga sudah merindukan kita bersama-sama bermain seperti dulu. Apalagi sudah hampir seminggu kan kalian saling diam, tak bertegur sapa?”

“Iya Aqila, dan aku tidak tahu harus berbuat apa?” Ucap Arin sambil tertunduk pasrah.

“Kamu yang sabar ya, nanti aku coba bicara kepada Asfa. Semoga ia mau mengerti.”

“Terima kasih ya Aqila, sungguh aku merindukan bisa bermain dan belajar bersama kalian lagi.”

”Insya Allah, maaf aku pergi dulu ya. Asfa pasti sudah menungguku.” Ucap Aqila setelah menerima dua gelas Teh Poci yang ia pesan.

”Oh iya Aqila terima kasih banyak ya.” Kata Arin sambil memeluk sahabatnya itu erat.

*****

”Minum dulu Fa.” Ucap Aqila sambil menyodorkan segelas Teh Poci kepada Asfa yang sedang duduk di pinggir kolam taman sekolah.

”Kamu kok lama banget sih, cuma beli Es Teh saja.”

”Masih antri panjang, kenapa tiba-tiba kamu meninggalkan kantin?”

”Malas saja.”

”Karena ada Arin?”

”Kamu tadi ketemu sama dia?”

”Sampai kapan sih kalian berdua terus saling diam seperti ini?”

”Salah sendiri, tidak menepati janjinya.”

”Kamu nyaman dengan sikapmu seperti ini?”

Asfa menghentikan seruputan Teh Pocinya dan menatap Aqila lekat.

”Jawab dengan jujur Asfa.” Ucap Aqila menegaskan.

”Enggak Aqila.” Kata Asfa sambil menggeleng kuat.

”Lalu?”

”Aku merasa sekolah ini begitu sempit. Aku malas pergi ke perpustakaan, ke kantin, ke masjid kalau ada Arin. Rasanya semua tempat jadi tidak nyaman kalau aku melihatnya. Aku benci dengan keadaaan seperti ini. Aku ingin bisa merasakan kenyamanan di semua tempat seperti dulu lagi. Ah, rasanya ingin pindah sekolah saja kalau merasakan hal seperti ini terus.”

”Kenapa tidak kamu maafkan Arin saja, Asfa. Agar masalahmu dapat cepat selesai dan kita bertiga bisa bermain dan belajar bersama lagi.”

“Tidak semudah itu Aqila. Dengan seenaknya dia memaksaku untuk meminjamkan buku yang baru ku beli, meskipun dia tahu aku belum selesai membacanya. Dan kamu tahu sendiri kan bagaimana bentuk buku itu ketika dia mengembalikan. Dia janji untuk mengganti, tapi mana buktinya?” Ucap Asfa dengan nada geram.

”Dia belum mengganti, bukan berarti dia tidak mau mengganti. Ayahnya sedang sakit, dan sekarang keluarganya membutuhkan biaya untuk membeli obat.”

“Ah, sama saja. Dia tidak menepati janjinya.” Ucap Asfa sambil berlalu dari taman sekolah karena bel tanda masuk sudah berdering

*****

Pagi itu, sengaja Aqila berangkat lebih awal dari biasanya. Bahkan sesampai di sekolah, satpam sekolah pun belum membuka pintu gerbang. Cepat-cepat ia masuk ke kelas. Dua bingkisan yang sudah ia siapkan dari rumah segera ia taruh dalam loker meja dua sahabat karibnya. Sambil menunggu teman-teman yang lain datang ia pun pergi ke masjid sekolah untuk melaksanakan sholat dhuha terlebih dahulu.

Tak lupa ia berdoa untuk kelancaran belajarnya hari itu. Juga agar Allah melembutkan hati kedua sahabatnya yang saat ini sedang bertikai. Selepas melaksanakan 2 rakaat sholat dhuha, ia pun melihat sudah banyak siswa yang datang. Tak sabar ia ingin segera ke kelas untuk melihat apakah kedua sahabat karibnya sudah datang juga.

Ketika ia sampai di pintu kelas, alangkah terkejutnya ia ketika melihat banyak siswa yang bergerombol di kelasnya. Baik teman-teman sekelasnya sendiri maupun siswa-siswa kelas lain yang mengintip dari balik kaca jendela kelas. tak sabar ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ia terobos gerombolan para siswa itu. Begitu ia berhasil masuk ke dalam kelas, ia lihat di tengah ruangan itu, dua sahabatnya, Arin dan Asfa tengah berpelukan erat sambil terisak menahan tangis. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuat mereka menangis? Apakah rencananya berhasil? Apakah dua bingkisan yang ia rancang dari rumah itu sudah sampai di tangan mereka berdua. Meskipun dengan langkah ragu, Aqila pun mencoba mendekati mereka berdua. Ia sentuh bahu mereka lembut.

”Aku tak pernah menyangka, ternyata kamu begitu perhatian kepada keluargaku.” Ucap Arin sambil menghapus butiran bening di sudut matanya.

”Aku juga tak pernah menyangka bahwa kamu akan benar-benar mengganti bukuku. Padahal saat ini pasti keluargamu sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ayahmu. Maafkan aku, karena sudah menjadi temanmu yang egois.”

”Mengganti buku? Aku memang berencana mengganti bukumu, tapi aku belum melakukannnya.” Ucap Arin heran.

”Lalu buku ini?” tanya Asfa heran sambil menunjukkan buku di tangannya.

”Bukan dariku. Obat herbal ini dari kamu kan?”

”Bukan dariku juga.”

”Tapi di sampul tertulis namamu dan ucapan permintaan maafmu.” Ucap Arin sambil menunjukkan bungkus obat herbal itu.

”Sama, di sampul buku ini juga tertulis namamu dan ucapan permintaan maafmu.” Balas Asfa sambil menunjukkan bungkus yang sama.

”Jadi? AQILAAA!!!!” Ucap mereka bersamaan sambil mengarahkan pandang kepada Aqila.

”Sudah, tak peduli dari mana pun datangnya kedua benda itu, tapi hari ini aku begitu bahagia karena dapat melihat kedua sahabatku bisa kembali akrab seperti dulu.”

”Kenapa kamu harus repot-repot melakukan ini semua sih Aqila. Padahal hari ini aku memang sudah berniat untuk kembali memulai hubungan baik dengan Arin. Tak nyaman rasanya bila terus menerus menyimpan rasa marah.”

”Anggap saja itu kado cinta dariku untuk kalian berdua. Agar bingkai persahabatan kita semakin kokoh dan tidak mudah retak kembali. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling bermusuhan, jangan saling hasud. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya di atas tiga hari” Ucap Aqila sambil memeluk kedua sahabatnya dengan erat.

*****

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar