Bonsing Ka Balan (Tarsius dan Monyet)

Hiduplah dua hewan di suatu kawasan hutan. Kedua hewan ini bersahabat karib. Hewan yang satu bernama Bonsing dan satunya bernama Balan.

Pada suatu hari, berkatalah Balan kepada Bonsing. “Siapakah berkuasa di hutan ini?”

“Saya menguasai hutan ini,” jawab Bonsing.

“Mari kita buktikan.“ Tantang Balan.

Sejak oertentangan itu, tiada kabar diantara mereka.

Suatu hari Balan teringat Bonsing. Balan berkata, “Tentu Bonsing telah mendapat tempat tinggal yang baik. Saya harus mencarinya.”

Bertemulah mereka. “Aku mencarimu. Apa kerjamu, Bonsing?” tanya Balan.

“Saya menjaga gong Raja Hutan.”

Sesungguhnya gong yang dimaksud adalah sarang lebah. Balan tidak mengenali sarang lebah menyerupai gong tersebut.

Balan bertanya, “Apakah boleh memukulnya?”

“Boleh saja. Tapi, ada syaratnya,” jawab Bonsing.

“Apa syaratnya?”

“Agar tidak dimarahi oleh Raja Hutan, biarkan saya pergi dari tempat ini. Apabila kamu mendengar bunyi sing … sing … sing …, pukulah gong sekuat tenagamu.”

Setelah itu, Bonsing mendaki gunung dan mengeluarkan bunyi sing … sing … sing ….

Kata Balan, “Wah … Akan kupukul gong ini.”

Balan mengambil sepotong kayu lalu memukul sekuat tenaga. Lebah langsung terbang dan menyengat. Balan berlari dan berteriak kesakitan. Balan marah dan berkata, “Saya dibodohi oleh Bonsing. Tunggu bagianmu bila bertemu.”

Balan mencari dan berhasil menjumpai Bonsing sedang duduk santai.

Berkatalah Balan,  “Kaulah yang selalu membodohi.”

“Eh, Bonsing bukan hanya saya sendiri. Banyak Bonsing berkeliaran di sini.” Bonsing membela diri.

“Oh, kukira engkaulah yang membodohiku,” sahut Balan.

“Jadi, apa pekerjaanmu di sini?”

“Saya  menjaga ikat pinggang Raja Hutan.”

“Apakah boleh memakainya?”

“Boleh saja. Tapi, ada syaratnya.”

“Apa syaratnya?”

“Syaratnya mudah. Kau boleh memakainya saat saya jauh dan mendengar bunyi sing … sing … sing.”

“Ya, setuju,” kata Balan.

Bonsing pun pergi. Tanpa diketahui Balan, ternyata ikat pinggang yang dimaksud adalah seekor ular. Tak lama terdengar bunyi, sing … sing … sing ….

Balan berkata, “Akan kupakai ikat pinggang ini.” Balan memegang kepala ular. Badan ular dililitkan dipinggangnya. Seketika, Balan dililit oleh ular sehingga menjerit kesakitan.

“Sudah … sudah …,” teriak Balan.

Ular malah mengencangkan lilitan. Balan mendapat akal dengan berpura-pura mati agar ular menyudahi lilitannya. Balan merasakan lilitan ular melonggar dan cepat-cepat melompat. “Wah, hampir saya mati. Bonsing mendustai saya.”

Balan pergi mencari Bonsing.

“Inilah kau Bonsing yang selalu mendustaiku.”

“Eh … jangan sembarangan. Banyak Bonsing di sini,” kata Bonsing.

“Oh, kukira Bonsing yang sering menyakitiku,” kata Balan.

Balan melanjutkan percakapannya dengan Bonsing.

“Apa pekerjaanmu di sini?”

“Menjaga kasur Raja Hutan,” jawab Bonsing.

“Apakah boleh saya tidur di kasur itu?” tanya Balan.

“Boleh saja. Akan tetapi, tunggu saya pergi agar tidak dimarahi raja. Jika engkau mendengar bunyi, boleh mulai tidur,” jawab Bonsing.

Setelah tiba di puncak gunung, Bonsing mengeluarkan bunyi, sing … sing … sing …. Balan tidak menyadari bahwa kasur yang dimaksud adalah sarang semut.

Balan dengan gembira langsung berbaring. Semut langsung menggigitnya. Balan berteriak menjerit kesakitan.

Balan kembali mencari Bonsing. Dalam perjalanan, Balan bergumam, “Akan kubuat perhitungan dengan Bonsing.”

Tidak lama, Balan menjumpai Bonsing di puncak gunung, lalu ia berkata. “Kaulah yang selalu membodohiku. Hampir saya mati karena perbuatanmu,”  demikian kata Balan.

“Eh, jangan sembarang. Di sini, Bonsing menghuni satu lembah dan satu gunung. Bonsing bukan hanya aku saja,” jawab Bonsing.

“Oh, kusangka engkaulah Bonsing,” kata Balan, “kalau engkau yang selalu mengakaliku akan kubuat perhitungan saat ini juga.”

“Apa pekerjaanmu saat ini?’

“Saya menjaga senjata Raja Hutan,” jawab Bonsing.

“Apakah boleh membunyikannya?” tanya Balan.

“Boleh,” jawab Bonsing santai.

Ternyata, senjata Raja Hutan tidak lain adalah serumpun bambu.

“Jika engkau ingin membunyikan, naiklah engkau ke ujung bambu,” kata Bonsing.

Balan langsung memanjat.

Bonsing memberi komando kepada Balan. “Kalau saya sudah membunyikan, kau harus diam.”

“Ya,” sahut Balan.

Angin bertiup, bambu pun bergoyang. Balan berseru. “Wah! indahnya pemandangan ini. Bunyikan saja,” kata Balan.

“Tunggu!  Nikmatilah pemandangan! Aku sedang memperbaiki pelatuknya,” jawab Balan.

Namun, Bonsing menyalakan dan membakar rumpun bambu. Karena terbakar, bambu pun meletus bagai bunyi senjata: pung … pung …. Api memakan semua rumpun bambu. Balan turut terbakar dimakan api.

Bonsing gembira karena dialah yang berkuasa di hutan itu. Bonsing tidak menyadari ada beberapa ekor anjing gila di semak-belukar. Bonsing melompat kegirangan sehingga terlihat oleh anjing. Dengan cepat anjing menerkamnya hingga mati.

Akhirnya kedua hewan itu mati. Tidak ada diantara mereka yang berkuasa di hutan. Kelicikan Bonsing dan kebodohan Balan tidak mampu membawa mereka berkuasa di hutan.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar