Hari raya Idul Fitri selalu jadi momen yang aku tunggu-tunggu. Selain karena tradisi mudik yang seru, suasana kumpul keluarga besar membuat lebaran lebih meriah dan penuh warna. Lebaran tahun ini kami sekeluarga memilih mudik ke kampung kelahiran ibu di Bandung, Jawa Barat. Di sana masih ada kakek, ayah dari ibu yang kami panggil Aki.
Menyambut mudik ini, aku dan adikku bersemangat sekali. Saking semangatnya, sejak dua minggu sebelum lebaran aku dan adikku menyiapkan segala keperluan, termasuk menukarkan uang baru untuk berbagi dengan adik-adik sepupuku di Bandung.
“Sudah selesai kemas-kemasnya, Kak? Udah nggak sabar ya mau ke rumah Aki?” tanya ibu sambil tersenyum.
“Iya dong, Bu. Kan ibu tahu aku paling semangat ke Bandung, “jawabku.
“Emang apa sih yang bikin kakak selalu happy kalau ke Bandung?” tanya ibu penasaran.
“Semuanya. Ya, makanannya, tempat wisatanya, belanjanya, pokoknya Bandung itu kayak surga, segala ada,” ujarku semangat.
Semangatku semakin bertambah saat ibu menceritakan bahwa kakek telah menyiapkan kejutan untuk kami. Rasanya aku ingin cepat-cepat tiba di Bandung dan tidak sabar dengan kejutan yang telah disiapkan kakek.
“Semoga tidak terlalu macet, ya,” ujar Ayah.
Lewat tengah malam, kami tiba di rumah Aki. Rasa lelah selama di perjalanan mendadak hilang melihat senyum Aki yang menyambut kedatangan kami. Hampir semua anak Aki tinggal berjauhan, itulah yang menyebabkan suasana mudik selalu seru karena kami bisa berkumpul bersama dan aku bisa bertemu dengan sepupu-sepupuku. Tentu hal tersebut membuat rumah Aki yang biasa sepi menjadi ramai.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Usai Shalat Ied dan saling bersalaman menghaturkan maaf lahir dan batin, aku langsung menghampiri kakek dan bertanya tentang kejutan apa yang telah ia siapkan.
“Hahaha, sabar ya, pokoknya asyik,” kata kakek tak menjawab rasa penasaranku.
“Tuh, Aki sekarang main rahasia-rahasiaan,” gerutuku.
“Rahasianya ada di gunung. Ayo, kakak bantu bawa barang-barang keperluan buat nanti di gunung, kita berangkat,” sambung kakek yang tetap ingin merahasiakan kejutannya dan mencoba membuatku tidak terlalu cemberut.
Kakekku memang memiliki sebuah lahan yang cukup luas di sebuah dataran tinggi tak jauh dari kota Bandung. Di lahan itu kakek biasa menghabiskan waktunya bercocok tanam. Aku sendiri jarang ke sana, karena selain terlalu dingin, untuk sampai ke lahan itu harus ditempuh dengan jalan kaki dan mendaki. Karena lebaran kali ini kakek ingin kumpul keluarga besar dengan suasana yang berbeda, maka kami semua mau tidak mau mengikuti ajakan kakek ke tempat yang tinggi dan dingin itu. Aku membayangkannya saja sudah menggigil, belum lagi kaki yang pasti pegal-pegal karena harus mendaki.
Tapi kenyataan ternyata tidak semenyeramkan bayanganku. Di lahan itu kakek membangun sebuah rumah panggung dengan suasana pedesaan yang syahdu. Di sana kami bisa melihat pemandangan yang indah. Hamparan sawah, hijaunya pepohonan, dan aliran sungai yang menyejukkan mata. Kakiku juga tidak jadi pegal-pegal karena kakek sudah menyiapkan angkutan tradisional, yakni kretek atau dokar atau yang lebih dikenal dengan sebutan kereta kuda. “Inikah kejutan kakek?” batinku sembari terus tersenyum, gembira sekaligus bangga karena kakek tidak berubah selalu ingin membuat siapa pun bahagia.
“Asyik nggak, Kak? Tapi ini bukan kejutannya, lho,” kata kakek sembari tersenyum melihatku tersenyum.
“Iya, Aki mau ajak kita botram,” sambung ibu.
“Botram? Apa itu, Bu?” tanyaku bingung
“Botram itu makan bersama. Itu tradisi khas masyarakat Sunda, Kak. Mungkin di daerah lain juga ada tradisi makan bersama, tapi nama dan penerapannya beda-beda. Intinya, kebersamaan dan kesederhanaan. Nanti saudara-saudara kita yang di Bandung, dari Salatiga, dan Banten ikut ngabotram juga. Biasanya mereka juga membawa makanan buatan keluarga masing-masing,” jawab ibu.
“Wah seru sekali, Bu. Berarti kita bisa saling mencicipi makanan masing-masing ya, Bu? Botramnya di mana, Bu?” tanyaku lagi
“Iya dong, kita bisa saling bertukar makanan dan saling mencicipi masakan buatan masing-masing. Yang penting juga, botram ini bikin kita tambah dekat dan akrab satu sama lain. Makanya, tradisi seperti ini harus kita lestarikan. Oiya, kita botram di saung Aki. Itu di sana,” kata ibu menunjuk sebuah bangunan sederhana empat tiang tanpa dinding dan beratap jerami.
Angin pegunungan sore itu membawa aroma wangi nasi liwet. Aroma kuliner khas nusantara yang dimasak menggunakan kastrol atau panci liwet dengan santan, kaldu ayam, daun salam, dan rempah-rempah sehingga menciptakan rasa gurih dan lezat ini sungguh menggugah selera.
Aroma itu menandakan acara ngabotram akan segera dimulai. Aku dan adik membantu ayah menggelar tikar dan menata daun pisang yang akan kami gunakan untuk alas makan. Ibu dan tante-tanteku menyajikan nasi liwet dengan penganan lainnya. Ada ikan goreng, tempe, tahu, ayam goreng, jengkol goreng, dan petai bakar, tak lupa lalapan, ikan asin lengkap dengan sambal terasi. Yang juga tidak ketinggalan adalah kerupuk.
“Ayo, waktunya makan, ” ajak Aki tersenyum hangat.
Makan bersama dengan suasana sederhana ini sungguh mengesankan. Rasanya lebih membahagiakan dari gadget yang setiap hari menemaniku. Aku jadi semakin mencintai tanah kelahiran ini dengan keunikan tradisinya. Tradisi botram telah membuka mataku tentang kebersamaan dan kesederhanaan yang indah.
Lebaran kali ini sungguh berkesan. Botram di saung Aki tentu akan melukis kenang, hingga aku selalu rindu pulang.**
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024“