Arin membolak-balik halaman komik dengan lesu. Dia memperhatikan setiap gambar tanpa berkomentar apa pun. Pikiran Arin tidak bisa fokus. Teman-teman sekelasnya yang duduk tak jauh darinya, sibuk membahas tentang camilan baru di kantin sekolah.
“Lagian, Bik Isah, masa bronis enggak enak gini dijual,” kata Lidia.
“Padahal tadi aku semangat beli karena penasaran sama rasanya. Di sekolah kita, kan, belum pernah ada yang jualan bronis,” sambung Meris.
Arin yang tidak membeli makanan apa pun dari kantin hanya terdiam. Sebenarnya, tadi dia ingin keluar kelas. Namun, komik yang dipinjamnya dari Emil harus dikembalikan sebelum pulang sekolah.
“Rin, kamu mau bronisnya?” tanya Nisa. Anak berambut pendek itu lalu menyodorkan sebuah plastik berisi tiga potong bronis.
Arin menggeleng.
“Cobain, deh, biar kamu juga tau rasanya,” ujar Lidia.
“Iya, Rin. Enggak adil kalau cuma kami bertiga yang makan. Kamu juga harus makan, biar tau kalau bronisnya enggak enak,” kata Meris.
Meris dan Lidia pun segera terbahak-bahak. Saat mendengar tawa mereka, Arin segera menutup komik lalu bangkit dari kursinya.
“Hei. Kalian enggak ingat kata Bu Guru, dilarang menghina makanan walaupun makanan itu enggak enak,” ucap Arin.
“Aku enggak menghina, loh, Rin. Memang rasa bronisnya aneh. Pahit! Tuh, Nisa sama Meris aja bilang gitu,” jawab Lidia.
“Ya, minimal jangan ngata-ngatain, gitu. Apa kalian pernah bikin bronis? Coba kalau yang bikin bronis ini dengar, dia pasti sakit hati karena ucapan kalian,” cecar Arin.
“Ya, udah, kalau kamu enggak mau menghina makanan, coba makan aja ini bronisnya. Sayang, daripada dibuang,” tantang Lidia.
Arin menatap Lidia dengan cemberut. Sementara itu, Nisa dan Meris hanya bisa terdiam. Sepertinya, mereka berdua tak berani berkata apa-apa di hadapan dua sahabatnya itu.
“Lucu, deh, kamu, Rin. Kok, malah kamu yang marah,” sambung Lidia.
“Sikap kalian benar-benar keterlaluan. Enggak tau cara menghargai makanan.” Arin lalu menggeser kursinya. Dia berniat keluar kelas, meninggalkan tiga sahabatnya.
“Rin, rumah kamu sama rumah Bik Isah, kan, dekat. Bilangin sama Bik Isah, jangan jual lagi bronis pahit ini,” kata Lidia.
Arin, yang makin kesal, keluar kelas tanpa berkata apa-apa lagi. Siswa kelas VI itu berjalan menuju perpustakaan. Sambil memegangi ujung kerudung putihnya, Arin berpikir bahwa suasana sepi di perpustakaan pasti bisa membuatnya tenang.
*
Keesokan harinya, Arin, Meris, Nisa, dan Lidia berjalan penuh semangat menuju kantin saat jam istirahat tiba. Seperti biasanya, empat siswa SD Tunas Raya itu selalu mengobrol macam-macam, termasuk bronis di kantin Bik Isah.
“Aku mau lihat, deh, apa Bik Isah masih jual bronis yang enggak enak itu,” kata Lidia. Anak perempuan yang hobi memakai jepit rambut warna-warni itu memang suka mengomentari banyak hal.
Arin yang sudah berbaikan dengan Lidia hanya diam mendengar ocehan sahabatnya itu. Dia merasa malas untuk berdebat dengan Lidia lagi.
“Sudahlah, Lid. Jangan bahas bronis lagi. Kamu enggak ingat Arin bilang apa kemarin. Jangan menghina makanan,” ujar Meris sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Lagian, kalau kamu enggak suka, ya, enggak usah dibeli, Lid. Mamaku pun bilang, bikin bronis itu susah, loh,” kata Nisa.
Lidia cemberut. Matanya fokus melirik ke arah kue-kue di etalase kantin Bik Isah.
“Eh, bentar-bentar,” ujar Lidia sambil berjalan cepat mendatangi Bik Isah yang sedang sibuk melayani pembeli.
“Bik, besok-besok enggak usah jualan bronis itu lagi, deh. Enggak enak, tau,” ucap Lidia seraya menunjuk ke boks bronis di etalase kantin.
Bik Isah mendadak diam sebentar, memperhatikan arah boks putih yang ditunjuk Lidia.
“Eh, itu. Maaf, ya, Bik Isah pikir … semua anak-anak sini bakalan suka sama brownis,” jawab Bik Isah. Perempuan berkerudung biru muda itu lalu tersenyum kikuk kepada Lidia.
Tak lama kemudian, bel tanda istirahat selesai, berbunyi. Keempat sahabat itu mengemasi sisa makanan mereka lalu membuangnya ke tong sampah.
Arin bangkit sambil memperhatikan Nisa. Dia lalu merasa heran terhadap sahabatnya itu.
“Kok snack-mu masih utuh, Nis?” tanya Arin.
“Iya, nih. Hilang selera makanku gara-gara Lidia bahas bronis terus,” jawab Nisa dengan lesu.
Setelah itu, Arin tak berbicara lagi. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya agar bisa cepat pulang dan segera tidur siang.
Sesampainya di rumah, Arin melihat mamanya sedang berada di halaman rumah dan terburu-buru membuka pintu mobil. Mamanya lalu memberikan ciuman dan berpamitan karena harus segera kembali ke kantor.
“Makanan sudah Mama siapkan di meja, ya, Sayang. Jangan lupa, nanti bereskan lagi alat-alat dapur Mama, setelah kamu selesai memakainya!” perintah mama Arin.
Arin mengangguk dan tersenyum. Dia pun masuk kamar setelah menyaksikan mobil berjalan meninggalkan halaman.
Tak lama setelah Arin berganti pakaian, dia mendengar suara seseorang memanggilnya. Segera Arin berlari menuju pintu depan. Ternyata, ada Bik Isah yang sudah menunggu di teras. Kedua tangan Bik Isah menenteng kresek merah besar berisikan boks kue.
“Eh, Bik Isah. Gimana, Bik?” tanya Arin bersemangat.
“Gini, Rin. Kayaknya besok Bik Isah enggak jualan bronis lagi di kantin. Enggak laku soalnya,” kata Bik Isah. Setelah itu, Bik Isah pamit dan meninggalkan Arin.
Arin terduduk lesu di lantai teras. Dia fokus menatap boks kue pemberian Bik Isah, yang ada di pangkuannya. “Sepertinya, Mama benar. Bronis buatanku memang enggak enak.”
[*]
#TalisKamis