Bujang Kocak

Pada zaman dahulu kala, di sebuah pesisir pantai yang gersang, hiduplah seorang pemuda yang senang bercanda dan sering membuat orang tertawa. Pemuda itu bernama Bujang Kocak.

Setiap hari Bujang Kocak akan muncul di tepi pantai untuk menghibur para nelayan yang ingin pergi melaut.

“Hey, para nelayan, mengapa ikan harus dipancing?” tanya Bujang Kocak sambil berkacak pinggang.

“Kami tidak tahu, Bujang Kocak,” jawab para nelayan sambil siap-siap tertawa. “Beri tahu kami jawabannya!”

“Bertahun-tahun melaut, tapi tidak bisa menjawab. Payah betul,” kata Bujang Kocak meledek. “Mengapa ikan harus dipancing, karena kalau dikancing itu kemeja!”

Para nelayan langsung tertawa bersama. “Pintar betul kamu melucu, Bujang Kocak!” kata mereka.

Bujang Kocak ikut tertawa. “Namaku Bujang Kocak, jadi haruslah pintar melucu. Kalau pintar melompat, namaku jadi Bujang Kodok!”

Tawa para nelayan terdengar semakin keras.

Begitulah yang dilakukan Bujang Kocak sehari-hari. Dia kerap muncul di tepi pantai untuk membuat orang tertawa. Bukan hanya itu, sesekali dia juga ikut melaut dan membantu beberapa nelayan menebar jala untuk menangkap ikan. Jika tidak melaut, terkadang dia membantu beberapa nelayan membetulkan perahu mereka yang rusak. Selain lucu dan senang bercanda, Bujang Kocak memang dikenal sebagai pemuda yang baik hati dan senang membantu orang lain.

Hingga suatu hari, sehabis memberikan tebak-tebakan lucu kepada para nelayan, Bujang Kocak melihat Putri Raja sedang bermain di tepi pantai bersama dayang-dayang istana. Hatinya tiba-tiba seperti ingin meloncat keluar. “Amboi, cantik betul paras sang Putri!” katanya dalam hati. “Betapa bahagianya aku jika bisa menikahi bidadari itu!”

Lalu Bujang Kocak bergegas mendekati Putri Raja dan membungkukkan badan memberi penghormatan, “Wahai, Tuan Putri yang cantik jelita, aku punya tebak-tebakan. Jika Tuan Putri bisa menebak, aku akan menjadi budak Tuan Putri selamanya. Namun, jika Tuan Putri tidak bisa menebak, aku akan menikahi Tuan Putri. Apakah Tuan Putri berkenan?”

Tuan Putri menatap Bujang Kocak, dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan tersenyum melihat Bujang Kocak tidak mengenakan alas kaki. “Apakah tidak sebaiknya kamu memperkenalkan diri dulu?” tanyanya kemudian.

Bujang Kocak menepuk jidat. “Maaf, Tuan Putri. Aku terlalu bersemangat sehingga lupa memperkenalkan diri. Namaku Bujang Kocak.”

Tuan Putri mengangguk. “Kalau begitu, seperti apa tebak-tebakanmu itu?”

Sambil menarik napas panjang, Bujang Kocak bertanya, “Jika di dalam air ikan bernapas dengan insang, berarti di darat ikan bernapas dengan apa?”

Tuan Putri berpikir sebentar lalu meminta dayang-dayang untuk membantunya. Dia dan dayang-dayang berdiskusi panjang lebar demi mendapatkan jawaban. Namun, tak ada satu pun yang mampu menjawabnya.

“Aku menyerah,” kata Tuan Putri kemudian, “apa jawabannya?”

Bujang Kocak lompat kegirangan. Dirinya langsung berkhayal menikah dengan Tuan Putri yang cantik jelita. “Aku akan menikahi sang putri! Aku akan menikahi sang putri!” teriaknya kepada orang-orang.

Tuan Putri menimpuk kepala Bujang Kocak dengan pasir pantai. “Apa jawabannya?” tanyanya penasaran.

“Jawabannya,” kata Bujang Kocak yang langsung berhenti melompat. “Jika di dalam air ikan bernapas dengan insang, berarti di darat ikan bernapas dengan susah payah!”

Tuan Putri dan dayang-dayang langsung tertawa bersama. “Ternyata kamu memang selucu itu, ya,” kata Tuan Putri kemudian. “Sebenarnya, aku datang ke sini memang sengaja untuk menemuimu. Dayang-dayangku sering bercerita tentang dirimu, tentang semua kelucuanmu. Dan, aku setuju, kamu memang selucu itu.”

“Jadi, apakah sekarang aku sudah resmi menjadi suamimu?” tanya Bujang Kocak dengan wajah penuh harap.

Tuan Putri kembali melempar pasir ke kepala Bujang Kocak. “Menikah tidak semudah main tebak-tebakan. Temui ayahku jika kamu benar-benar ingin menikahiku.”

Bujang Kocak mengangguk mantap.

Keesokan harinya, Bujang Kocak menemui sang Raja dan menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu ingin menikahi Tuan Putri.

Sang Raja menatap Bujang Kocak, dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan geleng-geleng melihat Bujang Kocak tidak mengenakan alas kaki.

“Ya, Tuan Putri telah menceritakan semuanya kepadaku,” kata Raja kemudian. “Namun, sebelum aku mengizinkanmu menikahi putriku, jawab dulu pertanyaanku: kalau bebek jadi gajah, lalu gajah jadi semut, lalu semut jadi kambing, lalu kambing jadi monyet, maka monyet jadi apa?”

Bujang Kocak tampak berpikir keras. Baru kali ini dia menemukan tebak-tebakan sesulit itu. Waktu demi waktu berlalu, Bujang Kocak belum juga menemukan jawabannya.

“Hamba menyerah, Paduka,” kata Bujang Kocak sambil membungkukkan badannya. “Beri tahu Hamba, monyet itu jadi apa?”

Sang Raja mengangguk-angguk sambil tersenyum puas. “Kalau bebek jadi gajah, lalu gajah jadi semut, lalu semut jadi kambing, lalu kambing jadi monyet, maka monyet jadi bingung.”

“Monyet jadi bingung?” tanya Bujang Kocak bingung.

Sang Raja tertawa terbahak-bahak. “Sudahlah. Karena tidak berhasil menjawab, kamu tidak boleh menikahi putriku.”

Bujang Kocak mengangguk setuju. Meskipun sedih karena tidak berhasil menikahi Tuan Putri, Bujang Kocak menerima keputusan tersebut. Dia pun pamit pulang.

Di jalan, Bujang Kocak kembali memikirkan tebak-tebakan Sang Raja. “Kalau bebek jadi gajah, lalu gajah jadi semut, lalu semut jadi kambing, lalu kambing jadi monyet, maka monyet jadi bingung?” tanya Bujang Kocak bingung. “Kenapa monyet jadi bingung?”

Setelah itu, seperti tersadar oleh jebakan yang ada di tebak-tebakan itu, Bujang Kocak tertawa keras sekali, tak pernah berhenti.

(*)

 

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar