Bukan Tank dan Tamiya yang Bil Inginkan

“Ciiit!” Bil meniru suara decit rem sepedanya lalu dengan sembarangan melempar sepeda yang tak memiliki standard itu ke halaman samping teras.

Ia layangkan pula kedua sepatu yang sudah bedah pinggirannya ke teras karena tak sabar untuk segera menengok sesuatu di kamarnya. Ini hari ulang tahun Bil yang kesembilan, Embu dan Eppak menjanjikan sebuah tank dan tamiya untuk bocah yang bercita-cita menjadi anggota militer sekaligus pembalap mobil itu. Bil tak sabar melajukan dua mainan barunya, lalu memodifikasi tampilan keduanya, agar sangar. Begitu katanya kepada Eppak jauh-jauh hari lalu.

Ceklek!

Suara pintu terbuka setelah kunci di bawah keset menusuk dan memutar lubang pintu utama rumah. Ia lekas menuju kamar tidurnya. Namun, air muka Bil seketika berubah ketika ia tidak melihat kotak kado, bingkisan, plastik, ataupun wujud tank dan tamiya langsung di kasurnya. Namun, Bil masih tak percaya. Embu dan Eppak tidak mungkin membohonginya. Ia pun membongkar seluruh laci dan lemari di kamar, mengintip kolong ranjang, balik lemari, semuanya, hingga kamarnya acak-acakan. Sementara tank dan tamiya tak pernah Bil temukan.

“Coba cari ke tempat lain, ah!”

Masih tidak percaya dengan ketiadaan tank dan tamiya, Bil nekat menggeledah seluruh ruangan dan setiap laci penyimpanan barang. Ia mulai dari selorokan, bufet, bawah meja, balik kursi busa, belakang tv, sampai memanjat kursi untuk melihat atas lemari. Namun tetap saja, tank dan tamiya yang ia mau tidak ada, pun kotak kado atau plastik bingkisan yang membungkusnya.

Argh! Cek susahnya cari! Edimmah Embu Eppak taro?” Anak laki-laki itu mengentak-ngentakkan kaki. Tangannya mencengkeram tepian celana pendek merah yang bolong sakunya.

Bil melihat pintu kamar Embu dan Eppak. Memang satu ruangan itu yang belum sempat Bil masuki. Ia celingukan mencari kunci serep. Sebab tak ia temukan, ia mencongkel lubang pintu dengan pisau dapur persis seperti waktu Eppak menyelamatkan almarhumah Embah yang kala itu terkunci di dalam kamar mandi.

Di dalam kamar Eppak dan Embu, Bil juga tidak melihat tank dan tamiya yang ia inginkan. Bil membalikkan bantal, mengibaskan selimut, mencari di kolong ranjang, ingin juga membuka lemari tapi ternyata dikunci.

“Embu bik Eppak bohong!”

Beberapa saat ia berada dalam kamar, Bil mendengar suara Eppak dan Embu pulang dari kebun ta’al. Eppak dan Embu Bil memang seorang petani ta’al, mereka menjual laang ataupun mengirimkannya jika ada pemesan dari luar kota.

“Astaghfirullahadzim, lahaulawalakuwataaillabillah Muhabil!” Musiri, Embu Bil terkejut melihat kondisi ruang tamu yang mawut bak kapal pecah.

Dengan wajah kisut, Bil keluar dari kamar mereka. Kakinya mengentak keras lantai.

“Embu bik Eppak bohong! Tidak ada tamiya bik tank buat Muhabil!”

Musiri dan Moali—Eppak Bil—saling tatap.

“Eppak akan buatkan sendiri untuk Muhabil, mayuh norak eppak!”

Usai mengganti seragamnya dengan kaus angka sepak bola kesukaannya, Bil mengikuti Moali. Sebetulnya ia sedikit penasaran dengan Eppak, tapi dengan perasaan yang masih kesal, Bil memilih diam dan menurut saja.

Sepuluh menit berjalan, Bil dan Moali sampai di tengah ladang ta’al.

Eppak bohong lagi! Ini ladang, dekremmah Eppak yang mau bikin tank dan tamiya buat Muhabil?”

“Kita bikin tamiya dan tank dari deun ta’al ini, Cong!”

“Alah, Eppak enggak asik! Bil maunya tamiya sebisa ajhelen!”

“Lihatlah dulu. Teman-teman kau bakal kepingin setelah lihat tamiya dan tank din been riyah.

Bil melihat Moali dengan cekatan menganyam daun ta’al menjadi badan tank dan juga moncong mobil tamiya. Ketika matahari mulai bergeser sedikit ke barat, satu tank dan satu tamiya itu jadi. Namun, Muhabil tetap tidak senang. Yang ia inginkan tetap tamia dan tank seperti milik teman-temannya, bukan tank dan tamiya dari daun ta’al.

Di perjalanan pulang, Bil memerhatikan baik-baik daun ta’al yang telah disulap jadi tank dan tamiya itu. Sepanjang melewati ladang ta’al, ada sesuatu jatuh dari pohon ta’al menimpa tank dan tamiyanya. Sesuatu itu bulat dan melingkar.

“Ulat, Eppak!”

Spontan Bil melempar tank daun ta’al ke genangan air. Sudah lama Bil takut pada ulat bulu, ia trauma dengan ulat bulu kala ada serangan ulat bulu di kampungnya beberapa tahun silam. Maka sampai kini ia takut pada ulat bulu, padahal tidak dengan binatang melata lainnya.

“Bil tidak mau mengambilnya. Bil mau tank baru deri toko mainan pokoknya!” Bil berlari mendahului Eppak. Moali memanggilnya dengan keras, tapi Bil tidak mau menoleh. Moali tahu, Bil masih sangat kesal. Mungkin nanti, ia akan membujuk anak lelakinya itu lagi untuk bikin tank baru dari daun ta’al. Agar lebih hemat dan juga mengajarkan Bil supaya tidak terlalu konsumtif.

Di dekat gapura kampungnya, segerombol teman-teman Bil meneriakinya.

“Bil, ayo petengan, Bil!”

Bil tak menghiraukan teman-temannya dan terus berlari. Ia masih kesal dengan Eppak sehingga suasana hatinya masih tidak baik untuk menerima tawaran main teman-temannya.

“Habil kenapa?” tanya salah satu anak.

“Enggak tahu, dekremmah kalau kita kejar saja?”

“Ayo!” jawab mereka serempak. Anak-anak itu berlari mengejar Bil. Mereka pun menemukan Bil yang tengah duduk di poskamling sambil menekuk lutut dan melipat tangan di atasnya. Mereka beramai-ramai mengerumuni Bil dan bertanya apa yang terjadi. Namun Bil tidak mau menjawab.

“Wih, apa ini?”

“Ini deun ta’al! Bentuknya tamiya nih!”

Cek apiknya ya. Pinjam dong!”

“Eh, enak aja, njek!” Satu anak berusaha mempertahankan tamiya yang dipegangnya.

“Sebentar saja!”

“Nanti dulu!”

“Pinjam sebentar!”

Eh, nanti dululah! Sabbher!”

Teman-teman Bil berebut tamiya dari daun ta’al itu, mereka masih penasaran dengan awak tamiya yang lentur tetapi tak mudah meleyot saat dipegang-pegang. Bil memerhatikan teman-teman, dan mengkhawatirkan kondisi tamiyanya yang bisa saja gepeng karena jadi bahan keroyokan. Bil spontan berteriak, “Kembalikan tamiya itu!”

Anak-anak itu menengok ke arah Bil dan menatap mata Bil yang memerah (*)

“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar