Bunga-Bunga Kesayangan yang Layu

Musim kemarau kali ini lama sekali. Hujan belum juga membasahi tanah-tanah bumi yang mulai mengering. Begitu juga dengan bunga kesayangan di halaman rumah Rini. Terik matahari membuat tanaman-tanaman itu banyak yang layu. Rini sangat sedih sekali karena bunga cantiknya mulai layu dan tidak segar lagi.

Rini harus berbuat sesuatu agar bunganya tidak mati. Setiap hari sebelum berangkat sekolah, Rini menyirami tanaman kesayangannya di depan toko ibunya. Bunga, batang, daun, akar dan tanahnya basah semua. Rini pun berangkat ke sekolah. Ibu mengantar Rini sebelum membuka tokonya

Setelah pulang sekolah, di sore hari, Rini juga menyirami bunganya itu. Hasilnya, baru seminggu, bunganya tidak layu lagi. Betapa senangnya Rini! Ia menjadi bersemangat melakukannya .

Namun, saat ia sedang menyirami tanamannya itu di sore hari, ia melihat bayangan lewat di jendela rumah kosong depan rumahnya. Rumah itu sudah lama tidak ditinggali. Rumput di depan rumah itu tinggi. Lantai dan jendela kotor.

Seseorang keluar dari rumah itu. Seorang bapak dengan tatapan seperti harimau yang ingin menerkam Rini. Rini kembali menyirami tanaman dengan perasaan takut. Bapak itu membawa alat berbentuk bulan sabit kemudian memangkas rumput-rumput yang tinggi. Suara tebasannya membuat Rini merinding. Bapak itu seperti sedang marah. Belum selesai menyiram, ia langsung masuk ke rumahnya. Ia tidak berani berlama-lama berada di depan rumahnya, apalagi kalau pria itu melihatnya dari jauh.

Rini tahu dari ibunya bahwa Om itu yang akan tinggal di rumah kosong. Sore itu, ibu meminta Rini menjaga toko sebentar karena ibunya harus ke kamar mandi. Awalnya Rini tidak mau. Namun, ibu tidak ada yang membantu.

Rini harus sembunyi di dalam toko agar tidak terlihat oleh Om di depan rumahnya. Rini duduk di balik etalase toko agar tidak terlihat Om itu. Rumah Om itu dan toko Rini memang hanya dibatasi jalan kecil. Rini bisa tahu apa yang dilakukan Om itu saat Om itu berada di depan rumah. Om itu menyapu rumput-rumput yang sudah dipotong. Seekor kucing datang mendekati kakinya. Tak lama, Om itu datang ke toko.

“Dik, ada roti?” tanya Om dengan suara seperti ingin memarahi Rini. Ia tahu Rini sedang sembunyi. Anak perempuan yang ketakutan itu masih tetap sembunyi. Ia bahkan tak ingin keluar.

“Dik, Om mau beli roti. Ini berapa?” tanya Om lagi. “Oh, ini ada harganya.”

Rini masih sembunyi. Ia tak mau keluar.

“Kalau begitu, ini uangnya. Om bawa dulu rotinya.”

Rini mengintip. Om itu sudah kembali ke rumah dengan rotinya. Ia melihat uang 5.000 yang diletakkan di atas tempat roti.

“Harusnya kembali 2.000. Duh, bagaimana mengembalikannya, ya?” Rini bingung. Ia tak berani kalau harus antar uang kembaliannya ke rumah Om itu. Akhirnya, ia menyimpan uang itu di kotak uang.

Besok paginya, sebelum Rini akan menyiram bunganya, ia mengintip dulu dari balik jendela ruang tamu. Ia memastikan bahwa Om yang menakutkan Rini itu tidak keluar dari rumah. Setelah Rini tidak melihat Om itu, dengan secepat mungkin, Rini menyiram bunga yang berwarna merah bercampur pink itu. Ia pun selesai. Ia lega karena ia tidak bertemu dengan Om menakutkan itu.

Begitu juga saat ia menyiram bunga di sore hari, ia mengintip dulu dari balik jendela. Jika Om itu masih ada di luar rumah, maka Rini menunggunya sampai ia masuk rumah lagi. Setelah Om itu masuk rumah, maka Rini segera menyiram bunga-bunganya.

Pernah juga saat Rini akan berangkat ke sekolah, Om itu sedang asyik duduk di teras rumahnya. Rini menunggu Om itu cukup lama. Sampai-sampai ibu Rini mengomelinya.

“Rini. Ayo, cepat berangkat. Nanti terlambat,” desak ibu pada Rini yang masih mengintip lewat jendela.

“Tapi, Bu. Rini… takut sama Om itu. Jadinya Rini belum menyiram tanaman di depan,” balas Rini dengan setengah khawatir.

“Rini tidak perlu takut. Om Tejo tidak akan aneh-aneh. Sudah, tanamannya biar ibu saja yang siram. Kamu segera berangkat ke sekolah,” bujuk ibu lagi.

Rini pun menuruti perkataan ibu. Rini pun berangkat ke sekolah dengan wajah menunduk. Om Tejo melihat Rini tanpa senyum. Rini melirik sedikit. Mata Om Tejo sedikit melotot menatap Rini. Rini menahan nafas karena takut. Ia pun segera mempercepat langkahnya.

Besoknya, ternyata Rini sakit. Ia tidak masuk ke sekolah. Ia juga tidak bisa menyiram bunga-bunganya. Sudah tiga hari, Rini sakit demam. Ibunya mengajak Rini ke dokter. Ketika Rini berjalan keluar rumah, ia melihat bunga-bunganya.

“Bunga-bungaku layu,” ucap Rini dengan wajah setengah kecewa dan bersedih. Ibu Rini memang sangat sibuk. Ia harus menjaga Rini sekaligus mengurus rumah sehingga tidak ada waktu untuk menyiram tanaman.

“Rini, nanti kalau Rini sudah sembuh, bunganya disiram lagi. Nanti bunganya tidak layu lagi,” hibur ibu. Mereka pun pergi ke dokter.

Ketika diperiksa oleh dokter di rumah sakit, Rini harus dirawat di rumah sakit karena terkena demam berdarah. Rini semakin sedih bukan karena sakitnya, melainkan karena tidak bisa menyiram bunganya.

“Bu, bunga-bungaku bagaimana? Kasihan kalau tidak disiram nanti mati,” kata Rini dengan badan lemas dan gemetar. Ia berbaring di tempat tidur di kamar rumah sakit.

“Rini tidak perlu memikirkan bunganya. Yang penting Rini sembuh dulu,” kata ibu menenangkan Rini. Rini pun tidak bertanya lagi. Kemudian, ia melanjutkan tidur.

Esoknya, seseorang datang menjenguk Rini. Betapa kagetnya Rini karena Om yang membuatnya takut itu datang menjenguknya. Tatapannya tetap sama, tapi ia terkesan lebih sama.

“Rini, semoga cepat sembuh. Jangan pikirkan bunganya Rini. Bunga Rini baik-baik saja,” hibur Om Tejo.

“Iya, Om. Terimakasih,” kata Rini mencoba menghilangkan rasa takutnya.

“Rini jangan takut sama, Om,” sambung Om Tejo seolah paham yang ditakutkan Rini, “Wajah, Om, memang begini.” Om Tejo tertawa.

Rini hanya tersenyum. Rini memerhatikan raut Om yang memang sedikit menyeramkan. Tetapi, ia terlihat lebih ramah sekarang.

“Om melihat Rini jadi teringat dengan anak Om. Dia ada di desa tinggal bersama mbahnya. Ibunya sudah meninggal,” cerita Om Tejo pada Rini.

Rini pun merasa lega karena dugaan Rini. Om Tejo tidak semenyeramkan seperti yang ia kira. Om Tejo pun berpamitan pulang. Ia sangat berterimakasih pada Om Tejo yang sudah datang menjenguk.

Tiga hari kemudian, Rini sudah sembuh. Ia diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter. Betapa senangnya Rini. Ia tak sabar untuk melihat bunganya lagi.

Ketika melewati rumah Om Tejo, ia tidak melihat Om Tejo duduk di terasnya seperti biasa. Rini pun tidak sabar ingin melihat bunganya. Apakah bunganya layu atau benar-benar sudah mati?

Betapa kagetnya Rini. Ternyata bunganya tumbuh subur. Tidak layu dan tidak mati. Tanahnya pun terlihat basah. Ia pun bertanya-tanya siapakah yang menyirami tanaman bunganya? Sepertinya ibu terlalu sibuk untuk menyiram bunga, apalagi ibu sering bolak-balik rumah sakit dan rumah. “Bu, apa ibu yang menyiram bunganya?” tanya Rini pada ibu.

“Tidak,” jawab ibu sambil menggeleng dengan wajah penuh teka-teki.

“Terus siapa, Bu? Bunganya tidak layu lagi,” kata Rini.

Ibu menggeleng dan mengatakan tidak tahu. Rini merasa aneh.

“Ah, ini pasti Om Tejo,” batin Rini.

Esok paginya, sebelum berangkat ke sekolah, ia pun diam-diam mengintip dari balik jendela untuk melihat siapa tahu ada yang menyirami tanamannya.

Ia pun melihat seseorang sedang menyiram tanaman di depan toko kecilnya yang belum buka. Om Tejo membawa ember kecil dan gayung. Ia sedang menyiram bunga-bunga Rini.

“Oh. Om Tejo,” sapa Rini.

Om Tejo kaget dan berhenti menyiram bunga, “Loh, Rini sudah sembuh. Sudah boleh pulang sama Pak Dokter?”

“Iya, Om. Jadi Om Tejo yang menyiram bunga Rini selama Rini di rumah sakit?” tanya Rini penasaran.

“Iya, Rini. Om yang menyiram bunga Rini. Kasihan bunganya layu,” kata Om Tejo jujur.

“Wah, terima kasih sekali, Om, sudah membantu menyirami bunga kesayangan Rini,” kata Rini.

“Iya, sama-sama, Rini,” kata Om Tejo kemudian menyelesaikan menyiram tanaman Rini.

Rini sangat senang sekali. Kebaikan Om Tejo membuat Rini tidak takut lagi padanya.

Rini kembali masuk rumah. Tak lama, ia keluar lagi.

“Oiya, Om. Ini uang kembalian Om saat beli roti waktu itu. Maaf saya baru mengembalikan sekarang.” Rini memberikan uang 2.000 rupiah.

Om Tejo malah tertawa kemudian menerima uang kembalian itu. “Terima kasih, Rini,” ujar Om Tejo. Rini juga ikut tertawa.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar