Festival bunga dan buah di kota Dika, tepatnya kota Brastagi, Karo, tinggal sebulan lagi. Festival ini diadakan sekali setahun sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Tanah yang subur, bunga, buah, dan sayur yang melimpah adalah sebuah anugerah. Biasanya, festival bunga dan buah akan diwarnai dengan acara pawai yang seru. Semua orang akan memakai kostum yang terbuat dari bunga atau buah. Dika sangat senang sekali. Ia akan memimpin barisan dalam pawai nanti.
“Dika, tolong persiapkan bunga-bunga kamu, karena kamulah yang akan menjadi perwakilan sekolah kita,” ujar Ibu guru.
“Siap Bu Guru!” jawab Dika bersemangat.
Di rumah, ternyata Dika sudah lama menanam berbagai jenis bunga di halaman rumahnya. Ia dibantu oleh ibunya untuk menanam bunga-bunga khas Brastagi seperti bunga krisan, mawar, anggrek, melati, dan banyak lagi. Bunga-bunga itu sangat indah jika dipadu-padankan menjadi sebuah kostum nantinya. Salah satu jenis bunga yang menjadi andalan Dika adalah bunga krisan. Ia memiliki beragam jenis warna. Setiap hari Dika merawat bunga tersebut dengan menyiram dan memberi pupuk.
“Ibu, lihatlah! Bunga krisanku sudah mau mekar!” Dika memanggil ibunya dengan girang. Ibu Dika segera keluar rumah dan menyaksikan bunga yang sedang mekar.
“Indah sekali, kan, Bu?” tanya Dika. Matanya tak terlepas dari bunga yang hendak mekar tersebut.
“Wah, warnanya sangat merah merona seperti pipi kamu, Dika,” goda Ibu kepada Dika.
“Ibu bisa saja,” Dika tertawa malu,”lihat! Yang warna ungu dan putih juga sudah mau mekar.”
“Betul-betul indah. Oh,ya, bunga ini yang akan kamu jadikan kostum nanti, kan?” tanya Ibu.
“Betul, Bu, nanti akan dipadukan dengan bunga sedap malam, bunga lili, bunga krisan, dan anggrek ungu juga, loh,” jelas Dika.
“Hebat! Anak ibu sudah hapal banyak jenis bunga!” Ibu mengacungkan jempolnya. Dika nyengir campur malu. Memang, selama ini dia banyak belajar jenis-jenis bunga yang banyak tumbuh di kotanya. Ia sangat bangga karena tanah yang subur dan gembur serta tanaman indah hanya ada di kota tercintanya.
“Tapi, lihatlah langit mendung, masukkan saja bunga itu ke rumah supaya tidak dirusak air hujan,” saran Ibu.
“Bukankah bagus jika mendapatkan air hujan, Bu?” tanya Dika balik.
“Tapi ibu sedikit khawatir,” ungkap Ibu,”menurut kamu bagaimana?”
“Hmm, bungaku pasti kuat,” ujar Dika mantap.
“Ya sudah, kalau begitu masuklah ke rumah, sudah gerimis,” ajak Ibu.
Semilir angin membawa harum bunga-bunga. Aroma bunga selalu memenuhi isi rumah. Rintik-rintik hujan kini membasahi seluruh pekarangan Dika. Hujan semakin deras. Petir menyambar-nyambar pepohonan yang tinggi. Ada suara benda berjatuhan yang menghujani atap rumah Dika. Astaga! Itu adalah hujan es!
“Dika, bangun Dika! Ada hujan es!” kata Ibu sambil mengguncang badan Dika yang tengah tidur. Sontak Dika bangun karena terkejut dengan suara hantaman hujan es yang lebat. Tak heran lagi, memang daerah tempat tinggal Dika sering dihujani es, setidaknya beberapa kali dalam setahun. Apalagi, ini memang musim hujan.
“Bagaimana bungaku, Bu?” tanya Dika gusar. Ia mulai khawatir dengan bunga-bunga yang ditanam di potnya.
“Ibu belum memeriksanya karena takut terkena hujan es, mari kita lihat jika hujan sudah reda,” jawab Ibu.
“Tapi, Dika takut bunganya rusak, Bu,” Dika mulai meneteskan air matanya.
“Tenanglah, mudah-mudahan bunganya kuat,” hibur Ibu.
Satu jam sudah berlalu, hujan es sudah berhenti. Dika berlari kencang ke arah halaman rumahnya. Ibu menyusul Dika dari belakang. Baru saja membuka pintu, Dika terkulai lemas. Bunga-bunga yang ia tanam semuanya tumbang dihantam hujan es. Bunga yang hendak mekar hancur oleh air hingga ke akar-akarnya.
“Oh tidak … bungaku ….,” air mata Dika jatuh dipipinya.
“Sabar ya, Dika. Mari kita tanam lagi bunga-bunga yang masih utuh.” ajak Ibu sambil memeluk Dika dengan lembut. Ibu terus memberikan semangat kepada Dika.
Hari-hari berlalu, bunga tersebut kembali tumbuh. Sepulang sekolah, Dika selalu memeriksa perkembangan bunga-bunga itu. Ia menghitung setiap bunga yang mekar. Air dan pupuk selalu diberikan. Hingga pada suatu sore …
“Ibuuuu…,”
Ibu mendengar suara Dika dari halaman rumah. Dika menunjuk ke salah satu bunga krisan berwarna kuning. Di atasnya ada seekor ulat.
“Apa yang harus kita lakukan, Bu? Bunganya dimakani oleh ulat-ulat ini?” tanya Dika sambil menangis. Oh astaga! Ulat-ulat menyerang bunga krisan Dika. Ulat-ulat itu memakan habis bunga-bunga.
“Tenang, Dika, kita bisa usir ulat-ulat ini dengan air garam,” kata Ibu. Segera Dika membantu ibu membuat larutan air garam. Ia menyemprotkan larutan garam tersebut ke semua bunga-bunga. Dalam hitungan detik, ulat-ulat berjatuhan. Dika akhirnya lega. Lagi dan lagi ia menunggu bunganya mekar kembali. Ia memotong dahan-dahan yang sudah dirusak oleh ulat. Ternyata, menanam bunga tidak semudah yang ia bayangkan. Festival sudah semakin dekat. Ia berharap tak ada lagi masalah yang akan terjadi. Kali ini, Dika lebih memperhatikan bunga-bunganya. Dika asyik membuat desain kostumnya sendiri. Nantinya, bunga-bunga krisan yang sudah mekar tersebut akan disusun pada kostumnya. Menjelang hari festival, bunga-bunga Dika mekar bersamaan. Ah, senangnya hati Dika.
Malam sebelum festival Dika dibantu ibunya sibuk menyusun bunga pada kostumnya. Tak lupa, sebuah mahkota bunga dirangkai indah menyesuaikan ukuran Dika.
“Dika bersyukur, Bu, akhirnya berhasil menanam bunga-bunga ini untuk dipakai festival,” ujar Dika.
“Itu semua berkat usaha dan kerja keras Dika,” ucap Ibu bangga.
Hari itu diakhiri dengan penampilan Dika pada pawai festival bunga dan buah. Kostum yang sangat unik dan menarik, dihiasi dengan bunga krisan warna-warni. Dengan semangat, Dika berjalan memimpin barisan pawai untuk mewakili sekolahnya.
“Cerpen Ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”