Kukuruyuuuukkk!
“Uh, berisik sekali!” Sakti mengumpat. Matanya mengerjap. Hari masih terlalu pagi, namun ayam jantan berbulu hitam itu terus berkokok, seolah ingin membangunkan seisi kampung. Sakti berbaring dengan punggung membelakangi jendela. Di luar, bayangan makhluk itu tampak gagah menantang. Sebentar-sebentar Sakti membetulkan letak bantal yang menutupi kedua telinganya. Uh! Sakti tidak bisa tidur lagi.
Kenapa sih, Kakek memberinya ayam cemani? Sakti ‘kan ingin ayam warna-warni seperti teman-temannya. Mereka lucu-lucu. Tidak seperti ayam cemani yang hitam legam. Dari bulu, kaki, jengger, mata, paruh, bahkan lidahnya pun berwarna hitam. Menakutkan. Sakti selalu menyembunyikan ayamnya agar teman-teman tidak tahu.
“Ayo, kita lihat ayam-ayamku!” ajak Daus. “Itu disana, mereka lucu-lucu kan?” jemari Daus menunjuk sekumpulan anak ayam dengan warna-warna mencolok. Jingga, kuning, biru, hijau, pink. Mereka tampak asyik mengerubungi mangkuk pakan stainless berisi campuran dedak dan nasi.
“Ya, mereka memang lucu dan imut,” batin Sakti sambil menunduk, kecewa.
“Oh, tidak!” tiba-tiba Daus berseru. Diantara kerumunan ayam warna-warni itu, dua diantaranya tergeletak. Mereka tampak lemas dan tertidur. Bukan, mereka mati. Ya, mati.
“Ini ayam ketiga dan keempat. Wah, kalau begini terus, bisa-bisa ayamku habis,” keluh Daus. Dia memungut dua anak ayam berwarna biru dan kuning. Bulu-bulunya tampak kusam dan berantakan.
“Kenapa mereka mati?” tanya Sakti.
“Entahlah, padahal setiap hari aku rajin memberi makan dan minum. Tidak pernah terlambat sekalipun,” jawab Daus. Setelah membeli di pasar, beberapa ayam warna-warninya tampak lesu, tidak mau makan dan minum. Dan dalam hitungan hari, ayam-ayam itu mati.
“Sepertinya mereka lemah sekali,” lanjut Daus.
Sakti tampak ikut prihatin. Dia teringat cemani. Selama ini cemani tampak sehat. Aktif bergerak kesana-kemari. Bahkan terkadang merepotkan. Sakti harus membersihkan kotorannya yang tersebar di luar kandang.
“Bagaimana kalau kita tanya Mbah Ranu?” usul Sakti, “Barangkali Simbah tahu jawabannya.”
Daus sepakat. Mereka pun bergegas menuju rumah Mbah Ranu.
Rumah joglo sederhana di pinggir sawah itu tampak bersih dan asri. Beberapa pohon mangga yang ada menjadikan halamannya sangat teduh. Meski tinggal sendirian, Mbah Ranu rajin menjaga kebersihan rumahnya. Istri Mbah Ranu meninggal beberapa tahun yang lalu. Ketiga anaknya telah menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing di pusat kota. Seminggu sekali mereka berkunjung, bergantian. Sakti dan teman-temannyalah yang setiap hari datang menemani Mbah Ranu. Simbah sangat suka mendongeng, juga pandai beternak. Di belakang rumah, berderet kandang ayam, bebek, dan itik. Mbah Ranu menjual telur-telur mereka, terkadang dagingnya juga.
“Assalamualaikum!”
Tanpa menunggu jawaban, Sakti dan Daus berlari melewati halaman samping. Simbah pasti sedang memberi makan hewan peliharaannya.
“Wa’alaikumsalam, eh, kenapa kalian lari-lari seperti itu? Lihat, ayam-ayam Simbah jadi kabur,” protes Mbah Ranu. Beberapa ayam memang tampak kaget dan langsung lari tunggang-langgang.
“Ayam Daus mati lagi, Mbah. Dua sekaligus. Kenapa ya, Mbah?” Sakti bertanya dengan tidak sabar.
“Begitulah. Ayam warna-warni memang ringkih. Kalau tidak pandai merawatnya, mereka tidak akan bertahan sampai dewasa.” Mbah Ranu tahu, anak-anak itu sedang demam memelihara ayam.
“Kenapa bisa begitu?” kali ini Daus menanggapi.
“Warna-warni bulu ayam itu bukan warna aslinya, melainkan hasil pewarnaan. Anak-anak ayam sengaja diwarnai untuk menarik perhatian pembeli, khususnya anak-anak seperti kalian, tampilannya ‘kan lucu,” kata Mbah Ranu.
“Memangnya pewarna apa yang digunakan, Mbah?” tanya Sakti.
Mbah Ranu menjelaskan kalau para penjual menggunakan pewarna makanan dan pakaian. Namun, pewarna pakaian lebih banyak digunakan karena warnanya lebih tahan lama. Kandungan zat kimia pada pewarna ini bisa meracuni anak ayam. Zat akan masuk ke tubuh melalui pori-pori, lalu mereka menjadi lemas dan mati.
Bagian paling menyedihkan ada pada proses pewarnaannya. Anak ayam akan dipisahkan ke dalam wadah yang berbeda-beda berdasarkan warna yang akan diberikan. Kemudian, mereka akan diberi pewarna dengan cara diaduk-aduk. Kadang ada juga yang melempar-lempar ringan anak ayam dari satu telapak tangan ke tangan lain agar pewarna melekat rata pada bulu. Hal ini membuat anak ayam, yang seharusnya dipegang dengan hati-hati, menjadi terguncang. Racun pun bisa masuk melalui mata.
Proses selanjutnya adalah pengeringan. Anak-anak ayam akan diletakkan di bawah terik matahari. Setelah kering, mereka pun diperdagangkan di pasar-pasar.
“Ya, Tuhan,” desah Sakti dan Daus hampir bersamaan.
“Kasihan sekali mereka, Mbah,” kata Sakti.
“Makanya, ayam warna-warni membutuhkan perawatan khusus. Berbeda dengan ayam lokal,” kata Mbah Ranu sembari menunjuk beberapa ayam dalam kandang. Sakti terperanjat. Di dalam salah satu kandang, dia melihat ayam berbulu hitam legam, persis seperti ayamnya di rumah.
“Ini ayam simbah yang paling mahal. Namanya ayam cemani. Warna hitam yang ada di seluruh tubuhnya ini alami.” Mbah Ranu mengeluarkan seekor ayam cemani dari kandang. Tangan kirinya memeluk ayam jantan yang gagah itu, sementara tangan kanannya membelai-belai bulunya yang legam. Simbah menambahkan, jika ayam cemani memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik dibandingkan ayam warna-warni. Harga ayam cemani pun menjadi sangat mahal karena jumlahnya yang tidak terlalu banyak di dunia, termasuk di Indonesia.
“Memang berapa harganya, Mbah?” Sakti penasaran.
“Cemani dewasa berharga sekitar 2 juta, bahkan lebih.”
“Hah?” Sakti terperanjat.
Wah, dia tidak menyangka ayam cemani bisa semahal itu. Pantas saja kalau Kakek mengatakan jika ayam pemberiannya sangat istimewa. Ah, Sakti jadi tidak sabar ingin pulang dan memeluk ayamnya. Besok, dia akan menunjukkannya kepada teman-teman. Sakti tidak malu lagi. Dia bangga.
*******
Referensi:
- https://lifepal.co.id/media/alasan-harga-ayam-cemani-mahal/
- https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6550916/kenapa-anak-ayam-warna-warni-cepat-mati.
- https://www.kompasiana.com/elafanuristiya5077/6391ee4520058201b067ca66/budidaya-ayam-warna-warni-lumajang.
Sumber gambar: