Sudah dua bulan Bi Tumtum bekerja di istana Kalameon. Dia menggantikan Bi Zisam yang pensiun. Banyak pelayan istana menginginkan pekerjaan tersebut. Akan tetap, ratu memilih Bi Tumtum karena masakannya pas dengan selera raja.
Inilah yang membuat iri pelayan lain. Jenah salah satunya. Dia juga pandai memasak. Tapi keluarga istana lebih cocok jika Bi Tumtum yang masak. Jenah pun kesal. Dia jadi memengaruhi pelayan-pelayan lain agar membenci Bi Tumtum.
“Ssstt! Dari awal bekerja, Bi Tumtum selalu memakai centong sayur tersebut. Dia tidak mau pakai centong lain,” bisiknya kepada pelayan cuci piring
“Memangnya kenapa?” pelayan tersebut jadi penasaran.
“Itu centong ajaib! Makanya baginda raja suka masakannya.”
“Oh begitu.” Pelayan tersebut mulai terpengaruh.
Jenah terus menerus memfitnah Bi Tumtum. Akhirnya, cerita mengenai centong ajaib berkembang pesat. Pelayan yang bertugas di dapur istana jadi membenci Bi Tumtum.
***
Pagi ini, Bi Tumtum bangun lebih awal. Dia menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Tiba-tiba dahinya berkerut. “Ke mana centong sayurku?”
Dia mencarinya kesana kemari. Centongnya tetap tidak ditemukan. Akhirnya Bi Tumtum memakai centong lain. Lalu, apa yang terjadi? Masakannya tidak habis. Sup biji ketapang masih ada semangkuk besar
“Terbuktikan! Si Tumtum tidak bisa bekerja tanpa benda itu,” kata Jenah.
Keesokan hari, Bi Tumtum masak seperti biasa. Untuk kedua kalinya makanan yang disajikan juga tersisa banyak. Ayam tuptup cabe hijau yang merupakan menu favorit raja dan keluarganya masih tersisa banyak.
Para pelayan semakin yakin dengan kekuatan centong itu. Bi Tumtum tidak bisa apa-apa. Tanpa centongnya masakan Bi Tumtum tidaklah enak.
Namun, mereka tidak tahu. Bahwa dua hari ini, kesehatan Bi Tumtum memburuk. Tidak ada yang peduli kepadanya. Mereka terlalu sibuk. Lagi pula, mereka sudah benci dengan perempuan umur lima puluh tahunan itu.
Bi Tumtum izin libur. Tangannya sakit sekali. Kepala pelayan menyuruhnya beristirahat sampai sembuh. Bi Tumtum memilih pulang ke desanya. Jenah kemudian ditunjuk untuk menggantikan Bi Tumtum sementara waktu.
Jenah bangga sekali. Inilah waktunya untuk membuktikan kepada istana bahwa dia juga pintar memasak. Apalagi centong sayur kepunyaan Bi Tumtum sudah ada ditangannya.
“Begitu pulang ke istana, raja tidak akan menyuruhnya masak lagi,” Jenah tersenyum-senyum penuh kemenangan.
Plungg…plungg…
Jenah memasukkan telur puyuh ke dalam panci mendidih. Dia terkena percikan air panas. Tangannya melepuh. Jenah menggerutu.
Jenah berjalan seraya menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Ia tidak menyadari ada genangan air di depannya. Syiutt! Jenah terpeleset ketika hendak mengambil wajan.
“Kain pelnya terlalu basah!” Jenah memarahi tukang pel yang masih baru. Rasa kesalnya makin menjadi. Tangannya perih dan pinggangnya sakit karena terpeleset.
Jenah kemudian mengaduk sup telur puyuh dengan centong kepunyaan Bi Tumtum. Sesaat kemudian dia tersenyum. “Raja dan keluarganya pasti suka,” gumamnya.
Akan tetapi, setelah dihidangkan, masakan itu tidak habis. “Apa yang salah? Aku sudah memakai centong ajaib ini,” Jenah jadi heran.
“Rasanya asin!” ujar pelayan baginda ratu. Jenah mencicipi masakannya. Raut wajahnya memucat. Ia takut dimarahi raja. Masakannya memang asin sekali.
Begitulah Jenah. Selama tiga hari ditinggal Bi Tumtum pulang kampung, masakannya tak ada yang pas dengan selera raja. Nasinya lembek, ayam bakarnya gosong, ikannya kurang matang, terakhir bubur kacang merah yang diminta rasanya kurang manis.
Sekarang, Bi Tumtum sudah sehat. Dia sudah bisa memasak lagi. Tentu saja, raja dan keluarganya senang. Hari pertama bekerja, masakan yang dibuat Bi Tumtum habis tanpa sisa. Perempuan itu lega sekali. Dia membersihkan dapur sembari bernyanyi-nyanyi kecil.
Sementara itu, Jenah sakit perut. Dia bolak-balik ke kamar mandi. Bi Tumtum segera menemuinya. Dia membuatkan teh hangat kemudian membalurkan minyak kelapa yang sudah dicampur ramuan-ramuan.
Hati Jenah jadi tersentuh. Dia merasa tidak enak dengan kebaikan Bi Tumtum. Jenah menunduk malu. Dia mengembalikan centong kayu yang telah diambilnya.
“Itu centong biasa! Tadi aku masak tidak pakai centong itu. Baginda tetap suka masakanku,” jelas Bi Tumtum.
“Kenapa kemarin mereka tidak menghabiskan masakanmu?”
“Raja dan pangeran sedang puasa. Jadi hanya ratu dan tuan putri saja yang makan. Sehingga Makanan tersisa banyak. Aku juga sakit. Mulutku pahit sekali. Aku tidak bisa merasakan pas atau tidak menu yang kubuat. Bukan, karena centong ini!” jelas Bi Tumtum.
Jenah menunduk. Dengan berani ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Tentu saja, Bi Tumtum memaafkannya. Akhirnya, cerita tentang centong ajaib pun lambat laun menghilang. Lagi pula, Bi Tumtum juga tidak memakai centong itu lagi.
Terbit di Lampung Post Mei 2015