Cita-cita dari Sebuah Nama

Braaak!

“Astaghfirullah. Bikin kaget aja,” ucap Hanin. Tangan kanannya pun spontan mengusap-usap dadanya. Gadis kecil berusia sebelas tahun itu terkejut mendengar sang adik menutup pintu dengan kasar. Kamu kenapa?” tanyanya setelah adik satu-satunya itu duduk di sebelah kirinya.

Akan tetapi, anak laki-laki berkulit gelap itu hanya diam. Wajahnya menunduk dengan bibir mengerucut dan kedua tangan disilangkan di depan dada.

“Dek,” panggil Hanin.

Namun, tiba-tiba bocah kelas I SD itu malah menangis.

Hanin menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. “Yah … kok, malah nangis,” gumamnya, “mana bapak dan ibu lagi enggak ada di rumah.” Gadis kecil berambut lurus itu pun membiarkan sang adik, Habibie, menangis hingga mereda dengan sendirinya.

“Kenapa, teman-teman suka ngeledekin aku, Kak?” tanyanya setelah mengusap air mata di kedua pipi. Habibie pun bercerita jika kulit gelapnya seringkali dijadikan candaan. “Kakak suka diledekin juga, enggak?” tanyanya.

“Sama, Dek,” jawab Hanin. Ia pun meletakkan pensil warnanya di atas buku gambarnya, lalu bersandar pada sofa. Kemudian mulai menceritakan kejadian tak menyenangkan karena kulit gelapnya.

Habibie menyimaknya dengan serius. Sekali-sekali wajahnya tampak cemberut. Namun, keduanya pun seringkali tertawa bersama. “Oh, gitu, ya, Kak?” Habibie mengangguk-angguk.

“Iya, Dek. Kata ibu, pasti ada maksud baik di setiap penciptaan Allah.” Hanin melanjutkan mewarnai. “Setelah itu, kakak enggak pernah lagi bersedih kalau ada yang ngeledekin. Jadi, ibu minta kakak untuk mencetak prestasi aja. Apalagi ada doa yang baik dari bapak dan ibu melalui nama kita.”

“Oh, ya?” Mata Habibie membelalak.

“Iya. Bapak dan ibu ingin kakak bisa jadi anak yang kuat seperti putri Rasulullah dan penuh kasih sayang. Makanya, dikasih nama Fatimah Hanin—.”

“Trus, apa doa di namaku, Kak?” potong Habibie sambil tersenyum lebar.

Hanin mengetukkan pensilnya di meja. Kedua matanya melihat pada langit-langit ruangan tersebut. “Kayaknya ibu pernah cerita juga ke kamu.” Hanin menoleh pada sang adik.

Namun, Habibie menggeleng dan mengangkat kedua bahunya.

Hanin mengambil napas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan. “Bapak dan ibu ingin kamu bisa punya akhlak seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, Dek. Selain itu, cerdas dan pantang menyerah meraih cita-cita seperti Bapak B. J. Habibie.

“Oh, gitu.” Habibie mengangguk-angguk. “Jadi keingetan kisah Rasulullah yang enggak pernah marah kalau dihina dan caci maki. Kenapa bisa gitu, ya, Kak?”

“Nah, betul. Kalau enggak salah, sih, Rasulullah enggak akan marah kalau hinaannya bukan tentang agama,” jawab Hanin sambil bersandar pada sofa.

“Keren banget, ya, Kak. Semoga aku bisa kayak gitu,” ucap Habibie dan diaminkan oleh Hanin. “Tapi, siapa pak B. J. Habibie itu?” Bocah laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Saat Hanin sedang berpikir, tiba-tiba orang tua mereka masuk dari pintu belakang. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, sang ibu memasak di dapur. Sementara sang ayah duduk di antara Hanin dan Habibie.

“Kayaknya lagi ngobrolin yang seru-seru, nih,” sapa Ayah Hendi, “ikutan, dong.”

“Iya, Yah. Tadi Hanin lagi ngomongin arti nama panjangnya Habibie. Biar dia enggak bete lagi karena abis diledekin. Tapi—.”

“Tapi Kak Hanin enggak bisa jawab, pas aku nanyain tentang pak Habibie, Yah.” Anak laki-laki bermata bulat itu terbahak-bahak.

Bibir Hanin pun mengerucut, lalu menggerutu.

“Sudah. Sudah. Ayah saja yang menceritakan tentang  salah satu mantan Presiden di Indonesia itu—.”

“Oh … pernah jadi presiden juga, ya, Yah?” tanya Habibie.

Ayah Hendi mengangguk. “Beliau sosok yang sangat cerdas. Banyak prestasi yang diraih, baik di dalam maupun luar negeri. Salah satunya membuat pesawat terbang pada tahun 1995 di Indonesia. Beliau butuh waktu bertahun-tahun, loh, untuk mewujudkan cita-citanya itu,” papar Ayah Hendi sambil mengusap-usap kepala anak laki-lakinya. Ayah Hendi pun melanjutkan berkisah tentang pak B. J. Habibie yang mendapatkan julukan Mr. Crack.

Hanin dan Habibie mendengarkan cerita Ayah Hendi dengan serius.

“Oh … punya julukan juga, ya? Meskipun kedengaran enggak bagus, tapi cerita julukannya keren banget,” celetuk Hanin.

“Iya, Kak. Enggak kayak aku. Apalagi aku enggak cerdas kayak pak Habibie,” ucap Habibie pelan.

“Ya ampun. Umur kamu masih tujuh tahun, Dek. Masih bisa bikin prestasi sebanyak mungkin, asalkan kamu mau berusaha.” Hanin melipat kedua tangannya di depan dada, sambil menoleh pada sang adik. “Lagian, selama ini kamu males belajar. Gimana mau berprestasi kayak pak Habibie?”

Habibie menjulurkan lidah pada sang kakak. Sementara Ayah Hendi, tersenyum melihat tingkah kedua kakak beradik itu.

“Jadi pengen bisa bikin pesawat juga,” celetuk Habibie sambil mengusap-usap perut buncitnya.

Ayah Hendi dan Hanin bersorak dan memberikan dukungan pada Habibie. Kemudian Hanin mengingatkan jika dalam meraih cita-cita pun harus diimbangi dengan doa. Selain tekun berusaha dan pantang menyerah.

“Betul itu. Manusia ndak bisa apa-apa tanpa pertolongan Sang Khaliq,” sahut Bu Hana yang berjalan menghampiri suami dan kedua anaknya. “Ini, ibu bikin tahu walik kesukaan calon penerusnya pak B. J. Habibie. Trus pisang goreng untuk Ayah dan Hanin.” Bu Hana meletakkan dua piring ke atas meja.

“Hore!” sorak Hanin, Habibie, dan Ayah Hendi.

Mereka pun bersama-sama melahap cemilan tersebut.

“Kalau Kak Hanin, cita-citanya apa?” tanya Habibie.

“Rahasia!” jawab Hanin, lalu terbahak-bahak.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar