Di Kampung Halaman Ibuku

“Kok banyak orang Bu?” tanya seorang anak laki-laki berbaju kuning kepada ibunya.

“Nenek mau syukuran,” jawab  sang Ibu.

“Syukuran, syukuran apa Bu,” tanya anak laki-laki yang biasa dipanggil Mail itu.

Sang Ibu tampak  tersenyum kecil memperlihatkan lesung pipinya. “Syukuran kepulangan ayah, ibu, dan Mail,” jawab Ibu Mail.

“Apalagi ini, ‘kan pertama kali Mail pulang ke kampung halaman ibu.” sambung ibunya.

Ibu Mail berasal dari Pangkep, Sulawesi Selatan. Tepatnya kampung Balocci, berjarak sekitar 12 km dari kabuten kota. Sementara, Ayahnya berasal dari Jawa Timur. Keduanya bertemu di perantauan di Kalimantan Timur. Karena kesibukan ayahnya yang bekerja perusahann swasta. Mail bisa menginjak tanah kelahiran ibunya. Setelah anak itu berusia sembilan tahun.

Mail tampak terdiam sejenak. “Oh …  nenek bikin perayaan kepulangan ayah, ibu dan Mail ya,” ujar Mail.

Sang Ibu tampak mengangguk. Mail memang  anak yang cerdas. Anak lelaki itu cepat paham dan tanggap.

“Mail main dulu sama Akbar ya,” pinta ibunya. Akbar — sepupu Mail dari saudara laki-laki ibunya.

Selain cerdas. Mail juga anak yang gampang bergaul. Baru dua hari di kampung ibunya. Ia sudah akrab dengan sepupu-sepupunya.

“Ibu mau bantu yang lain dulu,” ucap ibunya lagi,

Sementara itu, Rumah panggung yang terbuat dari kayu itu sudah ramai. Terlihat saudara -saudara dan masyarakat lainnya  berdatangan ke rumah nenek. Masyarakat Balocci masih memegang teguh nilai dan adat istiadat suku bugis makassar. Mereka akan membantu menyiapkan acara syukuran seperti memasak dan pekerjaan rumah lainnya. Kemudian dilanjutkan makan bersama.

Mail kemudian  bermain bersama Akbar dan anak lainya di halaman rumah. Di kampung halaman ibunya, tidak hanya orang dewasa. Anak-anak juga akan berkumpul, jika ada cara seperti ini. Pukul 12.40 siang keduanya naik ke rumah. Setelah sebelumnya, mereka melaksanakan salat zuhur  berjamaah di masjid.

Mail dan Akbar berdiri di depan pintu. Tampak  orang-orang sedang duduk di ruang tamu. Ada nenek, ayah Akbar dan sanak saudara lainnya.

Mata Mail berkeliling di seluruh ruang untuk mencari jalan. Agar  bisa masuk tanpa melewati nenek dan lainnya. Dari kecil, ia diajarkan sopan santun kepad orang yang lebih tua.

“Bar, banyak orang, bagaimana lewatnya?” tanya Mail kepada Akbar dengan cara berbisik.

“Laloni Nak, Mappatabekki (Lewat Nak, Permisi ),” seru neneknya sambil melambaikan tangan.

Iye Nek (Iya Nek),” balas Akbar.

Sementara, Mail tampak bingung. Ia menggaruk rambut keritingnya yang tidak gatal “Mappatabe itu apa?” tanya Mail dalam hati.

Anak laki-laki itu  tidak  tahu sebagian  ucapan neneknya. Meskipun ibunya mengajarinya bahasa daerah  bugis oleh ibunya. Akan tetapi, hanya bahasa sehari-sehari saja.

“Ayo masuk!” panggil Akbar.

“Tapi banyak orang?” timpal Mail.

“Tidak apa-apa, Mappatabeki (Permisi),” jawab Akbar.

Mail semakin bingung. Akbar mengulang ucapan neneknya yang tidak diketahuinya. Ia menoleh kiri kanan mencari ibu atau ayahnya. Berharap, kedua orang tuanya dapat membantunya. Tapi tak menemukannya.

Mappatabe itu a ….“ Mail yang hendak bertanya. Akan tetapi dipotong oleh Akbar

“Ayo!” seru Akbar sambil berjalan meninggalkan Mail.

Akbar berbungkuk sambil berjalan. Dalam kebingungan, ia terpaksa mengikuti sepupunya  berjalan berbungkuk dari belakang. Sesekali, ia mengangkat kepalanya sedikit. Agar bisa melihat dengan jelas. Apa yang dilakukan Akbar di depannya. Mail takut melakukan kesalahan.

Tabe (Permisi)!” sahut Akbar yang masih berjalan membungkuk.

Ta … be! (Permisi)” ucap Mail mengikuti Akbar. Meski ia tak tahu artinya.

Keduanya berjalan sambil membungkuk sampai melewati nenek dan sanak keluarganya. Mail lalu mencari ibunya. Anak laki-laki itu menemukan sang ibu di dalam kamar.

“Sudah zuhur Nak?” sambut ibunya di dalam kamar.

“Sudah Bu,” balas Mail.

Sang Ibu terseyum kecil. “Makan siang, ambil sendiri di meja ya. panggil Akbar juga,” ucap ibunya.

“Iya Bu,” balas Mail singkat

“Hm … Ada yang mau Mail tanyakan Bu,” ujar Mail kemudian.

“Mau tanya apa?” balas ibunya.

Ma …mappa … tabe itu apa apa sih.” Mail kesulitan mengucapkan pertanyaanya

Perempuan berkerudung hitam itu terkejut. Ia tampak mengerutkan keningnya. Mendengar pertanyaan Mail.

Mappatabe (Permisi)?” ulang ibunya untuk memasitikan.

“Iya, itu loh Bu berjalan sambil membungkuk.” Mail mempraktekkan berjalan berbungkuk di depan ibunya.

Ibunya tertawa kecil melihat tingkah anaknya itu. “Mail kok tiba-tiba tanya begitu?” tanya sang ibu kemudian.

Mail lalu menceritakan yang baru saja dialaminya kepada sang Ibu. “ Budaya Tabe itu sikap santun dan saling menghargai sesama di suku Sulawesi Selatan,” ucap sang Ibu mulai  menjelaskan.

Tabe artinya meminta izin, hm ….” Ibunya berhenti sejenak sambil berpikir

“Permisi, ya tabe artinya permisi dilakukan pada saat melewati seseorang ,” sambung sang ibu.

Mail tampak mengangguk. Pertanda, anak laki-laki itu mengerti dengan penjelasan ibunya.

“Nilai yang terkandung di dalamya agar kita tidak membeda-bedakan, saling menghormati  dan saling mengingatkan,” jelas sang Ibu.

“Mail sudah paham?”

“Iya Bu,” jawab Mail sambil menganggukan.

Sang Ibu tersenyum kecil sambil mengusap kepala Mail. “Pintar anak Ibu,” puji sang ibu kepada anak tunggalnya itu.

“Sekarang ayo makan siang, ibu wudhu dulu,  mau salat,” Mail kemudian keluar kamar bersama ibunya.

Di luar kamar, tampak Akbar sudah berdiri di depan meja makan. “Mail, makan yuk!” panggil Akbar.

“Iya, tunggu!” jawab Mail singkat.

Mail  berjalan kearah meja makan. Ia kemudian membungkukkan badan ketika melewati dua ibu yang sedang bekerja.

Tabe,” ucap Mail.

Sang Ibu yang hendak ke kamar kembali. Tampak tersenyum melihat anaknya itu.

“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak Paberland 2024”

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar