Dua Capung Biru

“Capung biru! Tangkaaap!” teriak anak-anak itu sambil membawa jaring penangkap serangga. Ipung tak bisa mendengar mereka, tapi 38.000 buah matanya bisa membaca gerakan wajah mereka. Wajah yang mengancam. 

Ipung yang sedang asyik melahap kutu daun segera mengajak Caca terbang sambil terus menyelesaikan makan siangnya. Caca adalah pasangan Ipung yang sedang bersiap untuk bertelur. Capung memang serangga dengan kecepatan tertinggi, tapi urusan dengan manusia tak bisa anggap enteng. Manusia itu lamban, tapi banyak akal. Buat Ipung, manusia itu mengesalkan karena hanya menangkap serangga untuk permainan. 

“Ipung, Caca, di belakangku!” panggil si Pohon Tua. Ipung tersenyum lega, Pohon Tua adalah makhluk yang penggerutu, tapi dia selalu melindungi semua hewan di komplek ini. Ipung segera mengajak Caca menukik ke balik pohon. Anak-anak itu pun celingukan lalu balik kanan.

“Terima kasih, Pohon Tua!” seru Ipung yang dibalas lambaian daun. Ipung dan Caca terbang menuju kolam batu kali, satu-satunya kolam di kompleks perumahan. Alhamdulillah, cuaca sangat cerah. Ipung senang tempat-tempat yang sedikit basah, karena di sana banyak nyamuk. Santapan favoritnya. Dia ingin mengajak Caca makan yang banyak, agar telur mereka sehat.

“Ipung, kurasa sudah waktunya aku bertelur!” kata Caca. Ipung mengangguk. Inilah saat yang juga ia tunggu-tunggu. 

“Aku akan mencari tempat yang sempurna untuk anak-anak kita!” kata Ipung dengan gagahnya. 

“Kita harus mencari perairan yang jernih dan dihuni banyak larva yang lezat.” kata Caca dengan wajah berseri-seri. Ipung mengangguk mantap. Nimfa mereka butuh tempat seperti itu agar bisa tumbuh sempurna. Dia segera memimpin Caca menuju kolam batu kali. Kolam satu-satunya di kompleks perumahan itu.

Namun, saat mereka hampir sampai, si Batu Kali yang terkenal cerewet berteriak. “Jangan mendarat di sini!” katanya. Rupanya si Batu Kali mengenali Caca yang siap bertelur. Semua hewan memang sudah tahu kabar gembira itu. Cuma nyamuk dan kutu daun yang tak senang, karena makin banyak capung, berarti hidup mereka makin susah.

Ipung memperlambat terbangnya, “Kenapa?” 

“Lihat, air kolamku jadi kotor! Bisa-bisa nimfa kalian mati sebelum menetas. Mengesalkan sekali, padahal kolamku ini sudah puluhan tahun jadi tempat capung-capung bertelur!” 

Ipung dan Caca kaget, ada genangan minyak di kolam, membuat semua hewan kecil mati seketika. Para ikan jarum yang memakan apa saja tengah mengerubungi sebuah benda bulat entah terbuat dari apa. Tampaknya bukan sesuatu yang mengandung protein. Ipung tak berselera melihatnya, apalagi Caca. 

“Kemarin, anak-anak bermain di sini. Mereka membawa makanan dalam plastik, dengan saus merah yang baunya mengesalkan,” gerutu si Batu Kali. “Mereka juga meninggalkan sampahnya sembarangan! Lihatlah, bungkusan plastik dan bekas minuman kemasan yang tersangkut di kakiku ini. Menjijikkan! Aku tak akan lupa wajah anak-anak itu, si rambut jabrik, si kuncir biru, dan si keriting, anak-anak nakal!” si Batu Kali kesal. 

Ipung bisa melihat sampah itu teronggok di sana. Andai bisa, ingin dia mengangkat sampah itu dan membuangnya ke tempat sampah. Caca yang penasaran mendekati tempat itu, hampir saja dia pingsan karena sayap anti bakterinya tiba-tiba bekerja terlalu keras.

“Aku harus segera mencari tempat lain kalau begitu.” Ipung mengajak Caca pergi. Sebenarnya, Ipung agak cemas. ia belum tahu harus pergi ke mana. Mereka harus mencari tempat dengan air yang bersih, agar nimfa mereka bisa segera mendapat makanan sehat saat mereka menetas. Kolam itu satu-satunya tempat yang ia tahu. Namun, Ipung tetap optimis. Dia menajamkan matanya, dan merasakan dengan sayapnya, mencari sumber air bersih yang segar. Ini tanggung jawabnya sebagai Ayah.

Mereka memutuskan untuk terbang mengikuti aliran kolam. Air kolam mengalir menuju selokan. Walau tampaknya bersih, selokan itu kadang membawa sampah dapur yang bercampur minyak. Akibatnya, permukaan air selokan jadi lengket. Susah mencari makan di air seperti itu.

Ipung tak menyerah. Dia berusaha mencari air yang jernih. Mereka memeriksa genangan, ember bekas, bahkan sungai di seberang kompleks. Namun, tak ada yang benar-benar jernih. Ipung dan Caca hampir saja menyerah. 

“Ipung, ada ibu dan bapak kodok!” seru Caca. Ipung segera melihat ke arah yang ditunjuk. Kodok juga selalu mencari air bersih untuk bertelur. Mereka mengikuti mereka dari jarak yang aman. Kadang-kadang kodok juga suka memakan capung, walau itu sangat sulit karena capung sangat cepat. 

Caca benar. Ipung bisa merasakan angin segar yang berasal dari air yang bersih tak jauh dari sana. “Ayo cepat Ipung, telur-telur ini harus segera keluar!” pekik Caca. Ipung semakin menyiagakan matanya. 

“Ayo Caca. Itu di sana, di balik ilalang!” Senyum Ipung terkembang. Rupanya ada kolam kecil tersembunyi di halaman belakang sebuah rumah tua yang sudah lama tak berpenghuni. 

Mereka berusaha terbang secepat mungkin, namun mereka sudah terbang terlalu lama. Tubuh Caca mulai lemah, kecepatan terbangnya berkurang. Ipung tak bisa berbuat banyak, selain tetap terbang bersamanya sambil terus menyemangati, “Ayo Caca sedikit lagi!” 

Mereka sudah sampai di atas kolam kecil, namun, belum sempat mereka menyentuh air, tubuh Caca melambat. Telur-telur itu pun meluncur dari perut Caca. Ipung ternganga. Ia hanya bisa berdoa agar telur-telurnya selamat. Caca yang semakin lemah, mulai menitikkan air mata, ia juga khawatir. “Maafkan aku Caca, kamu jadi harus terbang sejauh ini,” sesal Ipung. 

“Ini bukan salahmu Ipung, kamu sudah berusaha yang terbaik.”

Mereka pun pasrah sambil menatap telur-telur mereka yang terus meluncur dengan cepat. 

“Jangan sedih, telur kalian akan baik-baik saja,” sebuah suara mengagetkan mereka. Ternyata itu si ibu Kodok yang sangat besar. 

“Be-betulkah?” Caca tak percaya.

“Ya, aku sering melihat capung-capung bertelur dari udara. Telur mereka selamat, dan nimfa-nimfa itu akan dapat makan enak. Mungkin berudu-berudu kecilku juga akan bermain dengan nimfa kalian nanti,” ibu Kodok tersenyum. Ipung dan Caca bernafas lega. 

Namun, kelegaan mereka tidaklah lama. Karena seketika Ipung sadar sejak tadi ibu kodok menatap mereka lama sekali. Mata Ipung yang tajam melihat perubahan pada fokus mata si ibu kodok, segera ia menoleh ke arah Caca.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar