Dulah dan Hobi Barunya

“Kamu beli di mana kerang-kerang ini? Cantik sekali.” Dulah Monyet menganggumi rumah Peli Pelikan yang banyak dihiasi kerang. Semua cantik dan berkilau.

“Ah, aku hanya mengambilnya di pantai. Kerang-kerang ini juga bisa ditukar dengan bahan makanan atau barang lainnya,” jawab Peli. “Hari ini aku akan ke rumah Bahar Ular untuk menukar barang. Ikut yuk?”

Dulah mengangguk cepat. Peli dan Dulah berjalan menuju tepi sungai, tempat Bahar tinggal.  “Hai, Har.  Ini kubawakan kerang.” Peli meletakkan kerang di atas tanah.

Bahar langsung menghitungnya. “Semua ada sepuluh.” Bahar kemudian menyerahkan tiga ekor ikan kepada Peli.

Dalam perjalanan pulang, Dulah terus memandangi tas Peli yang berisi ikan. “Mulai sekarang, aku akan mengumpulkan kerang,” kata Dulah.

“Bagus itu.  Nanti bisa kau tukar dengan makanan,” jawab Peli.

“Aku juga akan mengumpulkan semua barang yang berkilau,” kata Dulah dengan yakin.

“Hei, tetapi tidak semua barang yang berkilau itu berharga.  Kamu harus bisa membedakan antara barang berharga dan barang rongsokan.”

“Oh, tentu itu,” jawab Dulah.

“Aku punya daftar nama barang-barang berharga. Kamu bisa pelajari daftar itu.”

“Enggak perlu. Cukup dengan melihat barangnya saja. Aku bisa tentukan mana yang berharga dan mana yang tidak.”

“Baiklah.  Lain kali, kita tukaran barang ya?” ajak Peli.

“Tentu, tentu.”

Esok hari, saat matahari bersinar terang, Dulah sudah sampai di pantai.  Dulah kagum melihat banyaknya barang yang berkilau. Ia ingin mengumpulkan seluruh barang itu, tetapi ia tidak bisa mengangkat semua itu dalam satu hari.  “Hmm, mulai dari mana?” tanya Dulah dalam hati.

Akhirnya Dulah memutuskan untuk mengambil pecahan batok kelapa yang berisi air. Air di dalam batok itu berkilauan terkena sinar matahari.

Dengan hati-hati, semua batok kelapa dibawa pulang. Di dalam rumah air dalam batok kelapa tidak berkilau karena tidak terkena sinar matahari.

Dulah sedih. “Ah, mungkin air ini capek, jadi dia tidak berkilau. Nanti kalau sudah tidak capek, pasti dia akan berkilau lagi,” pikir Dulah.

Esok pagi, Dulah sudah berada di pantai. Sinar matahari memudahkannya mencari benda yang berkilau. Dulah mengambil pecahan botol kaca yang banyak berserakan. Pecahan botol kaca berkilau indah terkena sinar matahari.

Sesampai di rumah, botol kaca itu tidak berkilau lagi. Namun, Dulah tidak terlalu memikirkannya. “Apa yang akan kukumpulkan esok?” pikir Dulah sebelum dia tertidur.

Esok hari, Dulah terlambat sampai di pantai. Dia melihat Peli sedang mengumpulkan kerang. “Hai, Peli. Kemarin aku sudah mengumpulkan banyak barang  berkilau,” kata Dulah bangga.

“Pasti sekarang rumahmu indah,” kata Peli.

“Oh, tentu, tentu,” jawab Dulah bangga.

“Apa yang kamu dapat?”

“Rahasia, dong.” Dulah tersenyum lebar. Ia hanya berdiri, melihat Peli mengumpulkan kerang.

“Dulah, sini,” panggil Peli. “Banyak kerang nih.”

Dulah hanya menggeleng. Dia menunggu sampai Peli pergi. “Kalau Peli tahu benda yang kukumpulkan, pasti dia akan ikut mencarinya juga. Peli tidak boleh tahu,” pikir Dulah. Ternyata hari sudah mulai gelap ketika Peli selesai mengumpulkan kerang. Hari itu Dulah tidak menemukan satu pun benda berkilau.

Esok hari, Dulah sampai di pantai ketika hari sedang hujan lebat. Dulah berlindung di bawah pohon jambu klutuk. Tidak ada satu pun benda berkilau di pantai. Dulah mulai menggigil kedinginan dan pusing. Tiba-tiba sebuah jambu klutuk jatuh tepat mengenai kepala Dulah. Dulah mengusap-usap kepalanya yang sakit. Namun, dia bertambah pusing dan pandangannya gelap.

Samar-samar Dulah mendengar suara teman-teman.

Dulah memandang berkeliling. “Kok aku di rumah?” tanya Dulah.

“Tadi kami menemukanmu pingsan di pantai. Sekarang kamu di rumah,” kata Bahar. “Pasti kamu terlalu capek mengumpulkan barang.”

“Nanti kamu bisa menukarkan barang-barang itu dengan obat dan makanan,” kata Peli.

Dulah menunjukkan barang-barang yang diambilnya dari pantai. “Aku mau menukar ini dengan obat,” kata Dulah.

Peli dan Bahar saling berpandangan.

Melihat reaksi kedua temannya, Dulah bertanya, “Kok diam?”

“Barang ini tidak ada harganya,” jelas Bahar.

“Makanya, belajar dulu,” kata Peli. “Supaya kamu tahu barang yang berharga.”

Dulah terdiam.  Ternyata dia perlu mempelajari catatan Peli.

“Sekarang minum dulu obat ini.” Bahar memberi Dulah sebutir obat.  “Gratis,” lanjut Bahar tersenyum.

“Terima kasih,” kata Dulah. “Apa aku perlu belajar dulu sebelum minum obat ini?”

Bahar dan Peli tertawa.

(Bobo 11/XLI 20 Juni 2013)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar