Endhog Abang

 

Gatra bersekolah di Sekolah Alam Kita, duduk di kelas 4. Di sekolah itu, pembelajarannya tidak selalu di kelas dan bisa berganti tempat sesuai kesepakatan.

Hari itu kelas Gatra bersepakat untuk sekolah di sore hari. Ibu Agni, guru kelas 4 mengatakan bahwa mereka akan melihat pertunjukan gamelan di Masjid Gedhe Kauman. Pertunjukan gamelan itu istimewa sebab hanya dipentaskan setiap menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad. Prosesi pemindahan gamelan ini disebut miyos gangsa. Miyos Gangsa ditandai dengan keluarnya dua gamelan pusaka milik Kraton Yogyakarta, yaitu Kanjeng Kiai Nagawilaga dan Kanjeng Kiai Gunturmadu. Kedua gamelan pusaka dibawa menuju ke halaman Masjid Gedhe Kauman, kemudian dimasukkan ke ruangan yang disebut pagongan dan selanjutnya ditabuh para pemain. Bu Agni juga menceritakan bahwa pagelaran Sekaten yang ditandai miyos gangsa ini, biasanya juga disertai diadakannya pasar malam perayaan Sekaten di Alun-alun Utara.

Bu Agni berkata, setelah anak-anak melihat pertunjukan gamelan, semua anak diperbolehkan bermain di area pasar malam. Di sana ada banyak permainan yang bisa dinikmati. Banyak juga makanan dan minuman yang ditawarkan di pasar malam. Gatra dan teman-teman diberi waktu 1 jam sebelum nantinya mereka berkumpul kembali di depan masjid. Mereka dibagi ke dalam 3 kelompok kecil, dengan 1 pendamping guru di masing-masing kelompok.

“Wahhhh banyak sekali makanan dijajakan di sini ya, Git!” Gatra berbicara kepada Anggito kawan sekelompoknya. Mereka bingung ingin makan apa, semua tampak lezat dan menggoda. Ada nasi gurih, sate kere, bipang, gulali, dan arum manis.

“Eh…itu telur apa ya? Kok warnanya merah?” tanya Gatra.

“Ah paling juga telur biasa,” jawab Anggito.

“Tanya aja sama yang jualan, Gat!” Pak Joko menimpali.

“Oh iya, ya. Mbah, itu telur apa?” Gatra bertanya ke ibu penjual telur yang rambutnya sudah putih digelung dan berkebaya kembang-kembang serta memakai jarik.

“Ini endhog abang, Le! Telur Merah,” jawab ibu yang dipanggil mbah tersebut.

“Ada khasiatnya, Mbah? Kenapa warnanya merah?” Tanya Sindhu.

“Ini ada artinya, cah bagus. Tapi, mau beli telurnya gak to?” Simbah bertanya sambil tersenyum.

“Ya udah takbeli 1 Mbah. Pinten (berapa) Mbah?” Gatra pun akhirnya membeli telur itu. Harganya Rp 3.000,00. 

“Nah…ngono lho, kalau telur simbah dibeli, kan jadi semangat. Sini simbah ceritakan artinya.”

Endhog abang yang disunduk dan diberi hiasan kertas itu ternyata bagus sekali maknanya. Ada tiga intinya. 

Telur atau endhog artinya kelahiran. 

Merah atau abang melambangkan kesejahteraan. 

Sunduk atau helai ruas bambu panjang melambangkan hubungan dengan Sang Pencipta, Tuhan. 

Jadi, keseluruhan makna endhog abang itu adalah kelahiran kembali untuk masa depan yang lebih baik dan sejahtera namun tetap berpegang teguh pada Tuhan. 

“Oh, jadi begitu ya Mbah artinya,” Gatra berkomentar sambil manggut-manggut. Setelah tahu artinya, teman-teman Gatra dan Pak Joko juga akhirnya membeli endhog abang.

Dagangan Mbah Tuginem (nama simbah itu) pun hampir habis. Mbah Tuginem tertawa puas sampai kelihatan gigi ompongnya.

Setelah itu, anak-anak kelompok Gatra masih bertanya jawab dengan Mbah Tuginem. Mereka menanyakan bagaimana cara membuat telur merah itu. Mbah Tuginem menjelaskan perlahan. Di akhir ceritanya, Mbah Tuginem berkelakar,” Sakjane, endhog kuwi digawe werna abang ben luwih apik, luwih payu, Le. Nek endhoge pucet kan elek, mengko ora ana sing tuku, hahaha,”  yang artinya sebenarnya telur diberi warna merah agar tampak lebih menarik sehingga akan lebih banyak yang membelinya. Mbah Tuginem juga mengingatkan bahwa saat mewarnai telur dengan pewarna, dilakukan saat telur masih dalam keadaan hangat. Tujuannya agar warna merah yang dihasilkan bisa terlihat lebih cerah.

Tak terasa, waktu satu jam pun berlalu. Mereka sudah harus kembali ke masjid untuk bertemu dengan kelompok lainnya. Semua kelompok tampak gembira dengan cerita masing-masing yang seru tentunya.

Keesokan paginya di sekolah, di kelas Gatra ada kegiatan presentasi. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pengamatan saat pergi menonton gamelan dan ke pasar malam dengan cara yang berbeda. Gatra dan kelompoknya memutuskan untuk menunjukkan cara membuat telur merah.

“Begini caranya, teman-teman. Pertama kita rebus telur ayam hingga matang. Ini yang kami bawa sudah matang ya, hehehe,” terang Gatra.

“Kedua, kita pakai pewarna makanan warna merah untuk mewarnai bagian luar telur. Mbah Tuginem bilang, telurnya cukup diglundungke (diguling-gulingkan) dua kali saja, dan tak perlu khawatir, warnanya tidak akan tembus sampai ke bagian dalam. Tapi boleh juga kalau teman-teman mau mengecat telur dengan kuas.”

“Lalu telur yang sudah diwarnai, kemudian disunduk atau ditusuk dengan tusuk sate.”

“Terakhir diberi hiasan kertas seperti ini. Kertasnya kami gunakan kertas bekas yang dipotong-potong sehingga membentuk rumbai-rumbai seperti ini. Gampang kan?” 

Gatra bersama anggota kelompoknya berbagi tugas, ada yang menjelaskan, dan ada yang mempraktikkan. 

Semua anak di kelas ikut memperhatikan dan sesekali ada yang bertanya. Aditya bertanya, “Pewarnanya apakah aman untuk makanan?” Lalu Gatra menjelaskan tentang pewarna makanan yang digunakan, kebetulan Gatra membawa kemasannya. Di situ tertulis pewarna khusus makanan yang aman.

Ada lagi yang bertanya, “Merebus telur sampai matang butuh waktu berapa lama sih?” tanya Sari. Anggito menjawab, “Tergantung tingkat kematangan yang kita inginkan, Sari. Bisa dari 6 sampai 14 menit. Kalau kami tadi merebusnya 14 menit karena kami ingin telurnya benar-benar matang.”

Pertanyaan menarik berikutnya datang dari Kinan, “Kalau sejarah endhog abang itu mulai ada sejak kapan?” Giliran Sindhu yang menjawabnya, “Menurut Mbah Tuginem yang umurnya lebih dari 70 tahun dan kemarin kami wawancarai, endhog abang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, dan menjadi salah satu makanan khas Sekaten sampai sekarang. 

Bu Agni hanya mendampingi kelas, sesekali ikut berkomentar. Bu Agni juga melontarkan satu pertanyaan, “Apakah boleh menggunakan telur selain telur ayam?”

Lalu Sindhu yang di kelompoknya bertugas mencari data di internet menjawab, “Sebetulnya awalnya menggunakan telur bebek, Bu, tapi karena semakin susah dan mahal memperolehnya, telur bebek diganti telur ayam potong.” Bu Agni pun cukup puas dengan jawaban Sindhu.

Gimana, teman-teman? Seru kan presentasi dari kami? Nah sekarang kami akan memberikan telur ini untuk kalian yang bisa menjawab pertanyaan ya.” Tantang Gatra setelah Anggito selesai mempraktikkan cara membuat telur merah. 

Kelompok Gatra pun mendapatkan apresiasi tepuk tangan meriah dari teman-teman karena presentasi yang begitu menarik. Kelompok lain ada yang menampilkan pameran foto di arena Sekaten. Ada juga kelompok yang menjelaskan beberapa permainan tradisional yang dijual di pasar malam.

Semua anak merasa sangat senang. Mereka bisa belajar dan mengalami langsung sebuah kegiatan lalu berbagi pengetahuan mereka dengan cara masing-masing, yang berbeda satu dengan lainnya. 

“Cerpen ini Diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”

Catatan:

Latar cerita di atas adalah sebagian dari pengalaman penulis menemani anak-anak pergi menonton gamelan dan mengunjungi pasar malam Sekaten di tahun 2018. Saat itu, Alun-alun Utara masih dijadikan lokasi pelaksanaan pasar malam. Namun sejak akhir tahun 2019, seperti diberitakan Tribun News , Alun-alun Utara tidak akan dijadikan tempat pelaksanaan lagi demi mengembalikan makna asli dari “Sekaten” dan menghindari kerusakan alun-alun pasca Pasar Malam Sekaten.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar