Marah!
Marah!
Marah!
Setiap saat Farah marah. Ia mudah sekali marah. Ketika ia marah, ia akan berteriak-teriak, membanting barang, atau bahkan mengatakan hal-hal yang menyakiti hati orang lain.
Suatu hari, ayah Farah melihatnya sedang marah besar karena mainannya rusak.
Ayah mendekatinya dan berkata,
“Farah, setiap kali kamu marah, tancapkanlah sebuah paku di pagar kayu di belakang rumah kita.”
”Untuk apa aku menancapkan paku?” gumam Farah bingung.
Tapi Farah setuju, meskipun ia tidak tahu apa tujuan ayahnya.
Keesokan harinya, Farah marah kepada temannya karena hal sepele. Ia lalu menancapkan satu paku di pagar kayu. Hari berikutnya, ia marah lagi kepada adiknya dan kembali menancapkan satu paku. Hari demi hari, pagar kayu itu semakin penuh dengan paku.
Setelah seminggu, Farah mulai lelah. Ia sadar bahwa menancapkan paku itu melelahkan dan tidak menyenangkan. Ia pun mulai mencoba mengendalikan amarahnya. Ia berhenti berteriak, berhenti membanting barang, dan mulai berbicara dengan tenang.
Semakin sedikit Farah marah, semakin sedikit paku yang ia tancapkan. Hingga akhirnya, di suatu hari, Farah berhasil melalui hari tanpa menancapkan satu pun paku. Dengan bangga, ia mengabarkan hal itu kepada ayahnya.
“Bagus sekali, Farah,” kata ayahnya sambil tersenyum. “Sekarang, setiap kali kamu bisa mengendalikan amarahmu, cabutlah satu paku dari pagar itu.”
Farah mulai mencabut satu per satu paku setiap kali ia berhasil mengendalikan emosinya. Hingga akhirnya, semua paku pun tercabut.
Ayah Farah mengajaknya ke pagar kayu itu dan berkata,
“Lihatlah, Farah. Paku-paku itu memang sudah hilang, tetapi bekas lubangnya tetap ada. Begitu pula dengan hati orang lain. Ketika kita marah dan melukai perasaan mereka, luka itu akan sulit hilang, meskipun kita sudah meminta maaf.”
Farah terdiam dan merenungi kata-kata ayahnya. Ia pun berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga amarahnya. Ia ingat bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan amarahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejak saat itu, Farah menjadi anak yang lebih sabar dan penyayang. Ia belajar bahwa marah tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi kesabaran dan kebaikan hati bisa membawa kedamaian.