Gadis kecil itu menjual waktu di perempatan lampu lalu lintas ketika matahari sore menggelantung di pinggir langit. Sepasang kaki kecilnya berjalan ke sana kemari menghampiri kendaraan-kendaraan yang berhenti. Sepasang tangannya memegang stoples kaca berisi waktu.
“Waktunya, Om?” tawarnya kepada lelaki yang sedang melamun di balik setir mobil.
“Waktunya, Kak?” tawarnya kepada perempuan yang sedang menatap ponsel pintar di bangku belakang taksi.
Lampu hijau menyala. Kendaraan-kendaraan kembali malaju. Gadis kecil itu berlari-lari kecil ke tepi jalan dan menanti lampu merah kembali menyala.
“Kenapa kamu menjual waktu?” tanya bocah pengamen sambil menaruh ukulelenya di trotoar.
“Karena, aku tidak bisa bernyanyi sepertimu,” jawab gadis kecil itu.
“Oh, gitu,” kata bocah pengamen itu sambil meraih ukulelenya dan bernyanyi lagu “Darah Juang” dengan suara cemprengnya. Kemudian, lampu merah kembali menyala.
Gadis kecil itu segera berlari ke tengah jalan untuk menjajakan dagangannya.
“Waktu, waktu, beli lima gratis satu!”
Gadis kecil itu terus memegang stoples kaca bening yang masih penuh berisi waktu. Meskipun belum ada satu pun waktu yang terjual, ia masih terlihat semangat. Tak ada isyarat-isyarat yang menandakan lelah dan putus asa di wajahnya. Sepasang kaki kecilnya masih terus bergerak ke sana kemari, menghampiri kendaraan-kendaraan yang berhenti.
Seorang pengemudi ojek motor online terlihat penasaran dengan isi stoples yang dijajakan gadis kecil itu. “Kamu menjual apa?” tanyanya.
“Waktu, Om,” jawab gadis kecil itu sambil menghampiri pengemudi ojek motor online itu.
“Waktu?”
“Iya, Om. Waktu. Harganya lima ribu. Kalau waktunya Om makan, nanti dalam sehari Om akan menjadi anak berumur 10 tahun.”
Pengemudi ojek motor itu tersenyum mendengar penjelasan tersebut. “Masa, sih?” tanyanya. “Waktunya nanti dimakan gitu?”
“Iya, Om, seperti makan permen.”
“Saya beli satu, ya.”
Gadis kecil itu membuka stoples kaca, mengambil sebutir waktu, dan menyerahkannya kepada pengemudi ojek motor online itu.
Pengemudi ojek motor online itu segera memakan sebutir waktu itu dan dalam sekejap dia segera berubah menjadi anak-anak berumur 10 tahun. “Wah, wah, kok, bisa?” tanyanya tidak percaya.
Karena sudah menjadi anak-anak, pengemudi ojek itu terjatuh karena motornya terlalu tinggi untuk tubuhnya yang kecil. “Kok, bisa? Wah, wah, wah!” Dia masih heran dengan apa yang sedang terjadi.
Orang-orang yang kebetulan melihat peristiwa tersebut pun ikutan heran dan bertanya-tanya, “Wah, kok, bisa?”
Lampu hijau menyala, tetapi orang-orang tidak peduli. Seorang ibu paruh baya keluar dari mobilnya dan menghampiri gadis kecil penjual waktu itu. “Aku beli lima!” katanya.
“Aku beli dua!” kata seorang kakek yang melompat dari motornya.
“Aku beli satu!”
“Aku beli satu juga!”
“Aku beli tiga!”
Orang-orang membeli waktu, memakannya, dan dalam sekejap mereka semua berubah menjadi anak-anak. Lalu lintas macet total dan tidak ada yang peduli. Di jalan raya, orang-orang dewasa yang telah menjadi anak-anak itu terlihat bahagia di jalan raya.
Gadis kecil penjual waktu itu tersenyum senang karena butir-butir waktunya habis terjual. Stoplesnya kacanya kosong. Dia berjalan ke pinggir jalan dan duduk di trotoar.
“Mengapa orang-orang dewasa senang sekali menjadi anak-anak?” tanya bocah pengamen heran.
“Kita tidak akan bisa menjawabnya sekarang,” jawab gadis kecil penjual waktu. “Mungkin kita akan tahu jawabannya setelah kita dewasa nanti.”(*)
(Sumber gambar: ai image generator bing.com)
Ide tulisan Kang Hadi selalu bikin takjub. Suka banget.
Bagus banget!
Keren. Imajiner …
Butiran waktu membuat orang dewasa senang karena mereka tak akan pusing dengan permasalahan orang dewasa. ???