Angin kencang menjalar di penjuru Kota Hujan. Biasanya, hujan akan turun tak lama lagi. Lisya mengayuh sepedanya cepat-cepat. Jalanan aspal yang berlubang di sana-sini terkadang membuatnya terlonjak-lonjak. Belum lagi, jumlah polisi tidur yang tak sedikit menuju sekolahnya.
Jalan mulai menurun. Perempuan itu menyeringai, menampakkan lesung pipinya, tetap enggan mengurangi kecepatan. Jam tangan biru yang memeluk pergelangan tangannya menunjukkan pukul 07.05. Sudah terlambat lima menit dan ia tak ingin lebih terlambat lagi.
Gerbang sekolahnya sudah tertutup. Ia meminta Bapak Satpam untuk membukanya. Gerbang terbuka sedikit. Cukup untuk dilewati perempuan bertubuh mungil dan sepeda miliknya.
Sepedanya masih dikayuh. Tempat parkir dilaluinya begitu saja. Hal ini karena berjalan kaki menurutnya hanya akan semakin memperlambat kedatangannya di kelas. Ia ingin parkir di dekat tempat kelas 5 melangsungkan pelajaran pertamanya hari ini.
Setelah hampir mengelilingi gedung sekolah lewat taman belakangnya, ia sampai di bawah Pohon Sukun. Di kanannya, terdapat gudang. Di seberangnya, terdapat koridor yang mengarah ke laboratorium IPA: tempat guru dan teman-temannya kini berada.
Ia memutuskan untuk memarkir sepedanya tepat di bawah Pohon Sukun. Tanahnya basah. Bebatuan dan akar melintang membuat sepedanya oleng berkali-kali. Ia segera turun dari sepeda, tersandung-sandung, susah-payah melangkahkan kaki.
Petir menggelegar saat Lisya berusaha menginjak tuas standar sepedanya.
“Allaahu akbar!” Gadis kecil itu memekik takbir sambil menepuk tengah dadanya yang bergemuruh.
Sepedanya dibiarkan terbentur keras ke batang pohon.
Cahaya kilat menyilaukan tengkorak, mata satu besar, dan aneka mannequin organ-organ tubuh manusia yang terlihat dari luar jendela laboratorium IPA. Bayangan seorang perempuan muncul di dinding gudang. Lisya berlari tunggang-langgang.
***
Lisya diminta Sang Guru memperbanyak lembar tugas siswa yang berlokasi sekitar 500 m di luar sekolah, saat jam istirahat pertama. Ia mengajak teman sebangkunya, Pipit, untuk dibonceng sepeda bersama. Pipit mengangguk mantap sambil tersenyum.
Mereka berboncengan keluar gerbang sekolah. Beberapa kali roda sepeda Lisya menggilas genangan air di jalanan yang baru saja diguyur hujan. Ia tak menghiraukan rok dan celana panjangnya yang basah dengan goresan noda coklat. Ia terus menyibak dinginnya udara. Angin sepoi semilir menyegarkan tubuh, rimbunan pepohonan meneduhkan wajah. Sedang asyiknya bersepeda menikmati udara, tiba-tiba Lisya merasa berat mengayuh.
“Kok tiba-tiba kamu jadi makin berat, Pit?”
Jalanan menurun. Sepeda tiba-tiba oleng. Ia mengerem sedikit demi sedikit. Namun, roda belakangnya malah berhenti mendadak dan membuat perempuan berkerudung itu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjerembab di atas tanah berumput dengan kepala nyaris tertatap bata blok tepi trotoar.
“Astaghfirullah!” pekik mereka hampir bersamaan sambil segera berusaha bangun.
Dengan cekatan, tangan Lisya berusaha mengangkat ban belakang sepeda yang menimpa sebagian tubuh temannya. Ternyata, hanya tersisa sedikit udara dalam bannya. Tak hanya kempes, bannya bocor!
Tanpa berpikir panjang, Lisya langsung menuntun sepedanya menuju bengkel terdekat dengan tempat fotokopi. Sambil menambal ban dan menunggu mesin fotokopi selesai, mereka menyusuri jalan yang tadi dilalui dan tak menemukan penyebab yang sekiranya bisa membuat ban sepeda bocor.
Pipit teringat sesuatu. Matanya melebar sambil menepuk lengan Lisya, “Sya! Tadi pagi kamu parkir di bawah Pohon Sukun, ya?”
Lisya sedikit terperanjat kaget, kemudian mengangguk cepat.
“Kamu tahu di situ angker, kan? Kamu udah minta izin sama penunggunya sebelum parkir di situ, kan?” Serang Pipit dengan pertanyaan.
Lisya menggeleng lambat, bingung.
“Nah, nggak salah lagi! Bisa jadi ini teh salah satu gangguan penunggunya! Sebelum kamu minta maaf, kemungkinan besar kamu akan terus diganggu.”
“Apa sih, Pit? Kamu kok doain aku yang enggak-enggak?”
“Aku teh cuma memaparkan fakta, Sya. Banyak loh teman kita yang udah mengalami hal aneh-aneh habis dari pohon itu. Siti pernah lihat bayangan cewek berambut panjang pakai seragam di sana, malamnya langsung mimpi buruk. Putra demam tiga hari habis kencing sembarangan di sana. Emang ngaco sih dia, terus …”
“Udah, geh! Ana-ana wae.” potong Lisya, kemudian mengebaskan rok merahnya yang kotor. Meski sempat merasa takut, ia berusaha menganggap kata-kata Pipit itu angin lalu.
Ban selesai ditambal, demikian pula mesin fotokopi yang telah selesai memperbanyak lembar tugas sesuai jumlah yang diminta. Mereka kembali berboncengan menaiki sepeda menuju sekolah. Kedua bocah itu tak berkata-kata sepanjang perjalanan, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Turun, Pit!” pinta Lisya, kemudian segera memarkir sepeda di tempat yang semestinya.
“Minta maaf dulu sama penunggu Pohon Sukun sana, geh! Kamu teh dibilangin nggak percaya. Kalau diganggu lagi, baru tahu rasa!” Gerutu Pipit sambil berlalu dengan membawa tumpukan lembaran tugas.
Bukannya Lisya tidak mau percaya dengan hal-hal gaib. Kata guru agamanya, orang beriman harus percaya adanya makhluk jin yang Allah ciptakan. Namun, bukan berarti apa-apa langsung disangkut-pautkan ke sana.
***
Pelajaran demi pelajaran usai. Bel tanda pulang sekolah sudah berdering. Lisya mengajak teman sebangkunya pulang bersama dibonceng sepeda. Terbayang angin sepoi yang semilir menyegarkan tubuh yang berkeringat, juga rimbunan pepohonan yang akan meneduhkan wajah.
Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti di depan tempat parkir karena terkejut. Sepeda biru yang awalnya diparkir tegak, kini tergeletak tak berdaya. Lisya mengepalkan tangan. Tiga kali ban bocor di hari yang sama telah membuatnya geram.
Uang lebih pemberian orang tua yang harusnya bisa ia tabung untuk membeli barang favoritnya melayang hanya untuk bolak-balik ke bengkel sepeda. Bocornya ban sepeda juga membuat pergerakannya lebih lambat. Padahal, jadwalnya begitu padat. Ia dan temannya pun sempat mengalami kecelakaan kecil. Bahkan, ban sepeda bocor ini berpotensi lebih membahayakan lagi!
“Sekarang kamu percaya?” tanya Pipit sambil memegang pundak Lisya, berusaha menenangkan.
Lisya malah menyedekapkan kedua tangan. Raut mukanya makin tak ramah, masih menatap lurus ke arah sepedanya yang tergeletak.
“Penunggu Pohon Sukun masih marah, Sya. Apa susahnya minta maaf dan minta tolong untuk nggak ganggu lagi? Itu solusi paling gampang! Lagipula, penunggunya diduga hanya arwah anak perempuan. Denger-denger sih, itu putri seorang nenek petugas kebersihan sekolah yang gentayangan.”
Lisya mengembuskan napas kuat-kuat. Ia lelah. Seingatnya, guru agamanya berkata bahwa tak ada arwah orang mati yang gentayangan. Yang ada hanya jin. Meminta pertolongan dan perlindungan harusnya cukup pada Allah saja.
Namun, Lisya berpikir, mungkin tak ada salahnya juga mencoba saran Pipit. Ia akan mencoba berdamai dengan jin penunggu Pohon Sukun tersebut.
“Baiklah, ayo coba saran kamu!” Ajak Lisya yang terlihat menyerah. Ia menggandeng tangan Pipit dan berjalan cepat ke halaman belakang sekolah, dekat Pohon Sukun berada.
Ada kepuasan tersendiri yang terbesit di raut muka Pipit. Puas karena sarannya sejak pagi tadi akhirnya diterima. Ia tentu saja dengan senang hati menemani. Bahkan, ia meminta Lisya mengikuti kata-kata yang didiktekannya.
“Permisi Putri, eh, Teteh Putri, ya?” Pipit mengatupkan kedua telapak tangan, berbicara persis menghadap Pohon Sukun.
“Itu siapa?” Lisya heran.
“Nama anak nenek petugas kebersihan, lho. Udah ikutin aja sih.” Ketus Pipit sambil menyenggol tangan Lisya dengan sikunya yang tajam.
“Aw!” Lisya mengaduh. “Aku ngga mau nyebut nama. Belum tentu nama jinnya Putri. Aku juga ngga mau berteman dengan jin.”
“Siapa lagi kalau bukan arwahnya Teteh Putri? Ibunya aja sering banget merawat pohon ini lebih dari yang lain. Kata teman-teman juga di bawahnya ini bekas kuburan anaknya.”
“Ah… aku mau cepat-cepat pergi dari sini.” Keluh Lisya.
“Ya sudah, turuti aku saja. Apa susahnya?” Tukas Pipit.
“Permisi Teh Putri … maaf ya kalau Anda terganggu dengan sepeda yang Saya parkir sembarangan tadi pagi. Saya buru-buru. Terima kasih kalau Anda berkenan memaafkan. Assalamualaykum.” Papar Lisya dengan terpaksa, kemudian buru-buru berbalik badan dan hendak melangkah pergi.
“Tunggu!” Cegah Pipit sambil merentangkan satu tangannya.
“Apa lagi?”
“Belum lengkap. Bilang, ‘Teh Putri, tolong jangan ganggu Saya lagi ya. Saya janji—”
“Siapa bilang anak Saya suka ganggu?” Potong nenek petugas kebersihan yang muncul dengan wajah tak ramah dari balik semak di belakang Pohon Sukun.
Pipit dan Lisya terkesiap. Mereka saling berpandangan dengan mata melotot.
“Putri Saya telah meninggal belasan tahun yang lalu di usia sepantaran kalian. Ia telah lama kembali kepada Allah.” Jelas wanita tua itu sambil menekankan pada prosa ‘kembali kepada Allah.’
“Mana ada arwah penasaran yang gentayangan? Yang ada hanya jin! Apalagi Putri, anak semata-wayang kesayangan Saya–” wanita tua itu memegang dadanya, matanya terlihat berkaca-kaca, “adalah anak yang baik dan sholihah!” Protes Sang Nenek sambil berjalan ke arah sepeda Lisya. Lalu, sepeda itu dirobohkan.
Lisya dan Pipit terperanjat, kemudian merapatkan tubuh. Ia takut karena merasa wanita tua itu begitu marah luar biasa.
Ban luar di bagian belakang sepeda Lisya diraba-raba oleh tangan wanita yang keriput, pucat, dengan urat-uratnya yang menonjol itu. Tak berapa lama kemudian, ditemukan batu kecil tajam terperangkap di sana. Ia mencabutnya dan segera berlalu. Pipit dan Lisya digelayuti rasa bersalah.