Musim libur telah tiba, Gendhis pergi ke kota Yogyakarta bersama kedua orang tuanya. Perjalanan dari Semarang ke Yogya hanya membutuhkan waktu 3 jam. Gendhis sengaja meminta Ayah dan Ibunya untuk di antar ke rumah Nenek di Yogya. Begitu memasuki kota Yogya, Gendhis terus memperhatikan jalanan dari balik kaca mobil. Wajahnya terlihat sumringah melihat tata ruang Yogya yang apik dan bersih.
“Ibu, apakah rumah Nenek masih jauh?” tanya Gendhis sambil memajukan posisi duduknya ke depan.
“Sebentar lagi akan sampai,” sahut Ibu tersenyum kepada Gendhis yang terlihat tidak sabar bertemu dengan Neneknya.
Mereka tiba di halaman luas sebuah rumah Joglo yang masih asri. Banyak tanaman di setiap pinggir halamannya. Gendhis turun dari mobil dan menghampiri Nenek yang sudah berdiri menyambut di depan pintu rumahnya.
“Gedhis, kamu sudah besar sekarang,” ucap Nenek sambil memeluk cucunya.
“Iya, Nek. Gendhis sekarang sudah kelas 5 SD loh,” ucap Gendhis sambil mencium tangan Neneknya.
Nenek begitu senang bisa bertemu Gendhis setelah 2 tahun lamanya tidak berkunjung. Nenek mengajak keluarga Gendhis masuk ke dalam rumah dan menikmati sajian yang sudah tersedia di meja ruang tamu. Ada macam-macam jenis jajanan pasar dan wedang jahe asli yang sudah siap untuk dinikmati.
Sambil menikmati suguhan, mata Gendhis tertuju kepada sebuah kayu besar yang berlubang. Dia menghampiri benda tersebut dan memperhatikan penuh rasa heran. Benda tersebut ada dua macam, yang satu bentuknya memanjang besar dan satunya agak kecil. Keduanya memiliki lubang dan sebuah kayu panjang seperti tongkat.
“Nenek, apakah ini akan dijadikan perahu?” tanya Gendhis penasaran.
Mendengar pertanyaan Gendhis semua menjadi tertawa. Sedangnya wajah Gendhis menjadi bingung melihat Ayah, Ibu serta Neneknya.
“Bukan Gendhis, benda itu namanya Lesung,” ucap Nenek sambil menghampiri Gendhis yang masih berdiri di samping Lesung.
“Lesung? untuk apa Lesung ini, Nek?”
“Lesung ini untuk menumbuk padi atau gabah yang sudah di panen. Di Yogya ada tradisi yang masih dilakukan dengan lesung ini, namanya Gejog Lesung,” Nenek berusaha menjelaskan kepada Gendhis yang begitu penasaran dengan Lesung.
Walaupun Gendhis mendengarkan dengan seksama, namun dia masih bingung dan penasaran bagaimana cara kerja Lesung sampai bisa memisahkan padi menjadi beras.
“Kalau di tumbuk apakah tidak hancur, Nek?”
“Tentu tidak, karena fungsi alat ini memisahkan kulit gabah dari beras.”
Gendhis manggut-manggut seolah dia sudah mengerti cara kerja lesung tersebut. Melihat Gendhis yang tertarik dengan lesung, Nenek menceritakan sedikit tentang lesung yang kini sudah menjadi alat kesenian bernama Gejog Lesung. Kata Gejog berarti bersaut-sautan atau saling menimpali, sedangkan kata Lesung berarti benda untuk menumbuk padi. Cara memainkan Gejog Lesung dengan dipukul-pukul menggunakan tongkat kayu yang disebut alu. Biasanya dimainkan oleh empat atau lima orang sekaligus.
“Wah, seru banget Nek, cerita tentung Gejog Lesung itu,” ucap Gendhis semakin tertarik dengan permainan Gejog Lesung yang diceritakan Neneknya.
“Nah, kebetulan sekali Gendhis datang ke Yogya. Karena besok di Balai Kota akan ada festival Gejog Lesung. Besok kita datang untuk melihatnya,” jawab Nenek kepada Gendhis.
“Hore … Gendhis mau lihat. Gendhis tidak sabar menunggu besok,” teriaknya kegirangan.
Nenek dan orang tua Gendhis pun ikut senang sambil tertawa melihat tingkah Gendhis yang berjingkrak-jingkrak.
Hari yang ditunggu pun tiba. Nenek dan Gendhis pergi ke Balai Kota untuk menyaksikan festival Gejog Lesung. Jarak antara rumah Nenek dan Balai Kota tidak jauh, sehingga bisa berjalan kaki saja. Jalanan menuju Balai Kota begitu ramai, banyak warga yang ingin menyaksikan festival Gejog Lesung.
“Ramai sekali ini, Nek,” kata Gendhis sambil melihat rombongan orang yang ingin ke Balai Kota.
“Kamu benar, Gendhis. Sepertinya festival kali ini akan ramai pengunjung.”
Gendhis dan Nenek sampai di Balai Kota. Nenek mengambil tempat duduk paling depan supaya Gendhis bisa leluasa meyaksikan permaina Gejog Lesung. Gendhis begitu antusias melihat para pemain Gejog Lesung mulai naik panggung. Sesekali dia bertepuk tangan menyambut para pemainnya.
Acara pun dimulai, masing-masing pemain bersiap-siap dengan bagiannya. Ada yang menyanyi, ada yang berjoget, dan ada yang memainkan alat musiknya dengan menggunakan Lesung dan Alu. Pemain Gejog Lesung semuanya adalah perempuan yang anggotanya adalah ibu-ibu. Mereka menggunakan baju kebaya khas yogya dan terlihat anggun. Alunan musik di iringi dengan nyanyian merdu membuat Gendhis berdecak kagum, sesekali badannya bergoyang-goyang dengan raut wajah senang.
“Nenek, apakah belajar memainkan Gejog Lesung itu sulit?” tanya Gendhis.
“Kalau Gendhis ada niat dan mau belajar, semua tidak begitu sulit. Coba Gendhis perhatian pemain yang memukul lesung itu,” kata Nenek sambil menujuk ke arah pemain lesung.
Gendhis langsung mengikuti ucapan Neneknya. Dia memperhatikan para pemain lesung tersebut dengan seksama.
“Gendhis tahu, Nek. Mereka memukul lesung secara bergantian sesuai bagian iramanya sehingga menjadi kesatuan irama yang merdu,” ucap Gendhis.
“Betul, kuncinya kita harus kosentrasi mendengar dan memperhatikan tempo suara yang dihasilkan.”
“Ternyata tidak semudah yang dilihat ya, Nek. Perlu kepiawaian untuk bisa menjadi pemain Gejog Lesung seperti mereka.”
Liburan sekolah kali ini, Gendhis mendapatkan pengalaman baru dan mengenal seni Gejog Lesung dari Yogyakarta. Gendhis tidak sabar masuk sekolah dan menceritakan pengalamannya bersama cerita Gejog Lesung yang sudah dilihatnya bersama Nenek.
“Cerpen Ini Diikutkansertakan dalam Lomba Cipta Cerpen Anak PaberLand 2024”