Gua Haramaung

Desa Tumbang Pajangei sunyi senyap. Hujan turun tapi matahari sedang bersinar. Orang Dayak menyebutnya “ujan mandang”. Tak ada satu pun orang desa yang berani keluar rumah. Penyebabnya adalah karena seekor harimau besar. Ya, di hutan di dekat desa itu hiduplah seekor harimau yang disebut haramaung oleh orang desa. Binatang itu mencari mangsa di sekitar perkampungan penduduk.

Haramaung itu mencari mangsa pada saat hujan panas. Itu kebiasaannya yang sudah tidak asing lagi bagi warga desa. Oleh karena itu, anak-anak kecil dilarang keluar rumah pada saat turun hujan panas di desa itu. Biasanya yang diincar adalah binatang piaraan warga desa. Setiap haramaung keluar dari tempat persembunyiannya, selalu ada yang binatang ternak yang hilang. Entah babi, sapi dan kerbau. Bahkan pernah ada beberapa penduduk desa yang hilang diduga dibawa oleh haramaung itu.

Ada sebuah rumah kecil ujung desa itu. Di sana tinggal satu keluarga dengan tiga anak. Anak yang pertama bernama Rambang, sehingga ayah mereka dipanggil dengan nama Bapak Rambang. Ibu Rambang beternak babi di belakang rumah. Ibu Rambang sudah memberi makan babi piaraannya pagi tadi. Ia sedang menyiapkan makanan mereka di beranda belakang rumah. Sayup-sayup ia mendengar suara seperti dengusan binatang. Tapi suara itu kemudian lenyap. Ia meletakkan pisau yang ia pegang untuk mengiris batang pisang. Dipanggilnya Rambang dan adiknya Ringkai dan Sangen. “ Ayo, kalian bertiga, kesini dulu!”.

Segera Rambang, Ringkai dan Sangen menemui ibu mereka. Tapi bertepatan dengan kedatangan mereka di beranda belakang rumah, terdengar suara yang mengerikan dari arah kandang babi di belakang rumah mereka. Betapa terkejutnya mereka melihat seekor harimau besar sedang menggigit babi di dalam kandang babi. Oh, ternyata itulah binatang yang selama ini sering mereka dengar dari cerita orang-orang tapi tak pernah mereka lihat dengan mata mereka sendiri sebelumnya. Dalam keterkejutannya, Rambang segera berlari ke arah kamarnya mengambil mandau yang ia simpan di situ. Tapi ketika ia kembali harimau itu telah kabur dengan membawa mangsanya.

Ibu Rambang berhasil menenangkan dirinya. Ia duduk di kursi dapur sambil mengelus dadanya. “Oh, anakku. Untung saja haramaung itu tidak menyerang kita. Sekalipun satu ekor babi kita sudah diambil olehnya, tapi bersyukurlah kita tidak jadi korban.”

Rambang, Ringkai dan Sangen diam saja. Mereka berdua termenung memikirkan cara menyelesaikan permasalahan yang menghantui desa itu. Hal seperti bukan pertama kali terjadi dan sudah sangat meresahkan warga desa. Rambang adalah pemuda desa yang gagah berani. Ia seorang laki-laki yang perbuatannya selaras dengan perkataannya. Demikian juga kedua adiknya, Ringkai dan Sangen. Mereka bertiga giat bekerja dan tidak mengenal takut. Pekerjaan mereka untuk menghidupi keluarga mereka adalah bertani dan berkebun. Mereka adalah laki-laki muda yang kuat dan pantang menyerah. Semua orang desa mengagumi mereka sebagai anak muda panutan.

Esok sorenya, Rambang duduk di teras rumahnya. Ia menunggu kedatangan beberapa anak muda yang lain. Mereka berencana mengumpulkan semua tokoh desa dan para pemuda  di rumah betang pembakal (kepala desa). Mereka mendiskusikan bagaimana cara menyelesaikan kasus yang meresahkan desa itu.

Tak beberapa lama, datang beberapa anak muda dan orang tua. Ada Lambung, Simpei, Bahing, Tandang dan beberapa pemuda desa lainnya. Mereka segera berkumpul di rumah betang yang berada di dekat pinggir sungai Kahayan.

Pak Lambung, sebagai tetua desa memimpin rapat itu. Simpei mengusulkan untuk membunuh harimau itu bila binatang itu keluar lagi mencari mangsanya. “Tapi, bagaimana cara kita membunuhnya bila kebetulan pada saat itu hanya satu atau dua orang yang memergokinya memangsa ternak kita?” tanya Ringkai. “ Ya, betul”, sahut seseotang lagi. “Kita tidak bisa menghadapi binatang itu sendirian. Malah kita yang akan menjadi korbannya.”

Sangen bangkit dari tempat duduknya. Ia berseru,” Mari kita menghadapi ini bersama. Dengan jumlah kita sebanyak ini, saya yakin kita pasti menang.” “Kita hanya perlu mendatangi tempat tinggal harimau itu dan membunuhnya ketika ia sedang lengah”.

Semua orang dalam rapat itu termenung. Pergi ke tempat tinggal harimau dan membunuhnya bukanlah perkara yang mudah. Semua orang desa mengetahui betapa keramatnya tempat tinggal binatang itu. Haramaung tersebut diketahui warga tinggal di sebuah bukit di belakang desa itu. Tempatnya terpencil dan mempunyai nuansa magis yang menakutkan semua penduduk desa. Pagi, siang maupun malam, tempat itu selalu sepi dan hanya kadang-kadang terdengar suara harimau mengaum. Karena itu, orang-orang menyebut tempat itu Bukit Gua Haramaung.

Rambang akhirnya bersuara,’’ Kita tidak punya pilihan lain. Kita tidak bisa membiarkan hal-hal buruk terjadi di kampung kita ini tanpa kita berusaha mencegahnya. Entah akan berapa banyak lagi hewan ternak kita yang dimangsa binatang ini. Kasihan orang tua kita dan kita sendiri yang sudah banyak kehilangan babi, sapi bahkan kerbau. Suatu saat nanti, ketika tidak ada hewan ternak yang bisa dijadikan mangsa olehnya, kita juga bisa menjadi korbannya.”

Pak Lambung, tetua yang bijak menanggapi perkataan Rambang”, Memang benar. Kita harus memiliki keberanian. Mengapa kita membiarkan diri kita hidup dalam ketakutan tanpa ada usaha untuk menghilangkan sumber ketakutan itu? Hidup adalah anugerah yang harus kita hargai dengan keberanian dan kerja keras. Sekalipun kita tidak berhasil, setidak-tidaknya kita berjuang. Dayak adalah suku pemberani. Darah pemberani itu akan selalu mengalir dalam diri kita dan keturunan kita.”

Semua orang di tempat itu menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Rambang tidak salah. Suatu saat binatang itu pasti akan mencari mangsa lain sekiranya semua hewan ternak sudah tidak ada lagi. Karena banyak yang rugi dan takut kehilangan hewan ternak mereka, banyak yang tidak ingin lagi memelihara babi di kandang di belakang rumah mereka. Apalagi sapi dan kerbau yang ditempatkan pemiliknya di lapangan sapi yang jauh dari pemukiman penduduk.

Akhirnya mereka yang berkumpul di tempat itu setuju untuk bersama-sama esok paginya ke Bukit Gua Haramaung itu. Mereka menyiapkan senjata dan apa saja yang harus dibawa untuk menghadapi binatang buas itu. Ada yang membawa tombak yang disebut lunju, pisau mandau, dan bahkan Ringkai menyanggupi membawa sebuah kuali besar yang sering orang desa gunakan untuk memasak makanan ketika ada hajatan besar-besaran. Entah apa yang direncanakan oleh lelaki muda yang dikenal cerdas itu.

Esok subuhnya, pagi pagi sekali ketika embun masih menyelimuti kawasan desa yang dipenuhi rindangan pohon dan tanaman hijau, mereka berkumpul dulu di rumah salah satu warga di ujung desa. Bukit itu berada agak jauh dari pemukiman penduduk. Tidak ada warga desa yang berani membangun rumah di dekat bukit tersebut sekalipun mereka mempunyai tanah di situ. Apalagi sejak harimau itu mulai mencari mangsa di pemukiman. Sebelumnya binatang itu memang sudah diketahui orang tinggal bukit itu, tetapi saat itu belum pernah ada hewan ternak yang diburu olehnya karena hutan di daerah tersebut masih lebat dan masih dihuni banyak binatang liar. Tetapi sekarang desa itu sudah semakin ramai dan hutan di situ sudah sering dijelajahi orang untuk berburu.

Rambang berjalan paling depan. Dia membawa pusaka lunju di tangannya dan dipinggangnya disampirkan mandau pemberian kakeknya. Setelah memanjat bukit yang lumayan terjal, mereka sampai di bukit haramaung itu. Bukit itu berupa batu besar yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah lubang berdiameter kira kira satu meter. Harimau itu tinggal di dalam gua batu itu. Tidak terdengar suara binatang itu saat itu kecuali suara burung-burung berkicau dan daun yang berdesir. Tetapi dari kejauhan kelihatan sesosok binatang yang sangat besar dengan belang yang tampak menakutkan tepat di ujung dalam gua yang terpantul sinar matahari pagi.

Rambang menahan napas. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Jantung  mereka berdegup. Ada ketakutan yang tiba-tiba menjalar. Bagaimana jika harimau itu tiba-tiba bangun dan menerkam mereka satu demi satu? Betul mereka semua bersenjata, tetapi melawan harimau besar bukanlah perkara yang gampang.

Tiba-tiba Rambang melihat ada sebuah batu besar seukuran lubang pintu gua itu tak jauh dari sebuah pohon besar di belakang gua. Ia mendekati batu itu dengan pelan-pelan dan melihat sekilas di belakang gua itu ternyata tidak ada lubang pintu keluar. “ Oh, ternyata jalan masuk dan keluar harimau itu ternyata hanyalah lubang depan”. Ia berpikir cepat dan memberi isyarat kepada beberapa orang supaya mengikutinya. Dengan patuh mereka mengikutinya dan bersama-sama mengangkat batu itu ke depan lubang gua. Batu itu tepat menutupi lubang gua itu.

Terdengar suara auman harimau yang sangat menakutkan. Bulu kuduk mereka merinding. Haramaung itu berusaha mengeluarkan diri dengan menggeser batu besar itu dengan kekuatannya yang luar biasa. Memang belum terbuka tetapi jika ia terus berusaha, mereka sadar binatang itu pasti berhasil keluar.

Segera Ringkai membuat api unggun yang besar. Ia menjerang air dari sumber air di dekat situ dalam panci besar yang ia bawa. Segera yang lain paham maksud perbuatan Ringkai. Beberapa tetua desa yang ikut dalam perburuan itu mengambil tanaman tertentu yang ada di sekitar situ. Tanaman itu mengandung ramuan yang mematikan. Mereka memasukkan tanaman itu ke dalam air yang mulai mendidih.

Ketika air sudah mendidih bersama-sama mereka mengangkatnya mendekati lubang gua itu. Batu penutup gua itu mulai sedikit terbuka. Ada celah besar yang berhasil dibuat oleh harimau itu dengan menggerakkan batu penutup itu, tetapi tidak cukup besar untuk bisa ia lewati. Binatang itu tampak murka. Ia mengaum semakin keras. Tepat ketika ia membuka mulutnya lebar-lebar, mereka menyiramkan air mendidih ketubuhnya dan mengenai muka dan lehernya. Binatang itu mengaum keras tanda kesakitan dan segera berlari ke belakang. Dengan cepat mereka menutup pintu itu lagi rapat-rapat sehingga tidak ada celah lagi yang tersisa.

Mereka menunggu beberapa lama dengan siaga. Tetapi tidak terdengar lagi suara binatang itu setelah aumannya yang terakhir ketika ia sedang kesakitan. Rambang dan seluruh rombongan mereka pulang ketika sinar matahari sudah tepat di atas mereka. Sejak saat itu tidak pernah lagi haramaung itu ke luar gua itu dan menakuti-nakuti desa Tumbang Pajangei.

Sampai sekarang gua harimau itu masih ada di perbukitan di belakang desa Tumbang Pajangei. Banyak orang yang mengunjungi tempat itu karena pemandangannya yang indah. Dari atas bukit Gua Haramaung itu, kita bisa melihat keindahan Desa Pajangei dan Sungai Kahayan. Tempat itu akan selalu dikenang sebagai pengingat akan keberanian dan perjuangan suku Dayak dalam menjalani kehidupan di tanah pusaka.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar