Hadiah untuk Jeki

Cahaya matahari meredup pertanda malam mulai tiba. Namun, Dodo semut belum ingin pulang untuk beristirahat.
“Dilanjutkan besok saja, Do. Ayo, kita kembali ke istana,” ujar Didi, yang juga teman sekamar Dodo.
“Tanggung. Sedikit lagi,” sahut Dodo.
Dia memang semut pekerja yang terkenal rajin. Bahkan tidak segan berhenti di tengah jalan, membantu teman yang kelelahan menjalankan tugas. Dodo juga sering berbagi makanan miliknya.
Setelah Didi pamit pergi, Dodo tetap bersemangat mengangkut persediaan makanan untuk ratu. Tidak dihiraukannya suara Jeki jangkrik yang semakin mendekat, tanda malam mulai semakin larut.
“Hei, semut. Pulanglah. Ini daerah kekuasaanku,” tegur Jeki.
“Ma-maaf, sisa sedikit lagi gula yang harus kupindahkan ke istana,” jawab Dodo.
“Bisakah kau bawa besok saja?”
“Maaf, Jeki. Besok aku ada pekerjaan yang lain lagi.”
“Kau ini keras kepala! Ini sudah malam. Waktumu untuk pulang!” hardik Jeki seraya menghalangi langkah Dodo.
“Ba-baiklah, aku akan kembali besok. Asalkan gula-gulaku tetap aman di sini.”
Dodo mengalah pergi. Dia tidak ingin bertengkar dengan Jeki. Namun, Jeki masih merasa kesal. Diam-diam, Jeki ingin memberi pelajaran untuk Dodo. Jejak gula-gula dihapus oleh Jeki agar Dodo tidak kembali besok pagi.
“Dodo tak akan bisa ke sini lagi. Hu’uh! Menyebalkan sekali,” gerutu Jeki.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Dodo sudah keluar dari istana. Dia tidak sabar untuk menuntaskan tugasnya yang tertunda, tetapi ….
“Wah, aku harus ke mana, ya?” pikir Dodo.
Arah menuju gula-gula yang ditandainya mendadak hilang.
“Setelah ke utara, bertemu pohon tauge, lalu ke barat, lalu … ke mana lagi, ya?”
Dodo bingung sendiri. Teman-temannya sedang mengerjakan tugas lain di tempat yang berbeda. Tidak mungkin bagi Dodo untuk kembali ke istana, karena dia satu-satunya semut yang bertanggung jawab membawa gula-gula terakhir.
“Apakah semalam jejaknya terhapus oleh hujan?” batin Dodo sambil tetap mencari tahu bekas tanda menuju gula-gula.
Tanpa disadari, Dodo semakin jauh dari istana. Di pun kelelahan dan kelaparan. Dodo lupa menyimpan cadangan makanan di perut, karena sebelumnya dia mengira hanya butuh waktu sebentar menyelesaikan tugas sebelum sarapan tiba.
Sayup-sayup didengarnya derik Jeki. “Jeki! Jeki! Di mana gula-gulaku?” teriak Dodo sambil berlari ke sana kemari.
Jeki mendengar suara Dodo, tetapi dia pura-pura tidak tahu. Jeki diam dan mengamati Dodo dari kejauhan.
“Sepertinya jarak Jeki makin menjauh. Dia tak mendengar panggilanku,” ucap Dodo lirih sambil merangkak masuk ke bawah akar pohon besar.
Jeki tertawa puas. Namun, saat kembali ke sarang, dia menerima kejutan dari Belo si belalang kayu.
“Hai, Jeki! Aku lupa menyampaikan ini padamu.”
“Hai, Belo. Lama tak bertemu. Kau membawa hadiah untukku? Wah, terima kasih sekali!”
“Bukan. Ini bukan dari aku, tapi titipan dari Dodo.”
“Hah? Benarkah?”
“Benar, Jeki. Potongan daun sawi ini khusus untukmu dari Dodo.”
“Ada apa dia memberiku sawi?”
“Katanya, sebagai ucapan terima kasih karena telah diizinkan mengambil gula-gula di daerah kekuasaanmu.”
“Yaa, aku memang tak makan gula, tetapi ….”
“Jeki! Kau mau ke mana?” panggil Belo keheranan melihat Jeki yang mendadak pergi.
Jeki bergegas menuju akar pohon besar tempat Dodo beristirahat. Kaki tangannya gemetar saat melihat Dodo tergeletak lemas. Jeki takut jika Dodo sakit atau mati.
“Dodo,” panggil Jeki seraya menyentuh badan Dodo.
Tidak bergerak!
Jeki bergegas mengambil dan membawa beberapa gula, lalu menyuapkan gula secuil demi secuil ke mulut Dodo.
“Te-terima kasih, Jeki,” ujar Dodo lirih.
“Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Dodo.”
Jeki terus merawat Dodo hingga sehat dan mengantarnya pulang ke istana. Tentu saja, Jeki juga membantu Dodo membawa gula-gula yang tersisa.
Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar