Judul Novel : Galeo Anak Segara
Pengarang : AndarA
Tebal Halaman : 274 Halaman
Penerbit : Studio Amarana
Tahun Penerbitan: 2020
“Bukan orang segara jika ombak reda
Justru laut bergelora membuat kita berjaya
Orang segara…Perkasa!”
Penulis mengajak pembaca untuk berimajinasi dengan dunia yang seluruhnya berisi lautan. Dalam Dunia Samuagara ini, terdapat masyarakat Napak yang hidup mengambang di tengah segara. Orang Napak digambarkan sebagai sea walkers, atau orang yang mampu berjalan di atas air. Galeo Anak Segara meramu kisah unik tentang problematika dan dinamika psikologis seorang anak remaja Napak Merah. Pembaca diajak menyelami kegelisahan Galeo dalam menyelesaikan Ujian Ikiro.
Galeo adalah seorang anak Napak Merah yang penakut. Ia memutuskan kabur dari Ujian Ikiro, yang merupakan ujian membaca tanda-tanda alam bahari. Tujuan ujian ini jelas, agar mereka semua menjadi orang segara nan perkasa.
Pembaca bisa merasakan kegelisahan Galeo dari penggambaran suasana lokasi ujian. Kobaran api raksasa yang ada di Hutan Laut Werapi membuat sejumlah anak-anak ciut nyalinya, termasuk Galeo. Dikatakan bahwa Ujian Ikiro sangat berbahaya. Jika seseorang salah membaca tanda dan gerak-gerik hewan buruan, bisa-bisa orang itu berakhir sebagai santapan makhluk segara (halaman 13).
Galeo merasa tidak mampu menghadapi ketakutannya sendiri. Ia hanya bisa kabur dari Ujian Ikiro. Keputusannya untuk kabur menuai konsekuensi amarah dari Apak ( bapak) dan sejumlah orang di kampungnya. Sang Amak (ibu) yang bernama Sapia memutuskan membawa pergi Galeo dan Adeleo, adik perempuan Galeo pindah ke kampung baru.
Pergulatan hati Galeo terlihat jelas bagi pembaca. Meskipun ia berhasil kabur, Galeo menjadi trauma dengan kejadian di hutan tersebut. Galeo merasa gagal memenuhi harapan orang tuanya. Ditambah dengan fakta bahwa keluarganya seperti orang yang diasingkan di kampung baru. Ia kerap menangis dan meratap menyesali keputusannya.
“Mimpi itu lagi.
Rasa asin menyusup lidahnya.
Bukan itu bukan mimpi.” (halaman 17)
Galeo tidak pernah bisa menikmati hidup sejak hari itu. Namun ada sebuah kejadian mengubah hidupnya untuk selamanya. Anak penakut itu terpaksa mengarungi lautan luas demi mengejar adik perempuannya yang minggat. Adeleo minggat karena diajak main hantu laut! Karena ibunya sakit, Galeo harus mengejar adiknya tanpa bantuan siapa pun.
Dalam perjalanannya menemukan Adeleo, Galeo menghadapi tiga rintangan yang merupakan inti dari Ujian Ikiro. Terbuang dari komunitas membuat Galeo menjadi susah memercayai pihak lain. Beruntung, ada dua tokoh yang dihadirkan dalam membantu Galeo menemukan adiknya. Adeleo ditemukan sesaat Galeo hendak menghadapi intisari Ujian Ikiro kedua. Namun Adeleo masih ingin terus mengikuti “hantu laut” yang tidak kasat mata itu.
Ternyata pembaca baru memahami apa yang disebut hantu laut itu. Yang disebut Adeleo sebagai “hantu laut” adalah kenangan-kenangan indah yang mengisi hidup Galeo dan adiknya di pondok Anek (neneknya).
“Galeo mengerti sekarang… Sosok-sosok gambar itu adalah kenangan adiknya. Mengunjungi pondok itu adalah cara Adeleo melepas rindu pada neneknya.”(halaman 94).
Meskipun terpenjara sepi, Galeo beruntung memiliki adiknya yang optimis dan pemberani. Di pondok itulah mereka berbagi rahasia hati terdalam. Hingga Adeleo memahami alasan kakaknya menghindari Ujian Ikiro. Awalnya, Adeleo marah karena ia terancam tidak mendapatkan nama baginya sendiri—yang merupakan hadiah dari kelulusan Ujian Ikiro. Baginya, kehilangan kakak jauh lebih menyiksa daripada tidak mendapatkan nama baru (halaman 101).
Ujian ketiga adalah membaca mata atau niat. Perjuangan mereka memancing adrenalin para pembaca. Uniknya, penulis mampu menyisipkan pula sebuah fakta indah: bahwasanya eustress sangat diperlukan untuk membuat setiap manusia naik level. Eustress datang secara mendadak, namun kehadirannya dapat menaikkan motivasi dan kinerja setiap orang yang menghadapinya.
Dalam kisah Galeo Anak Segara, pembaca diajak untuk melihat bahwa Galeo harus mengikuti pertempuran terakhir antara awak Arung Seram melawan bajak laut Togelo. Remaja tanggung ini harus mengerahkan segala kemampuannya untuk berjuang melawan perompak yang menakutkan. Meskipun terasa sengsara di tengah segara, Galeo mendapatkan sebuah pelajaran berharga lagi: membaca niat dan watak manusia.
Tentu saja kisah ini berakhir dengan happy ending. Galeo dan adiknya berhasil kembali ke kakampung Molihnapak yang menjadi tempatnya saat ini. Kedewasaan Galeo yang teruji di tengah segara telah menjadikannya sosok manugara (manusia segara) sejati. Namun ada kejutan lain yang menanti pembaca. Keperkasaan seseorang kadang tidak melulu hanya ditunjukkan dalam hal fisik. Namun terlihat pula dari cara mereka menangani dan menghadapi kedukaan dan perpisahan dengan orang terkasih.
“Galeo tersenyum. Ia tidak menyembunyikan kenyataan tentang kematian ibunya pada si adik. Galeo membiarkan adiknya bersedih-sedih sampai ia tenang kembali” (halaman 255). Sebuah pembelajaran penting bagi pembaca adalah kemampuan dan kesediaan diri dalam memeluk kesedihan. Kedukaan bukanlah sesuatu untuk disembunyikan, apalagi ditolak. Semakin orang diberi ruang untuk berdukacita, maka semakin cepat pula individu tersebut pulih.
Dengan kepiawaian penulis meramu cerita yang dibalut tentang kearifan Nusantara, pembaca tidak akan menyesal menuntaskan kisah “Galeo Anak Segara”. Dengan hasil riset yang dilampirkan di Seranai Sumber Gagasan (daftar pustaka), tampak jelas bahwa penulis sangat menghormati kekayaan budaya Indonesia. Hal itu dilukiskan dengan penokohan Galeo yang terinspirasi dari masyarakat Bajo Mola. Penulis memiliki harapan agar pembaca dapat merasakan berkunjung ke sebuah wilayah yang belum terpetakan di Nusantara, namun sudah merasa akrab dengannya.
Adapun kelebihan dari buku ini adalah sejumlah pengetahuan baru yang tergali dari kekayaan budaya Indonesia dari masa lalu. Rasa bangga dan cinta tanah air akan tergugah saat kita membaca kisah Galeo. Plot twist yang ditulis pun cukup baik, sehingga pembaca akan sulit menerka apa yang terjadi selanjutnya.
Peresensi belum dapat menemukan kekurangan dari buku ini. Peresensi merekomendasikan buku ini untuk menjadi bahan bacaan mulai dari usia 15 tahun ke atas. Sebuah buku yang layak dibaca, karena mengangkat semangat luhur kisah bumi Nusantara.
Biodata penulis: Jessica Valentina adalah penulis, editor, dan peresensi buku. Sejumlah karyanya dapat dilihat di letsread.asia, ributrukun.net, dan Koran Jakarta. Penulis dapat dihubungi di akun IG:@valent_jevanalie, email: [email protected]