Hanzo

Pegunungan Hokaido terletak di negara Jepang. Di sanalah tempat tinggal Hanzo, rubah merah terakhir. Dia adalah rubah jantan muda yang hidup sebatang kara. Ayah dan ibunya ditangkap oleh pemburu ketika menolong melepaskan kaki Hanzo yang terperangkap jebakan pemburu itu. Kabarnya, rubah merah diburu untuk dijadikan syal dan baju hangat di musim dingin. Begitu juga nasib sebagian rubah merah lainnya, sisanya memilih untuk bermigrasi menghindari pemburu.

“Aku lapar,” kata Hanzo sambil meringkuk di dalam gua yang sempit. “Aku harus keluar mencari makan.”

Rubah muda itu kemudian memaksakan diri untuk beranjak, meskipun perutnya nyeri karena lapar.

Hanzo menggigil, giginya bergemeletuk. Udara di luar gua sangatlah dingin, padahal musim dingin diperkirakan masih akan lama datang. Dia berjalan dengan terseok-seok karena kakinya yang terluka belum sembuh juga.

“Permisi, Tuan Usagi. Bolehkah aku meminta sedikit makanan? Aku kehabisan persediaan makanan,” seru Hanzo di depan liang rumah keluarga kelinci.

“Pergi! Kau makhluk karnivora. Mana bisa kami menampakkan muka di hadapanmu? Bisa saja kau menerkam dan memakan kami.” hardik Tuan Usagi.

“Tidak, Tuan. Percayalah! Aku bukan hewan seperti itu. Aku juga bisa memakan buah-buahan saja,” tukas rubah merah itu.

“Sudahlah! Pergi kau dari rumahku! Tinggalkan keluargaku,” usir Tuan Usagi sekali lagi.

Hanzo meninggalkan rumah keluarga kelinci dengan sedih, “Aku harus pergi meminta bantuan ke mana lagi sekarang?”

Di tengah jalan Hanzo berpapasan dengan Roki si rakun. Tangannya penuh dengan buah ceri. Hanzo menelan ludah melihat buah-buah ceri yang berwarna merah itu.

“Maukah kau membagi sedikit buah ceri itu kepadaku? Aku kelaparan. Persediaan makananku sudah habis.” Hanzo memberanikan diri untuk meminta kepada Roki.

“Enak saja! Buah-buah ini kudapatkan dengan susah payah. Cari saja sendiri!” bentak Roki kemudian pergi begitu saja.

Krucuk… Krucuk…

Hanzo merasa semakin lapar. Dia berjalan mengelilingi pegunungan sambil mencari buah-buahan yang mungkin bisa dimakan. Nihil. Semua buah sudah habis dimakan atau disimpan hewan-hewan lain untuk persediaan di musim dingin.

Sejenak Hanzo bimbang. Kalau aku kembali ke gua, maka aku tetap lapar. Apalagi tidak ada hewan lain yang akan membantuku, gumam Hanzo dalam hati.

Tiba-tiba Hanzo menangis. Dia merindukan kedua orang tuanya. Teringat kehangatan tidur di bawah pelukan ibunya sambil menunggu ayahnya pulang membawa hasil buruan, burung pegar yang lezat. Rubah ekor merah adalah hewan omnivora mereka bisa memakan buah-buahan maupun daging hewan lain.

Akhirnya, Hanzo memutuskan untuk mencari makanan lebih jauh dari gunung. Dia lalu berjalan menuruni lereng gunung. Udara yang dingin membuat perutnya semakin melilit.

Setelah berjalan jauh, Hanzo melihat asap yang membumbung ke udara. Dia tahu jika ada asap berarti ada manusia. Orang tuanya sudah pernah menasihatinya untuk menjauhi pemukiman manusia. Namun, Hanzo tetap saja nekat, karena merasa sudah tidak ada tempat lain yang bisa dituju olehnya.

“Dong! Dong!

Suara bonsho, lonceng kuil berdentam keras.

Rupanya tempat yang didatangi oleh rubah muda itu adalah sebuah kuil. Beberapa biksu berlalu lalang di sekitar bangunan kuil. Hanzo merapatkan tubuhnya ke tembok, takut tertangkap oleh para biksu itu.

“Lihat! Lihat! Ada rubah merah di dalam kuil,” seru salah satu biksu berbadan tinggi.

Hanzo ketakutan. Dia telah tertangkap basah. Rubah muda itu bersiap melarikan diri, namun dia sudah tidak kuat lagi untuk bergerak dan akhirnya jatuh pingsan.

“Syukurlah, akhirnya, kau bangun juga rubah kecil.”

Hanzo mendengar ucapan seseorang saat dia membuka matanya. Di hadapannya ada seorang biksu tua.

“Namaku, Biksu Akasaka. Makanlah ini, sepertinya kau belum makan, sampai-sampai kau jatuh pingsan,” Biksu itu menyodorkan sepiring buah-buahan ke hadapan Hanzo.

Dengan ragu-ragu Hanzo mengambil sebutir ceri yang tampak sangat lezat. Matanya mengerjap, Ini ceri terlezat yang pernah aku makan, kata Hanzo di dalam hati.

Dalam sekejap piring yang berisi buah-buahan itu pun kosong. Biksu Akasaka tersenyum senang melihat rubah merah di hadapannya makan dengan lahap.

“Jika kau sudah kuat untuk berdiri, ikutlah denganku,” ajak sang biksu.

Hanzo membuntuti biksu tua itu, mereka berjalan melewati kolam ikan, melewati beberapa bangunan kuil yang terawat dengan baik, baru kemudian sampailah mereka di depan sebuah patung.

“Kenapa patung itu mirip denganku?” gumam Hanzo pelan.

“Inilah patung penjaga kuil kami. Kuil Inari,” kata Biksu Akasaka sambil menunjuk patung rubah merah yang terbuat dari batu pualam. Patung itu tampak terawat dengan baik dan berdiri dengan kokoh di depan gerbang kuil.

“Kami percaya bahwa rubah merah merupakan utusan dari Dewa Inari. Dewa kami yang memberi kesuburan dan menjaga pertanian kami.”

Hanzo mengangguk mengerti.

“Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersama kami sebagai penjaga kuil. Kakimu yang terluka itu pun akan kami obati sampai sembuh,”kata Biksu Akasaka kemudian.

Hanzo mengangkat ekornya, tanda dia sedang bahagia. Akhirnya, dia tidak akan sendirian lagi, tidak akan kesulitan mencari makan, dan di kuil ini dia diterima dan diperlakukan dengan sangat baik.

Bergembiralah Hanzo!

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar