Harga Kebaikan

“Hm, enak sekali rasanya. Upah hari ini benar-benar banyak,” ucap Pino menghitung uangnya.

Pino duduk bersandar di bawah pohon menikmati coklatnya. Wajah Pino berseri-seri.

“Hm, kalau begini terus, aku bisa jadi orang kaya,” pikir Pino menerawang.

Pino bangkit dari duduknya. Dia menepuk-menepuk celananya yang kotor tertempel tanah.

“Aku harus cepat ke alun-alun kota. Apalagi saat ini ada pasar hiburan. Pasti nanti upah yang kuperoleh banyak,” batin Pino.

Pino berjalan dengan riang menuju alun-alun kota. Dia berpikir di sana pasti menemukan banyak orang yang butuh pertolongan. Sebenarnya Pino anak yang baik dan suka menolong tanpa pamrih. Tapi karena kebaikannya, banyak orang yang suka memberinya imbalan. Sejak itu Pino selalu mengharapkan imbalan saat menolong orang.

Pino sudah sampai di alun-alun kota. Benar, alun-alun sangat ramai. Banyak pedagang yang berjualan di tepi alun-alun. Sementara di tengah alun-alun ada mainan komedi putar. Pino pun langsung memasang aksinya. Pino mulai mencari orang-orang yang butuh pertolongan. Saat dilihatnya seorang Bapak kesulitan membawa barang belanjaannya, Pino segera menghampiri.

“Maaf, Pak. Bisa saya bantu membawakan barangnya?” usul Pino.

“Oh, terima kasih. Tapi, sudah ada Nak Toli yang membawakannya,” jawab Bapak itu menunjuk seorang anak seumuran Pino.

Pino pun berlalu dari hadapan Bapak itu. Setelah agak lama, Pino belum juga menemukan orang yang membutuhkan jasanya. Pino malah sering bertemu dengan Toli. Anak yang disebut oleh bapak tadi.

“Hei, kamu Toli, kan?” sapa Pino mensejajari langkah Toli.

Anak itu menoleh dan menangguk.

“Barang bawaan kamu berat, ya? Boleh aku bantu?” usul Pino melihat Toli kesulitan membawa dua keranjang belanjaan yang penuh.

“Ini bukan milikku. Tapi punya ibu itu,” ujar anak itu menunjuk seorang ibu yang berjalan anggun.

“Kalau begitu, aku bantu membawakannya, ya?” usul Pino lagi. Pino berpikir Ibu itu pasti orang kaya dan akan memberikan imbalan besar.

Melihat ketulusan Pino, Toli menerima bantuan Pino. Di tempat parkir mereka berhenti dan menunggu ibu tersebut.

“Kalian tunggu di sini dulu. Saya ambil mobil dulu,” ujar ibu itu seraya berjalan menuju mobilnya.

Beberapa saat kemudian sebuah mobil sedan warna hitam berhenti di depan Pino dan Toli. Ibu itu keluar dan memberikan uang pada Toli dan Pino. Tapi Toli menolaknya. Melihat itu Pino serba salah. Terpaksa dia pun menolaknya. Ibu itu pun tersenyum kemudian menyodorkan dua batang coklat pada mereka.

Toli tersenyum dan menerima coklat tersebut. Melihat itu tentu Pino heran bercampur kesal. Kenapa Toli memilih menerima coklat daripada uang.

Setelah ibu itu pergi, Pino bertanya pada Toli, “Kenapa kamu menolak diberi uang dan menerima coklat itu?” dengus Pino.

Toli hanya tersenyum dan menyodorkan sebatang coklat pada Pino.

“Itu imbalan kita karena telah menolongnya,” ujar Pino lagi karena Toli tidak menjawab ucapannya.

“Oh, jadi harga kebaikan itu harus diukur dengan uang, ya?” balas Toli.

“Harga kebaikan? Maksudnya?” kernyit Pino bingung.

“Kita berbuat baik untuk menolong orang, kan? Jadi tidak harus dibayar dengan uang,” ujar Toli dan berlalu dari hadapan Pino.

Mendengar ucapan Toli, Pino terdiam. Dia teringat sesuatu. Ya, dulu Pino menolong orang tanpa imbalan. Tapi sekarang Pino telah melupakan hal itu. Pino melirik Toli. Sayang Toli telah pergi jauh.***

Dimuat Koran Anak Berani Januari 2014

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar