Hari pertama di kampung. Aku melihat bercak merah berserakan di mana – mana. Bercak merah itu menempel di dinding rumah, di lantai dan pada dedaunan tanaman di halaman rumah nenek.
Bercak merah apakah itu? Apakah itu darah? Aku bertanya – tanya sendiri. Aku harus mencari tahu.
Namun aku harus bertanya pada siapa. Pagi ini semua orang pergi. Ayah, ibu dan kakek sedang ke kebun. Hanya aku dan nenek yang di rumah. Aku bermain di depan rumah sedangkan nenek menganyam di belakang.
Aku lalu menyusulnya ke belakang rumah. Aku harus bertanya pada nenek. Mungkin dia tahu jawabannya.
Astaga!
Di sekitar tempat nenek duduk penuh bercak – bercak merah yang sama. Aku berlari mendekati nenek.
“Nenek, bercak merah apa itu?” Tanyaku sambil menunjuk pada bercak merah yang menempel di dinding.
Nenek tertawa melihat tingkahku.
“Hahaha, mengapa kau ketakutan begitu? Itu adalah air ludah nenek.” Jawab nenek.
“Ludah nenek? Kok bisa ludah nenek semerah itu?” Aku semakin dibuat bingung.
“Itu karena nenek mengunyah sirih pinang, cucuku.” Jawab nenek.
Nenek pun mengambil tempat sirih di sampingnya. Lalu mengeluarkan sirih dan pinang dari dalam tempat sirih itu. Satu buah sirih dimasukan ke dalam mulutnya. Ia juga mengupas pinang dengan pisau. Pinang itu dikunyahnya bersama sirih tadi.
Selain itu nenek mengambil kapur. Kapur pun dimasukan ke dalam mulutnya dengan jari telunjuk. Merahlah mulutnya. Air liur nenek juga mulai memerah. Kelihatan di ujung – ujung bibir nenek.
Nenek mengunyah sirih pinang itu seolah – seolah sedang menyantap makanan yang sangat lezat. Aku dibuat lapar olehnya. Namun tiba – tiba hal yang tidak kuduga terjadi.
Puih!
Nenek membuang ludahnya. Daun tanaman di sampingnya berubah menjadi merah.
Puih!
Nenek membuang ludah lagi. Batu – batuan yang berada di depanku menjadi merah. Akupun hampir saja terpercik ludah – ludah merahnya. Untung saja aku melompat, jika tidak kakikupun tak akan luput dari ludah merah nenek.
Berbahaya, pikirku. Aku harus mencegahnya. Jika tidak semua benda di sekitar kami akan berubah menjadi merah.
“Setop!” Teriakku saat nenek hendak membuang ludahnya lagi.
Seketika itu nenek menahan ludahnya. Aku segera berlari ke dalam rumah. Aku mencari wadah yang bisa kuberikan pada nenek. Dan, aku menemukan sebuah kaleng bekas cat di bawah meja makan.
Kaleng itu kuberikan kepada nenek. Nenek pun membuang ludahnya di dalam kaleng tersebut. Lega rasanya.
“Nenek, janganlah membuang ludah sembarangan. Bisa merah semua benda di sekitar kita. Mama juga pernah bilang membuang ludah sembarangan itu bisa membawa penyakit.” Aku memberitahu nenek.
“Selain itu aku juga jijik, Nek.” Lanjutku.
“Baiklah cucuku. Nenek tidak akan membuang ludah sembarangan lagi.” Jawab Nenek.
“Tapi maukah kau mencoba sirih pinang ini?” Tanya nenek.
Tanpa menjawab pertanyaan nenek, aku mengambil sebatang sirih dan sebuah pinang dari tempat sirih nenek. Aku segera memasukkan sirih itu ke dalam mulutku. Lalu kukunyah sirih itu dengan rakusnya.
“Puih, tidak enak!” Seruku.
“Rasanya pedas, Nek. Perih di lidahku.” Aku melanjutkkan keluhanku pada nenek.
“Hahaha, memang tidak enak, cucuku sayang. Apalagi pinang, pahit rasanya. Bahkan jika tidak terbiasa kau bisa dibuat mabuk dan sakit kepala.” Kata nenek sambil tertawa.
“Tapi tadi aku melihat nenek makan sangat lahap. Aku kira enak, Nek.” Kataku.
“Harusnya kau bertanya dulu pada nenek sebelum memakannya. Nenek kan sejak masih kecil sudah memakan sirih. Jadi bagi nenek, ini makanan terenak. Sehari tanpa sirih dan pinang terasa hambar hidup nenek.” Nenek masih tertawa.
“Aku kira rasanya sama seperti buah – buahan lainnya, Nek.” Kataku sambil mengeluarkan sirih dari mulutku.
“Tidak cucuku. Sana pergi minum air, biar tak perih lagi mulutmu”.
“Iya baik, Nek.” Kataku sambil bergegas ke dalam rumah mencari air minum.
Segelas air kuteguk sampai habis. Tapi rasa perih di lidahku tidak benar – benar hilang. Bahkan kali ini aku merasa lidahku makin keras dan tebal. Sangat tidak nyaman. Dengan segelas air aku kembali ke belakang rumah dan duduk di samping nenek.
“Setelah kuminum air lidahku malah terasa keras dan tebal, Nek. Aku merasa sangat tidak nyaman.” Aku mengeluh.
“Semua orang yang baru pertama kali makan sirih pinang pasti merasa seperti itu. Lama – lama akan terbiasa juga kok. Dulu nenek juga seperti dirimu, tetapi sekarang nenek makan sirih hampir tiga kali sehari.” Nenek menjelaskan.
“Mengapa nenek makan sirih pinang, Nek?” Tanyaku.
“Ini budaya kita, cucuku. Acara adat, penyambutan tamu dan ritual keagamaan sirih pinang itu penting sekali. Jadi, nenek makan sirih pinang. Bukan hanya nenek, orang sekampung ini juga makan sirih pinang.” Jawab nenek.
“Kau juga harus terus mencobanya ya. Jangan kapok. Makan sirih pinang adalah budaya kita” Lanjut Nenek.
“Baik, Nenek.” Aku mengiyakan.
Sejak hari itu, aku selalu mencoba memakan sirih setiap kali berkunjung ke kampung. Masih terasa perih tetapi aku telah terbiasa. Bahkan aku telah berani mengunyahnya bersama pinang dan kapur sehingga mulutku menjadi merah.
Sumber gambar : Poskupang.com