Ada ikan aneh di selokan depan rumah Kakek. Seperti ikan mas, tapi kecil sekali. Aku tahu bentuk ikan mas karena Ibu sering memasaknya. Aku dan sepupuku berjongkok di depan selokan yang jernih, mengamati puluhan ikan mas kecil berenang. “Itu anak-anak ikan mas, ya, Sel? Ibunya mana, ya?” aku bertanya-tanya.
“Itu bukan ikan mas, Na. Itu ikan impun.”
“Ikan mas, tahu. Lihat saja bentuknya, seperti ikan mas.”
“Aku sering lihat ikan seperti itu di sawah. Mereka tidak akan bertumbuh besar seperti ikan mas.”
Oh, ya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Nana, umurku delapan tahun. Sela, sepupuku, juga berusia delapan tahun. Kami sedang berlibur di rumah Kakek di Bandung. Aku tidak pernah menemukan sawah di dekat tempat tinggalku di Jakarta. Sedangkan, Sela tinggal di Kuningan. Di dekat tempat tinggalnya banyak sawah dan hutan. Itulah kenapa dia bisa tahu tentang ikan impun.
“Sela! Nana! Kakek punya oleh-oleh,” Kakek memanggil dari dalam rumah. Rupanya Kakek sudah pulang. Kami pun bergegas masuk.
Di atas meja, terdapat dua buah akuarium kecil. Di dalam masing-masing akuarium, terdapat seekor ikan yang berenang-renang. Ikan yang satu berwarna biru, satunya lagi berwarna merah. Ukurannya sebesar telapak tanganku dan ekornya lebar seperti kipas. Aku mengingat bentuk ikan yang aku ketahui. Ikan mas, ikan koki, ikan arwana, ikan lele? Bukan. Ikan impun? Bukan. “Ikan apa itu, Kek?” Sela mendahuluiku bertanya. Rupanya ia pun belum pernah melihatnya.
“Ini ikan cupang. Satu untuk Sela, satu untuk Nana,” ternyata itu oleh-oleh yang dimaksud Kakek. “Untuk dimakan?” tanyaku. Kakek menjelaskan bahwa ikan cupang termasuk ikan hias. Bentuknya cantik, tetapi tidak enak kalau dimakan. Ikan cupang juga merupakan hewan predator, artinya mereka memakan hewan lain. Kakek menyuruhku dan Sela menangkap ikan impun di selokan untuk memberi makan ikan cupang kami.
Aku dan Sela sangat bersemangat. Menangkap ikan? Kedengarannya seru! Kami berlari ke depan rumah dan berusaha menangkap ikan impun dengan tangan kosong. Hap! Hap! Hap! Setelah beberapa saat, kami belum juga berhasil menangkap seekor pun. Ikan-ikan itu lincah dan badannya licin.
“Bagaimana kalau kita pancing saja, Sel?” ujarku. Sela setuju. Kami menyatukan beberapa batang lidi, lalu mengikatkan tali di ujungnya. Sebagai umpannya, kami mengambil sebutir nasi dari penanak nasi. Kami menunggu beberapa saat, tetapi cara ini juga tidak berhasil.
Aku dan Sela pergi ke dapur dan mencari peralatan yang bisa digunakan untuk menangkap ikan impun. “Pakai ini saja, Na!” Sela mengangkat saringan untuk meniriskan mie. Kami bergegas keluar. Sela berdiri di pinggir selokan sementara aku mengamati. Ia mengayunkan saringan perlahan. Akhirnya, beberapa ikan impun berhasil ditangkap! Kini aku bukan hanya punya ikan cupang tapi juga ikan impun. Saat diberi makan, ikan cupang makan dengan lahap.
Sebelum tidur, aku dan Sela berjanji untuk menangkap ikan impun lagi esok pagi. Namun, ketika bangun tidur, kami terkejut karena ikan-ikan kami hilang. Akuarium kosong dan banyak cipratan air di meja. Kakek pun tidak tahu mengapa mereka bisa hilang. Ikan ‘kan tidak punya kaki, mana mungkin bisa lari? Kami tidak dapat memecahkan misteri ini. Akhirnya, aku dan Sela tidak jadi menangkap ikan impun. Kami memutuskan untuk bermain bersama kucing peliharaan Kakek.