Impian Min Min

IMPIAN MIN MIN

Oleh : Kiki Lie

           Tik! Tik! Tik!

“Ah… si Min Min kenapa lagi?” aku berlari, dengan kedua cakar hitam melindungi kepala dari hujan.

“Pasti sedih lagi.” Bong si macan menimpali. Ya, kejadian seperti ini sudah biasa di Gunung Cemara. Ketika Min sedih, hujan turun sekalipun matahari bersinar terang. Kami berlari kecil berteduh di bawah Pohon Mapel raksasa. Pohon berumur 199 tahun yang daunnya lebar dan unik kemerahan.

“Di mana ya rubah itu?” aku melihat sekeliling.

Di balik rintik hujan, di sebelah kiri, Bong melihat bayangan putih mendekat. Min Min datang dengan kepala tertunduk, mengibaskan sembilan ekornya yang sesungguhnya indah kini basah.

“Min! Kamu kenapa?” tanya Bong.

“Bong, Gom, aku tidak bisa masuk desa.” Min terduduk lesu di samping Bong.

Min mendesah. Ia menggaruk-garuk cakarnya ke tanah. Sembilan ekornya ia biarkan terurai.

“Kenapa?” Bong jongkok di hadapan Min.

“Anjing-anjing kampung itu menghalangi langkahku,” Min menepuk tanah yang digaruknya, meninggalkan bekas telapak kakinya, “Padahal aku sudah menyamar jadi manusia. Tetap saja mereka mengenaliku.”

“Baumu bukan bau manusia, Min.” celetukku sembari ikut duduk di sisinya.

“Iya, sih. Seandainya saja aku jadi manusia sungguhan.”

“Kenapa?” Bong dan aku saling menatap tak mengerti.

“Aku mau jadi manusia yang baik hati seperti anak itu. Menjadi teman anak itu.”

Bong dan aku tersenyum tipis. Hati Min yang gundah mulai tenang. Hujan pun perlahan reda.

Min bangkit dan menggoyangkan tubuhnya untuk menyingkirkan air yang menempel pada bulu-bulunya. Kami menutupi wajah agar terhindar dari cipratan.

“Min, aku perhatikan kamu sering ke desa. Ada yang kamu cari?”

“Anak itu, Gom.” jawabnya singkat sambil memutari pohon.

“Anak itu?” Bong mengusapi bulunya, “Anak yang menolongmu ketika masih kecil?”

“Yang menjagamu ketika sekelompok anak-anak berusaha mengganggumu?” timpalku sambil menjentikkan jarinya. Tring…. Sebuah buli-buli madu muncul secara ajaib di hadapannya.

Min pun mengangguk. “Bukan itu saja, sebelumnya, pada suatu malam, ketika aku melewati sebuah rumah, dari bawah jendela aku mendengar anak itu berkata, ‘Bu, di malam dingin seperti ini, rubah kecil dan induknya mungkin menangis kedinginan ya?’

“Tapi itu sudah lama sekali.” aku duduk bersila menjilati tangan kananku yang berlumuran madu. Sedangkan tangan kirinya memeluk erat buli-buli madu.

“Iya, Min,” kata Bong, “Anak itu sudah dewasa sekarang. Mungkin sudah pindah ke kota. Mencarinya sama saja seperti kue beras dalam gambar1 lho.”

Seketika kami terdiam. tak ada yang bersuara selain sesekali suara desah napas sisa menangis si Min mengisi kebisuan. Ia memandang Danau Surga yang letaknya tak jauh dari sana. Ya, di puncak Gunung Cemara terdapat danau luas yang disebut Danau Surga. Danau itu sangat bersih, bebas dari sampah yang mengganggu keindahannya.

Ya.. tumpah, batinku sambil membersihkan noda madu di bawah bulu leherku yang terdapat tanda unik berwarna oranye.

Bong mengarahkan pandangannya ke arahku seperti memberi tanda. Aku paham apa yang diinginkan Bong. Sebenarnya aku masih ingin menikmati madu ini, tapi aku memilih untuk menyimpan buli-buli. Tring! Buli-buli hilang seketika.

“Min, ayo kita ke desa,” ajakku sambil menepuk punggung Min, “kita cari anak itu.”

Bong bangkit menyusul teman-temannya. “Ayo!”

Mereka pun bersepakat untuk turun gunung. Salju masih tersisa di jalan. Larch dan Juniper berbaris di sepanjang jalan setapak. Koloni mawar kuning yang hanya terlihat di dataran tinggi menambah indah pemandangan. Di bawah sana, musim semi yang hijau telah tiba. Seluruh hutan bercermin di danau yang setenang angkasa. Air terjun yang mengalir terus-menerus menawarkan sejuk. Di dalam hutan, bunga-bunga liar berwarna-warni bermekaran.

Di pinggir hutan, kami berhenti sejenak.

Bong yang paling semangat mengangkat kaki depan sebelah kanan, ia gunakan untuk menulis di udara sebuah kata, BERUBAH! Pusaran awan hijau memutari dan menutupi tubuhnya. Seketika, saat awan hijau berangsur-angsur hilang, seorang anak laki-laki remaja berambut ikal berdiri tegak sebagai samaran.

Aku pun tidak mau kalah unjuk gigi, dengan menepukan kedua telapak cakar depan dan berkata, “berubah!” Tring! Taburan bintang putih menutupi tubuh besar berbulu hitam. Dari balik awan, muncul seorang anak laki-laki tambun sebagai samarannya.

Angin berhembus semilir membuat daun bergesekan. Aku lihat Min memejamkan matanya. Ia pun menarik napas dalam-dalam selama 3 detik. Tahan napas selama 3 detik, lalu hembuskan napas perlahan selama 3 detik. Perlahan manik gumiho mengeluarkan cahaya merahnya. Manik butiran kecil energi dan pengetahuan yang tersimpan di dalam tubuh gumiho. Whooooosh!… Kesembilan ekor Min berdiri mengembang. Pusaran awan merah memutari dan menutupi tubuh.

“Berubah!” serunya dengan pasti. Whooooosh!… Seketika, wujudnya berubah menjadi seorang anak perempuan remaja.

Tapi ada yang aneh dengan salah satu di antara mereka.

“Bong, ekormu!” aku memperingati.

Settt… Bong segera menyembunyikan ekornya, lalu menggaruk kepala tersenyum malu.

Baru saja hendak melangkah ke desa, anjing Jeju menghadang. Mereka mirip Spitz yang sulit dibedakan dengan serigala abu-abu. Mereka selalu waspada. Sungguh anjing penjaga yang sangat baik.

Grrrrrrr…. guk…. guk…. guk….

Saat melihat kedua anjing itu menghadang mereka, Min bersembunyi di balik Bong. Ia tidak suka anjing. “Itu mereka.”

“Biar aku yang bereskan,” aku pun menghampiri mereka, mencondongkan wajah ke depan, dan menunjukkan wujud asli, “Aummm…!”

Kaing… kaing…. rengek kedua anjing itu, lalu lari terbirit-birit.

Sontak kami tiga sahabat tertawa terbahak-bahak sampai wajah tertunduk. Semua terhenti sampai Min merasakan sesuatu. Hidungnya menangkap sesuatu yang ia kenal. Min terus mengendus sampai ke sumber bau itu. Kedua temannya mengikuti dari belakang tak mengerti. Apakah Min mengendus bau anak itu? Pikir mereka.

Ketiganya berhenti di depan sebuah kedai. Tertulis dengan jelas nama kedai itu, KEDAI SOP TAHU IBU MINA. Ternyata bau yang Min hirup adalah aroma masakan dari kedai itu.

Kami menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Aku dan Bong sepakat menarik kedua tangan Min, “Tunggu, teman-teman. Aku sudah tiga hari ini belum makan sup tahu Ibu Mina,” rengek Min yang terseret mundur, “ehh… tunggu… tunggu… aku rasakan ada dia.”

Bong melepaskan Min. “Kamu serius, Min?”

Setelah mengendus untuk memastikan, Min lari menuju sumber bau. Di ujung jalan, anak itu berjalan sambil melihat gawainya. Ya, dialah yang Min cari. Anak yang ceroboh. Setelah keluar dari lembaga kursus di sebelah kedai sop, anak itu menyeberang tanpa melihat SUV Hyundai yang melaju kencang. Min secepat kilat menghampiri dan mendorong anak itu. Sebagai gantinya, Min tertabrak mobil itu dan terpelanting jauh.

“Min!” kami lari mendekat. Bong membantu anak itu bangun. Hanya tangannya yang lecet. Sedangkan aku memeriksa keadaan Min, kondisinya kritis.

Tak lama kemudian, manik gumiho dalam tubuh Min bersinar. Luka luarnya berkurang dan hilang. Tapi ada yang aneh. Min belum sadarkan diri. Bau khas rubah berangsur hilang. Aku yang memiliki penciuman lebih baik dibanding Bong yang pertama menyadari.

“Min, kamu tidak apa-apa?” tanya Bong.

“Min, sepertinya impianmu terjadi.” bisikanku didengar juga oleh Bong yang mendekat. Bong tidak mengerti apa yang aku katakan. Perlahan mata Min terbuka, ia mulai sadarkan diri. Ia menyadari keadaannya yang sekarang, menjadi manusia seutuhnya.

***

            Seminggu pun berlalu setelah kejadian itu, aku dan Min berlari kecil menuju kedai sup tahu Ibu Mina dan memasukinya. Betapa terkejutnya ia kembali melihat anak itu. Ia duduk di salah satu bangku di warung itu. Min menyapanya malu-malu, “Hai!”

Anak itu terssenyum, “Hai!” ia memandang Min lama sekali, “Sepertinya ini bukan kali pertama kita berjumpa. Apakah kita pernah bertemu?”

Min hanya bisa tersenyum menggelengkan kepala. Mereka pun saling berjabatan tangan. Sebuah awal Min menjadi teman anak ini.

Catatan :

1Idiom dalam bahasa Korea yang berarti sesuatu yang diinginkan, tetapi tidak bisa dicapai.

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar