Penulis: Little Magic
Wus..wus..wus
Angin semilir bertiup dari utara ke selatan menghampiri sebuah kebun di perbukitan yang tenang.
Di kebun tersebut berdiri empat rumah sederhana yang bertetangga dengan pohon singkong, wortel, sawi dan berbagai tanaman sayur lainnya. Salah satu rumah tersebut memelihara seekor kucing putih-oranye bernama Konyah, diberi nama demikian karena memang hewan berbulu lembut ini senang sekali mengunyah apapun yang bisa ia makan.
Konyah sangat bosan, anak-anak tidak kunjung pulang dari sekolah sementara ia sudah ingin bermain. Di depannya kini hanya ada si Jalu sang ayam jantan yang sedang mematuk-matukkan paruhnya di halaman sambil mencari makan.
Konyah dan Jalu telah berkawan sejak lama, sebab ‘tak banyak hewan lain seperti mereka tinggal di bukit itu.
“Cuacanya enak sekali, udara hangat dan angin sepoy-sepoy ini membuatku ngantuk,” ucap Konyah sambil meregangkan badannya.
Jalu menggelengkan kepala heran, “Tiada hari tanpa mengantuk,” sahut Jalu, “Memangnya kapan kamu tidak mengantuk, Nyah?”
Konyah hanya menjawabnya dengan menguap.
“Lihatlah aku, setiap saat aku mempunyai hal yang ingin kulakukan, kadang aku mencari makan, jalan-jalan ke tepi bukit untuk melihat jalan desa di bawah sana, atau sesekali mengepak-kepakkan sayapku sambil meneriakkan kalimat andalanku, kukuruyuk,” Jalu bangga dapat melakukan ini.
“Aku tidak ingin melakukan itu.”
“Mengapa tidak ingin? Lihatlah sayap dan kakiku, terlihat kekar. Paruhku kuat, mataku jernih dan tajam. Ini semua karena aku tidak melulu tidur dan rebahan sepertimu.”
“Yaa..yaa, aku tahu kau memang keren, Jalu. Tapi hendak sekeren apapun dirimu, kau tidak bisa tidur di dalam rumah sepertiku,” Konyah tertawa mendengar ucapannya sendiri.
“Itu tidak benar, sebelum di bawa kemari aku pernah tidur di dalam rumah yang luas dan megah. Lagi pula sekarang aku menyukai kandang bambuku yang nyaman itu!” cetus Jalu, kemarahan ini membuat jenggernya bertambah merah.
“Benarkah? Aku belum pernah dengar ayam jantan tinggal di dalam rumah, tapi jika pun ada, aku tidak ingin berbagi tempat dengannya!” balas Konyah seraya bangkit dan berlalu.
**
Ketegangan antara Jalu dan Konyah bertahan hingga keesokan harinya. Berbeda dengan kemarin, pagi ini matahari bersembunyi dan angin bertiup semakin kencang. Saking kencangnya sampai-sampai membuat dedaunan di pohon jati rontok dan beterbangan memenuhi halaman. Tak hanya itu, pohon singkong dan bayam juga jadi condong ke selatan dibuatnya.
Menjelang siang, cuaca tidak semakin membaik. Anak-anak juga memilih untuk bermain di rumah saja daripada menyaksikan awan mendung yang kian kelabu.
“Sepertinya badai akan datang,” gumam Konyah menatap gemuruh dari balik jendela.
Tanpa butuh waktu lama, hujan segera datang dengan bulir airnya yang besar-besar bersama dengan kilat dan suara petir. Jalanan desa di kaki bukit yang biasanya terlihat dari atas sini seketika buram jika diamati dari jendela. Dalam benak Konyah, ia khawatir dengan keadaan kawannya, Jalu.
“Ah, tapi buat apa aku khawatir? Ia pun senang dan nyaman berada di kandang bambunya itu.” sanggahnya pada dirinya sendiri.
Tapi dari sisi hatinya yang lain turut menanyakan, apakah Jalu kedinginan? Apakah anak-anak sudah memberinya makan hari ini?
Lelah memikirkan hal ini, ia jadi tidak bersemangat untuk bermain dan memilih untuk tidur di depan perapian. Konyah jatuh terlelap dalam tidurnya dan mendengkur cukup keras namun tidak bisa mengalahkan gemuruh hujan.
Saat Konyah akan memasuki alam mimpi, tiba-tiba suara berdebum yang sangat kencang terdengar dari halaman rumah membuat ia terlonjak dengan bulu-bulu yang ikut berdiri. Seluruh isi rumah terkejut dan bertanya tentang suara apa itu.
Ketika dilihat kandang bambu Jalu sudah porak-poranda diterjang badai yang masih turun. Jantung Konyah berdegup dan hadir rasa tidak nyaman di sana. Ia segera melompat ke kandang yang telah rusak itu dan mencari sosok Jalu.
Konyah tidak mau berdiam diri. Segera saja ia menyingkirkan pilar-pilar itu dibantu oleh sang pemilik rumah.
Dan benar saja, saat ditemukan sang ayam jantan itu terkapar di bawah reruntuhan pilar bambu. Ia masih bernafas namun badannya lemas. Sayap, leher dan punggungnya terluka. Dengan segera ia dibawa ke dalam rumah untuk diobati.
Jalu sempat berteriak kesakitan saat sang pemilik rumah membersihkan luka dan memberinya obat luar. Tapi hal ini terbukti dapat membuatnya pulih lebih cepat. Namun kini Jalu tidak punya tempat tinggal, kandangnya roboh tidak bisa langsung diperbaiki.
Konyah tidak kehilangan akal, ia melompat ke atas rak dan mendorong sebuah keranjang kosong ke arah Jalu.
Ia mempersilahkan Jalu untuk tinggal sementara di keranjang itu di samping keranjang miliknya, setidaknya sampai kandangnya bisa ditinggali lagi.
“Jalu, maafkan aku atas perkataanku yang kemarin, sekarang aku tidak keberatan untuk bisa berbagi denganmu” ungkap Konyah.
“Aku juga minta maaf, Konyah. Aku tidak ingin kita bertengkar lagi.”
***