Janji Mauli

Gadis kecil itu mengendap-endap. Matanya menyipit. Dari tempatnya bersembunyi, ia bisa melihat daun pintu bercat hijau lumut yang tampak memudar. Rumah itu tertutup rapat. Sesekali kepalanya menyembul dari balik rimbunnya daun pucuk merah.  Kepalanya menoleh kesana kemari, seolah ingin memastikan situasi di sekitarnya benar-benar aman.  Ah, nenek itu pasti sedang tidur. Kesempatan emas!

Hap!

Gadis itu melompat dalam sekali hentakan. Tangan kanannya terjulur ke atas.  Setangkai kamboja putih kini berada dalam genggamannya. Berhasil!

Dahan pohon yang cukup tinggi membuatnya harus melompat untuk meraih bunga itu lagi, dan lagi.  Mak Silah memang gemar menanam pohon kamboja.  Pohon dengan bunga yang lekat dengan hal-hal mistis, karena banyak ditemukan di area pemakaman.  Entah mengapa perempuan tua itu sangat menyukainya.  Beberapa pohon dengan kelopak berwarna putih dan pink tumbuh subur di halaman rumahnya.  Semua berjajar rapi di jalan setapak menuju pintu depan.  Belum lagi kamboja kuning yang ada di halaman belakang.  Dari jauh, rumah Mak Silah memang menyeramkan.  Namun semua itu tak menyurutkan niat Mauli.  Ia pun sangat menyukai bunga, apapun jenisnya.

Gedebug!

“Hai, siapa itu disana?”

Aduh, gawat! Mauli ketahuan.  Karena asyik memetik bunga, ia jadi lengah.  Kakinya terpeleset saat menjejak ke tanah. Mauli segera bangkit dan bersiap. Lariiii…!!! Mauli berusaha meninggalkan tempat itu secepat mungkin.  Dari kejauhan suara serak Mak Silah masih terdengar, ia meracau tak keruan.

Sejenak Mauli berhenti untuk mengatur nafas.  Ia menengok ke belakang.  Syukurlah, perempuan tua itu tak mengejarnya.  Ia aman sekarang. Mauli menyeka keringat dengan punggung tangan. Napasnya terengah-engah.  Uh, untung saja bunga-bunganya tidak berjatuhan tadi.  Sayang, ia gagal mengambil si pink.  Mak Silah keburu mendengarnya terjatuh.  Mauli tersenyum sendiri.  Ia geli membayangkan wajah kesal perempuan paling tua di kampungnya itu.

Hmm, sekarang ke rumah siapa lagi, ya?  Oh, Bu Arta punya tanaman bunga melati banyak sekali.  Wanginya bahkan tercium tiap kali Mauli melewatinya. Gadis itu pun bergegas.

Ho ho ho, rumah Bu Arta tampak sepi.  Mauli segera beraksi.  Tangannya lincah memungut bunga yang bermekaran, kuncupnya pun tak ketinggalan. Tepat saat Mauli hendak menjangkau sekumpulan melati di hadapannya, tiba-tiba pintu rumah Bu Arta terbuka.  Seorang perempuan paruh baya melongok dari balik pintu kayu jati.  Mauli merunduk,  sesaat ia terdiam.  Menunggu.

“Hei, kaukah itu, Mauli?”

Bu Arta sudah hafal siapa-siapa saja yang senang memetik bunganya.  Sebagian meminta izin, sebagian lagi mengambilnya begitu saja.  Termasuk Mauli!  Tanpa mempedulikan teriakan Bu Arta, ia bangkit dan melesat cepat melewati pematang sawah.  Ia terus berlari tanpa sedikitpun menoleh ke belakang.

Jalan yang semakin menyempit menghentikan langkahnya.  Di depan kini berjejer pohon-pohon yang tinggi dan berdaun lebat. Suara daunnya bergemerisik saat bersentuhan satu sama lain. Bunga liar berwarna-warni tumbuh di kanan kiri jalan setapak itu.  Mauli terbelalak. Dengan segera ia memetik bunga-bunga itu satu persatu.  Tanpa sadar,  Mauli telah jauh meninggalkan kampungnya.

Keranjang bunga yang dibawa Mauli hampir penuh, saat ujung matanya menangkap deretan batu bertuliskan nama dan angka yang tersusun rapi.  Sekonyong-konyong ia berdiri mematung. Tak salah lagi, ini area pemakaman!  Mauli menengok ke kanan dan kiri. Tak ada siapa-siapa.

Matahari mulai meredup, malam akan segera datang.   Uh, bagaimana ini? Mauli tak tahu berada dimana.  Ia belum pernah ke tempat ini sebelumnya.  Berdiri tepat di sebuah persimpangan jalan, Mauli ragu, kemana arah pulang.

Tangannya erat mencengkeram keranjang bunga berbahan rotan.  Ujung alisnya bertaut, telapak tangannya mulai basah.  Bagaimana kalau ia tak menemukan jalan pulang?  Beberapa kali Mauli mencoba, mengambil jalan diantara persimpangan.  Namun, ia selalu tiba di titik yang sama.  Area pemakaman itu!

Wajah Mauli memucat. Keringat dingin mulai bercucuran. Ia mengelap dan meremas tangannya ke ujung gaun yang kini mulai tampak kusut. Ketakutan mulai menjalar.  Tidak, ia tidak boleh menangis. Mauli ingin pulang. Ia menyesal telah mengabaikan pesan Ibu. Ya, bunga-bunga di keranjang ini buktinya.

“Toloooong!”

Mauli berteriak sekuat tenaga, berharap ada yang mendengar. Namun, tampaknya harapan itu sia-sia saja.  Tempat ini benar-benar sepi. Tak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri.

Mauli terduduk di tanah.  Ia memeluk kaki dan membenamkan wajah diantara kedua lututnya. Ia terisak.  Seluruh badannya terasa lemas. Semilir angin dan gemerisik daun membuatnya mengantuk.

*******

“Mauli, bangun!”

Seseorang mengguncang bahunya. Perlahan gadis kecil itu mengerjap dan membuka mata. Telapak tangannya terangkat untuk menutupi sorot lampu senter yang menyilaukan. Beberapa orang berkerumun. Saat melihat wajah yang sangat dikenalnya, Mauli segera memeluk dan menangis sejadi-jadinya.

“Maafkan Mauli, Yah!” ia memeluk lelaki berkopiah itu dengan erat, “Mauli janji tidak akan mencuri bunga lagi.”

Lelaki itu membelai rambut Mauli. Raut wajahnya tampak letih.  Namun yang pasti, tatapan matanya memancarkan kelegaan.

“Ayo pulang!”

*******

Halaman rumah ini tampak sangat ramai.  Seorang perempuan duduk di tengah dipan kayu berukir.  Beberapa orang tetangga duduk di sebelahnya dan berusaha menghibur. Mata perempuan itu memerah. Saat muncul rombongan bapak-bapak memasuki halaman, perempuan itu segera berlari menghampiri.

“Sshh! Sudah, jangan takut.  Kamu sudah ada di rumah,” katanya ketika Mauli menghambur dan menangis dalam pelukannya.

“Lain kali, ingat baik-baik pesan Ibu ya,” katanya sembari menyeka air di ujung matanya sendiri. “Sekarang minta maaflah pada Mak Silah dan Bu Arta.  Mereka berdua langsung datang kemari setelah mendengar pengumuman kalau kamu menghilang.”

Dengan kepala tertunduk, Mauli menghampiri keduanya.

“Maafkan saya, Mak.  Maafkan saya juga Bu Arta.  Saya janji tidak akan mencuri lagi,” kata Mauli. Ia mencium tangan kedua perempuan itu bergantian.

Bu Arta tersenyum, ia mengangguk. Sementara Mak Silah, dengan sejumput sirih dalam mulutnya, memasang raut muka dingin.  Ia menggeser lintingan sirih itu ke sisi bibirnya yang lain.  Bekas merah kehitaman sisa menginang tampak jelas disana.

“Tak apa, lain kali jangan kau ulangi lagi ya!” Mak Silah tersenyum memamerkan barisan gigi tuanya yang menghitam. Mauli segera menarik tangannya. Ia berjanji untuk tidak lagi mengambil bunga-bunga kamboja di halaman perempuan itu.  Ia juga menambahkan dalam hati, tak mau melihat senyum Mak Silah yang menyeramkan.

*******

Sumber gambar:

https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fpng.pngtree.com%2Fpng-clipart%2F20210913%2Fourlarge%2Fpngtree-tomb-sweeping-girls-offering-sacrifices-to-their-loved-ones-on-ching-png-image_3913907.jpg

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan komentar